Diana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. Setelah sekilas melihat pantulan dirinya di cermin, ia akhirnya melangkah menuju pintu dan membukanya perlahan. Sean berdiri di ambang pintu, tatapannya lembut namun penuh keraguan.
“Masuk aja,” ucap Diana dengan suara yang lebih tenang, meski ada sesuatu dalam tatapan matanya yang tidak bisa disembunyikan.
Sean masuk ke dalam kamar dengan langkah hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Diana lagi.
Mereka duduk di atas tempat tidur, saling bersisian, namun suasana di antara mereka terasa berat dan tidak nyaman. Diana menyilangkan kakinya, sementara Sean tetap duduk tegak, punggungnya kaku, dan pandangannya lekat tertuju pada keponakannya.
“Diana… kamu baik-baik aja, kan?” tanya Sean akhirnya, mencoba memecah kebekuan. Suaranya pelan, seperti berjalan di atas es tipis, takut membuat Diana marah lagi. “Tadi kamu diantar sama siapa? Aku lihat ada mobil keluar dari rumah, pasti orang yang udah nganter kamu pulang.”
Diana menghela napas panjang, matanya mengerjap, dan kemudian ia menjawab dengan nada malas, seolah pertanyaan Sean bukanlah hal yang penting. “Bagas. Temen kampus aku.”
Sean mengangguk pelan, namun ada sesuatu dalam ekspresinya yang berubah. Matanya yang tadi tenang kini menyipit, seolah sedang meneliti setiap kata yang diucapkan Diana. “Bukan siapa-siapanya kamu, kan?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak, memastikan jawabannya.
Diana mendengus, setengah tersenyum. “Just friend. Tapi, kalau dia bisa menghapus nama Uncle di hatiku, boleh dicoba. Orangnya juga ganteng, cool, baik, dan kalau senyum, manis banget.”
Senyum lebar menghiasi wajahnya saat membicarakan Bagas, namun kata-kata itu bagaikan pisau tajam yang menusuk hati Sean.
Seketika, sorot matanya berubah tajam, seperti seekor binatang terluka yang berusaha menyembunyikan rasa sakitnya di balik topeng ketenangan.
“Jangan langsung berasumsi seperti itu, Diana,” kata Sean dengan suara rendah, hampir seperti geraman. “Baik di luar belum tentu baik di dalam.”
Diana menatapnya sekilas, dan helaan napas panjang keluar dari bibirnya. “Iya, sih.” Meski bibirnya berkata setuju, sorot matanya tetap bersinar penuh tantangan. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi di hati Sean—cemburu, iri, dan perasaan tak terucap yang mulai mendominasi.
Suasana di kamar itu menjadi semakin intens. Sean tak bisa menahan diri untuk terus menatap Diana. Hasrat yang telah ia coba pendam selama ini seakan meledak begitu saja di hadapannya.
Setiap detik bersama gadis itu hanya memperburuk keadaan, perasaan yang tak seharusnya ada kian mendesak, menyerang akal sehatnya.
“You make me crazy, Uncle,” gumam Diana dengan suara rendah, namun cukup jelas bagi Sean untuk mendengarnya.
Matanya tak lepas dari tatapan Sean, dan kali ini, tatapan itu bukan lagi tatapan seorang keponakan yang polos. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Sean tersenyum tipis, sebuah senyum yang samar, sulit untuk diartikan. Mungkin karena ia tak tahu harus merespon bagaimana terhadap perasaan yang semakin tak terkendali itu.
“Apa yang kamu inginkan, selain ingin memiliki aku?” tanyanya, suara itu keluar dengan lembut, namun nadanya penuh dengan kepasrahan.
Diana tidak menunggu lama untuk menjawab. Bibirnya menyunggingkan senyum berani, tanpa rasa takut sedikit pun. “Make you mine,” jawabnya spontan, lugas dan tanpa ragu.
Kata-kata itu menggema di kepala Sean, seolah waktu berhenti untuk sesaat. Ia hanya bisa menatap gadis di depannya—sang keponakan yang kini menjadi seseorang yang berbeda.
Diana tidak lagi hanya seorang gadis kecil yang harus ia lindungi; kini dia adalah wanita dewasa yang menuntut hak atas cintanya, tanpa peduli seberapa salah atau berbahayanya hal itu.
Sean terdiam, matanya tetap tertuju pada Diana, namun kali ini tatapannya kosong, seperti pria yang tahu bahwa jalan di depan telah tertutup, tak ada lagi ruang untuk mundur. Diana telah membuat pilihannya jelas, dan itu tidak akan pernah berubah.
“Are you sure? Aku tidak ing—“
“Aku masih belum bisa membuang perasaan ini untuk Uncle. Kalau masih bisa nawar, aku masih ingin jadi pacarnya Uncle.” Diana memotong ucapan Sean tanpa ragu, suaranya tegas namun penuh dengan perasaan yang membuncah.
Dia tidak mau lagi mendengar alasan, tidak mau menerima penolakan untuk kedua kalinya. Matanya yang biasanya lembut kini memancarkan tekad yang bulat.
Sean menghela napas panjang, berat seolah membawa seluruh dunia di atas bahunya. “Kamu yakin?” tanyanya lagi, suaranya datar, nyaris seperti bisikan yang kalah dalam menghadapi kenyataan.
Matanya yang gelap berusaha menembus perasaan Diana, namun yang ia temukan hanyalah determinasi yang tak tergoyahkan.
Diana mengangguk pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya yang merah. “Kalau Uncle nggak mau menuruti keinginanku, ya udah. Karena hanya itu yang aku inginkan. Selebihnya, aku masih bisa beli,” ucapnya dengan nada yang terdengar ringan, seolah-olah hubungan ini hanyalah bagian dari sebuah negosiasi hidup yang bisa ia tawar.
Sean menatapnya lekat-lekat, lalu tangannya terangkat untuk menyentuh rambut panjang Diana, mengusapnya dengan lembut, seolah berusaha menenangkan badai yang bergejolak di hati gadis itu.
Sentuhan itu membuat Diana menahan napas sejenak, ada kehangatan yang tak bisa ia abaikan meski perasaannya kini di ambang kehancuran.
“Kita bisa saja menjalin hubungan ini, Diana,” ucap Sean perlahan, setiap kata terasa seperti beban berat yang harus ia pikul.
“Tapi, bagaimana kalau mereka mengecam bahkan mengusir kita? Apa kamu tidak takut dengan risiko itu? Juga, semuanya akan berimbas pada perusahaan Kak Bima. Aku memikirkan itu semua, Diana.” Sean memutar kepala, mencoba meyakinkan dirinya bahwa kata-katanya benar, meski hatinya sendiri merasa terpukul oleh kenyataan yang tak bisa ia hindari.
Diana menghela napas kasar, frustrasi terpancar jelas dari wajahnya. “Bilang aja, kalau Uncle nggak mau. Nggak suka sama cewek labil kayak aku. Nggak usah pake alasan perusahaan, diusir, dan segala alasan lainnya,” ucapnya sinis, matanya berkilat dengan amarah yang terpendam.