Sean tersenyum kecil, senyum yang penuh dengan pemahaman dan, untuk pertama kalinya, pengakuan. “Kita bisa jalani ini, Diana,” katanya perlahan, seperti merangkai setiap kata dengan hati-hati.
“Tanpa sepengetahuan orang lain. Sembunyi-sembunyi. Karena... aku juga mencintaimu. Jauh sebelum kamu mencintaiku.”
Diana terperanjat, bibirnya sedikit terbuka, menatap Sean dengan tatapan tak percaya. Kepalanya meneleng ke samping, seolah mencari kepastian dari wajah pamannya.
“Serius, Uncle?” tanyanya, suara terkejutnya hampir tak bisa ia sembunyikan.
Sean mengangguk dengan pelan, matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya. “Iya, Diana. Akhirnya aku tahu kenapa perasaan ini terus tumbuh dan semakin kuat. Karena kamu juga mencintaiku,” ucapnya dengan senyum tipis yang mengandung kejujuran yang selama ini ia sembunyikan.
Diana tersenyum manis, senyum yang mengungkapkan semua kebahagiaan dan kelegaan yang ia rasakan. “Mungkin karena Uncle sayang sama aku duluan, akhirnya aku pun diberi rasa itu. Tapi sekarang, semuanya sudah jelas. Kita sama-sama saling mencintai. Hanya mungkin... kita harus sembunyi dari publik. Tapi...”
Suaranya meredup, ada keraguan yang tiba-tiba muncul di hatinya, dan dia menunduk sejenak sebelum melanjutkan. “Tapi, Uncle...”
Sean mengusap lembut sisi wajah Diana, jarinya menyentuh pipi gadis itu dengan sentuhan yang membuatnya gemetar. “Kenapa, hmm?” tanyanya lembut, penuh perhatian, seolah ingin menenangkan semua kegelisahan yang ada dalam diri Diana.
Diana menghela napas pelan, menatap Sean dengan tatapan yang dipenuhi kebingungan. “Sampai kapan hubungan ini harus dirahasiakan?” tanya Diana, suaranya lirih namun sarat dengan kekhawatiran.
Perasaannya yang dalam terhadap Sean tak bisa terus-menerus disembunyikan, namun ia tahu konsekuensinya jika cinta mereka terungkap.
Sean menghela napas panjang, seolah meresapi beban yang terangkat dari hatinya. Tatapannya lembut, namun sarat dengan ketegasan.
"Orang lain tidak perlu tahu tentang rasa yang kita rasakan, Diana. Mereka hanya perlu melihat kita sebagai saudara yang saling menyayangi. Tapi aku tidak bisa munafik. Aku mencintaimu," suaranya pelan tapi tegas. "Dan risiko apapun yang kita hadapi, aku sudah siap."
Tatapan Sean kini terpaku pada perempuan yang duduk di hadapannya—keponakan yang telah tumbuh menjadi wanita yang ia cintai lebih dari sekadar ikatan darah.
Hubungan mereka, yang begitu rumit dan tak terduga, kini terasa nyata. Diana tahu perasaannya, dan Sean bersedia menjalani apapun demi menjaga cinta itu, bahkan jika harus tetap membungkusnya dalam rahasia.
Sean tak ingin perasaan ini diketahui publik. Di hadapan orang lain, ia akan tetap menjadi pamannya yang penyayang, menjaga nama baik Diana. Tapi ketika mereka berdua, segala halangan dan batasan seakan menghilang.
"Jadi, udah fix nih… kita pacaran?" tanya Diana, bibirnya sedikit bergetar antara kegembiraan dan keraguan.
Sean mengulas senyumnya, sebuah senyum hangat yang ia simpan hanya untuk Diana. “Iya, Sayang.”
Mendengar panggilan itu, pipi Diana merona merah. Jantungnya berdegup kencang, dan senyuman tipis mengembang di bibirnya.
