Sejak menerima lamaran Erick, maka hari itu juga Erick dan Alaia terhitung memulai hubugan mereka untuk dua tahun ke depan.
Tidak ada yang spesial.
Sama seperti pasangan long distance lainnya, Erick dan Alaia rajin bertukar kabar melalui pesan dan sesekalimeluangkan waktu untuk menelfon. Keduanya juga sudah mengbarkan keluarg amasing-masing bahwa mereka sudah berpacaran.
"Kamu beneran udah pacaran sama ...... siapa namanya?" tanya Gita pada putrinya. Putri tunggalnya.
"Erick. Iya udah pacaran sama dia" jawab Alaia enteng. Sebisa mungkin ia menjawab dengan anda tenang dan tidak terlihat menyembunyikan apapun dari ibunya itu.
"Udah Mama gausah khawatir, aman-aman aja kok ldr sama dia" jawab Alaia mencoba membuat ibunya in tenang, agar tidak terlalu khawatir.
"Kamu emang udah kenal banget sama dia?" tanya Gita lagi.
"Yaudah dong Ma" jawab Alaia.
"Ngapain dia di Belanda?" tanya Gita sekali lagi.
"Kuliah spesialis bedah ortopedi" jawab Alaia.
"Hebat juga kamu bisa dapet calon dokter bedah gitu" jawab Gita yang tiba-tiba jadi 'bangga' putrinya bisa menjalin hubungan dengan seorang calon dokter bedah itu.
"Yaudah, Mama mau pulang aja deh. Musti siap-siap besok nemenin Papa kunjungan kerja" ujar Gita sambil mengeluarkan ponsel dari tas tangannya lalu menelpon supirnya untuk segera bersiap menjemputnya di lobby apartemen putrinya.
Meskipun memiliki ayah seorang pejabat negara, namun Alaia tidak ingin begantung dengan ayahnya. