Asli Datang dari Hati

838 Words
Perempuan itu tahu, alasan Sean mungkin valid, tapi hatinya tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia ditolak lagi. Sean menggeleng pelan, tidak sedikit pun merespon kemarahan Diana. Dia mengerti bahwa keponakannya sedang terluka, dan itu menghancurkannya. “Aku serius, Diana. Hubungan kita terlalu mencolok dan bakal dikecam oleh banyak pihak. Kalaupun kita akan menjalani ini secara sembunyi-sembunyi, kamu yakin... kita bisa sampai ke jenjang yang lebih serius? Hanya untuk pacaran, lebih baik tidak perlu, Diana.” Perkataan Sean adalah pisau tajam yang menusuk hati Diana sekali lagi. Kalimat itu menghancurkan harapannya yang tersisa, dan tanpa berkata apa pun lagi, Diana menarik selimutnya dengan kasar, menutupi seluruh tubuhnya hingga ke ujung kepala, seolah-olah menyembunyikan diri dari dunia yang tak adil. Suaranya penuh kepahitan ketika ia berkata, “Itu artinya Uncle menolak permintaan aku. Sana! Keluar. Aku mau tidur. Jangan pernah masuk ke dalam kamarku lagi!” Kata-kata itu seperti tembok tinggi yang tak bisa ditembus. Bahkan, ketika Sean memanggil namanya, Diana tidak merespons, sepenuhnya mengabaikan suara pamannya yang terdengar penuh dengan kepedihan dan ketidakpastian. Ini adalah kali kedua Sean menolak perasaannya, dan bagi Diana, ini adalah akhir dari semua perjuangan. Dia sudah cukup terluka, cukup merasakan penolakan, dan ia tak mau lagi mengemis cinta yang tak akan pernah ia miliki. Dengan hati yang tercabik, Diana memutuskan di dalam dirinya bahwa sudah waktunya untuk mencari kekasih yang lain, seseorang yang bisa membuatnya melupakan perasaannya pada Sean. Itu mungkin satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka yang semakin dalam ini. Namun, di sisi lain dari dinding perasaan yang telah Diana bangun, Sean tetap duduk di sana, menatap ke arah selimut yang kini menyembunyikan sosok Diana dari pandangannya. Hatinya bergejolak, penuh dengan rasa sakit yang tak pernah ia ungkapkan. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. ‘Aku lebih mencintai kamu, Diana. Dan aku juga yang lebih tersiksa oleh perasaan yang sudah hadir jauh lebih dulu dari kamu. Hanya saja, aku sedang terkejut atas pengakuan kamu yang sangat tiba-tiba itu. Semoga kita bisa menemukan jalan agar perasaan ini saling memiliki dan transparan,’ ucap Sean dalam hati, berharap Diana bisa mendengarnya di suatu tempat yang tak terlihat. Dia tidak berniat untuk beranjak dari sana, meski Diana telah menyuruhnya pergi. Sean tetap duduk, matanya tak lepas dari tubuh Diana yang tersembunyi di balik selimut. Hatinya yang terbelah antara cinta dan tanggung jawab membuatnya terperangkap dalam dilema yang tak pernah ia duga akan ia alami. Ia ingin tetap berada di sisi Diana, menunggu sampai gadis itu tenang dan bangun dari tidurnya. Namun, Diana menyadari kehadiran Sean yang masih duduk di sana, tak beranjak sedikit pun. Dengan kesal, ia mengintip dari balik selimut, matanya yang merah akibat air mata mengunci pandangan dengan Sean. Seketika itu juga, segala emosi yang selama ini terpendam meledak di antara mereka—sebuah perasaan yang sulit diabaikan, namun terlalu rumit untuk diungkapkan. Diana membuka selimutnya perlahan, tatapannya dingin dan datar, seolah dia mencoba menahan badai emosi yang bergejolak dalam dirinya. Matanya menatap Sean dengan penuh pertanyaan dan kelelahan. “Kenapa masih ada di sini?” tanyanya, suaranya sedingin tatapannya, jauh lebih dingin dari kehangatan yang pernah ia tunjukkan. Sean tak menjawab dengan kata-kata. Sebagai gantinya, dia menarik tangan Diana dengan lembut, dan tanpa berkata apapun, memeluknya erat. Tubuh Diana tersentak dalam kehangatan pelukan itu. Tangan Sean yang besar dan kokoh mengusap lembut rambutnya, seolah mencoba menenangkan jiwa yang bergelora di balik sikap dingin gadis itu. “Uncle?” Diana memanggil dengan suara gugup, detak jantungnya berdegup keras, tak beraturan. Sentuhan pria itu, yang selalu ia anggap pelindungnya, kini menimbulkan perasaan lain yang tak pernah ia duga sebelumnya. Irama detak jantungnya seolah mencerminkan kekacauan perasaannya. Sean menghela napas panjang, berat, seolah membawa semua beban dunia dalam satu tarikan napas itu. “Maafkan aku, Diana,” bisiknya, suaranya rendah, penuh dengan penyesalan yang terpendam. “Sebelumnya aku ingin bertanya padamu... Sejak kapan kamu mencintaiku?” tanyanya pelan, suaranya penuh keraguan, seolah takut mendengar jawaban yang sudah ia duga namun tak berani ia harapkan. Diana perlahan melepaskan diri dari pelukan itu, menghadapinya dengan tatapan yang lebih lembut, namun tetap menyimpan kejujuran yang tajam. “Cinta?” gumamnya, seolah merasakan berat kata itu. “Jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Uncle adalah saat Uncle cium kening aku dan peluk aku karena aku nangis, takut sama petir gede waktu itu. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Saat aku masih duduk di bangku SMA,” ucapnya dengan jujur, tanpa ada usaha untuk menyembunyikan apapun. Sean mengangguk pelan, seolah merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Diana. Napasnya yang panjang dan dalam mengisyaratkan betapa berat hatinya menerima kenyataan ini. “Cukup lama juga,” gumamnya, setengah berbicara pada dirinya sendiri. Diana menghela napas sebelum melanjutkan, “Dan sejak itu, setiap kali aku lihat Uncle, aku nggak bisa melihat Uncle lagi sebagai pamanku. Uncle sudah jadi seorang lelaki di mataku. Aku mencintaimu, Uncle, dan perasaan itu datang tanpa aku duga. “Ini bukan sesuatu yang aku rencanakan. Gila, kan, kalau sengaja buat-buat perasaan kayak gini? Tapi ini asli. Datang dari hati,” katanya, suaranya semakin tegas meskipun hatinya berdebar kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD