Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Malam yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Diana sudah siap dengan dress selutut berwarna navy, rambutnya tergerai bebas, menambah pesonanya. Dia terlihat begitu memikat, kecantikannya terpancar dengan cara yang sederhana tapi luar biasa.
Di sisi lain, Sean tampil memukau dalam balutan pakaian kasual. Meskipun sudah berusia tiga puluh satu tahun, ia tampak jauh lebih muda, aura ketampanannya tak lekang oleh waktu.
Seolah-olah waktu memang memperlakukan Sean dengan sangat baik, membuatnya semakin menarik seiring bertambahnya usia.
Diana menatapnya dengan kagum, mulutnya sedikit terbuka. “Kenapa Uncle ganteng banget, sih?” Dia hampir tak percaya, mengedipkan mata pun rasanya sulit.
“Bikin aku nggak bisa mengedipkan mata. Astaga… kenapa aku harus ditakdirkan jadi keponakan Uncle Sean?” Dia tertawa kecil, tapi kekagumannya terlihat jelas di matanya.
Sean hanya menggeleng pelan sambil tersenyum. Dia meraih tangan Diana, menariknya dengan lembut keluar dari rumah. Mereka melangkah menuju garasi, lalu Sean mengarahkan mobilnya menuju restoran yang sudah ia pesan.
Ruang VIP sudah dipersiapkan, sebuah tempat di mana mereka bisa menikmati dinner pertama mereka sebagai sepasang kekasih, jauh dari gangguan mata publik.
“Makan di mana, Uncle?” tanya Diana, penasaran.
“Golden Resto. Aku tidak ingin ada yang mengganggu dinner kita, Diana. Jadi, aku pesan ruang VIP. Supaya hanya kita berdua yang tahu apa yang ingin kita bicarakan.” Sean menjelaskan dengan nada tenang, tapi penuh perhatian.
Diana manggut-manggut, senyumnya makin lebar. “Ternyata, Uncle bukan cuma ganteng, tapi juga peka. Baru aja mau bilang, ternyata Uncle sudah berinisiatif sendiri.” Dengan manja, dia mengusap lengan Sean, sentuhan kecil yang penuh kehangatan.
Sean membalas senyuman itu, senyum tipis yang begitu memikat. Senyumnya tak pernah gagal membuat Diana merasa seperti meleleh, hatinya luluh dalam gelombang perasaan yang tak terucapkan. Diana terdiam sejenak, jantungnya berdebar tak karuan.
“Mungkin, dulu Mami cinta sama Papi karena Papi punya senyum manis, kayak Uncle,” Diana menggoda, matanya berbinar-binar. “Dan sekarang, Diana malah jatuh cinta pada adiknya Papi. Luar biasa. Kalau Mami dan Papi masih hidup, Papi pasti udah ngegantung Diana di tiang jemuran.”
Sean terkekeh mendengarnya, senyumnya semakin lebar. "Kita nggak akan tinggal serumah kalau Mami dan Papi kamu masih ada."
Suaranya sedikit melembut, lalu ia menghela napas panjang, seolah menyimpan kenangan masa lalu di dalam hatinya. "Maafkan aku, ya, Kak. Aku membesarkan Diana bukan untuk membimbingnya mencari pria yang baik, tapi malah mencintainya sendiri."
Diana menatap Sean, merasakan sedikit keraguan dan penyesalan di wajah pria itu. Namun, meski ada rasa bersalah yang samar, Sean tak bisa menghilangkan perasaan cinta yang kini begitu jelas terlihat. Diana tidak ingin pria itu merasa bersalah atas cinta yang mereka bagi.
"Uncle nggak perlu merasa bersalah kayak gitu. Mungkin sudah takdirnya kita harus menjalin hubungan seperti ini," ujar Diana, suaranya bergetar dengan sedikit ketakutan.
Dia takut, kalau-kalau Sean akan berubah pikiran, membatalkan hubungan yang baru saja terjalin beberapa jam lalu. Ketakutan itu menempel erat di dadanya, seperti angin dingin yang menghantam jiwa.
Sean, yang duduk di sebelahnya, mengusap lembut rambut panjang Diana yang terurai. Sentuhan jemarinya terasa menenangkan di antara keraguan yang merambat di dalam hatinya.
"Iya, Diana. Aku hanya minta maaf, karena aku harus minta izin ke Kak Andini dan Kak Bima. Karena, anak mereka... sudah aku pacarin," ucap Sean perlahan, dengan sedikit rasa bersalah yang terselip di setiap katanya.
Mata Diana menatap Sean dalam diam, seperti ada ribuan pikiran yang berdesakan di kepalanya, namun hanya satu yang berhasil meloloskan diri. Dia menghela napas kasar, mencoba mengusir rasa penat yang tiba-tiba menyesak.
"Aku masih berharap kalau kita bukan saudara, Uncle. Aku... pengen nikah sama Uncle. Pengen berjodoh sama Uncle," ucapnya, suara lirih itu menggantung di antara mereka, seolah menantang takdir yang telah mempermainkan hidup mereka.
Sean balas menghela napas, tapi kali ini napasnya terdengar lebih berat, seakan memikul beban dari sebuah keputusan yang belum terungkap. "Untuk hal itu, kita bisa pikirkan setelah kamu lulus kuliah, ya," katanya, suaranya sedikit menekan, berusaha menenangkan.
"Untuk saat ini, cukup jalani saja, biarkan semuanya mengalir. Asalkan... kita saling menjaga perasaan. Dan, Diana," Sean berhenti sejenak, tatapannya berubah lebih tajam, nada bicaranya penuh kepemilikan, "jangan pernah dekat dengan pria lain!"
Kata-kata itu terucap dengan kekuatan posesif yang tak dapat ditahan. Diana mendengar perintah itu dan merasakan gelombang campuran antara kecemasan dan gairah yang merayapi dirinya.
Sean selalu menunjukkan sisi tegasnya—sisi yang membuatnya tak bisa berpaling.
Diana bersandar ke kursi, seolah mencari perlindungan dari pikiran-pikirannya sendiri. "Harusnya aku yang takut, Uncle," gumamnya pelan, matanya beralih menatap langit-langit mobil yang sempit, seakan mencari jawabannya di sana.
"Uncle yang lebih mungkin dekat sama perempuan lain. Usia Uncle jauh lebih matang dari aku... Uncle punya banyak pilihan."
Sean tetap fokus menyetir, namun dia tak bisa menahan dirinya untuk sesekali melirik ke arah Diana. Kecemasan gadis itu begitu nyata.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan Golden Resto. Sean memarkirkan mobil dengan hati-hati, suasana di dalam kendaraan masih penuh dengan tensi yang tak terucap.
Saat mobil berhenti sempurna, Sean beralih membuka seat belt Diana dengan gerakan yang perlahan namun penuh perhatian.
Mata mereka bertemu, dan di dalam keheningan yang mengikuti, sebuah bahasa tak terucap tersampaikan.
Tatapan Sean begitu dalam, begitu intens, seakan dia ingin membenamkan dirinya dalam setiap lekuk mata Diana.
Dia mengulurkan tangan, memegang lembut sisi wajah perempuan yang kini resmi menjadi kekasihnya.
“Aku hanya bisa mencintai kamu,” bisiknya, suaranya berat dengan keseriusan yang tak terbantahkan. "Jangan pernah takut aku akan mengkhianati kamu."