"Uncle bikin aku ingin terbang melayang," gumamnya sambil tertawa kecil. "Jangan bikin aku makin cinta, Uncle."
Sean tertawa kecil, matanya memancarkan kasih sayang yang mendalam. Dia mengusap lembut wajah Diana, jari-jarinya membelai pipinya dengan sentuhan yang begitu penuh perasaan.
"Diana, jangan takut, ya. Selama sepuluh tahun ini, sejak kamu berusia sepuluh tahun, aku sudah memiliki perasaan ini. Cinta yang aku simpan jauh sebelum kamu menyadari. Dan sekarang, akhirnya kamu tahu dan merasakan hal yang sama. Aku akan selalu mencintai kamu, apapun yang terjadi."
Diana memeluk Sean erat, tubuhnya mendusel di d**a pria itu, merasakan detak jantungnya yang stabil, seolah menjadi tempat perlindungan yang selama ini ia cari.
Sean, yang dulunya hanya sebagai pamannya, kini berubah menjadi pria yang mengisi hatinya.
“You are my first love," bisik Sean di dekat telinga Diana.
"Cukup gila memang, dan mungkin kita tak seharusnya saling mencintai seperti ini. Tapi jika alam memihak kita, pasti ada jalan yang akan membuat kita bersatu, diterima oleh semua orang. Aku akan selalu di sampingmu, sebagai seorang pria yang mencintaimu, dan juga sebagai paman yang menyayangimu.”
Kata-kata itu membuat Diana merasakan kehangatan yang mengalir di setiap nadinya. Ia tidak pernah menyangka cinta yang ia simpan selama ini ternyata juga dirasakan oleh Sean.
"Jadi kan, dinner malam ini?" tanya Sean kemudian, sambil tersenyum penuh arti. "The first dinner sebagai kekasih."
Diana terkekeh mendengarnya, perasaannya begitu ringan, seolah dunia hanya milik mereka berdua malam itu.
“Ya. Dinner pertama kita sebagai sepasang kekasih. Nge-date untuk pertama kalinya, dan ini pun dengan pamanku sendiri. But I’m happy. Karena Uncle juga membalas cinta ini. Beneran kan, nggak bohong?"
Sean menggeleng dengan pelan, senyumnya mengembang penuh kasih. “Hal sepele saja, aku tidak pernah bohong. Apalagi soal perasaan. Mana mungkin aku berbohong tentang hal ini."
"Hehe," Diana cengengesan, cengirannya penuh keceriaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Bentar lagi malam. Aku siap-siap dulu, ya. Uncle juga harus siap-siap. Mandi dulu sono, terus pakai baju yang rapi. Dinner sama cewek cantik, harus terlihat ganteng dong."
Sean tertawa kecil, hatinya terasa ringan. "Iya, bawel," balasnya sambil mencubit hidung Diana dengan gemas, melihat gadis itu meringis sambil tertawa. Ia keluar dari kamar dengan perasaan bahagia yang tak tertahankan. Akhirnya, semua yang selama ini ia pendam bisa ia ungkapkan. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi ketakutan akan penolakan.
Di luar kamar, Sean menghela napas lega, seolah beban yang selama ini menindih dadanya telah sirna.
Malam ini, mereka akan menjalani dinner pertama mereka sebagai kekasih, sebuah awal dari perjalanan cinta yang mereka tahu tidak akan mudah, tapi dengan keyakinan dan cinta yang kuat, mereka siap menghadapi semuanya.
Namun, semua ketakutan yang pernah Sean rasakan telah hilang. Diana mencintainya. Bahkan, bukan sekadar cinta—Diana tergila-gila pada Sean.
Ketampanan Sean yang tak pernah pudar sejak ia berusia dua puluh satu tahun telah menawan hati Diana. Kini, sepuluh tahun kemudian, perasaan itu telah berkembang menjadi cinta yang tak terbendung.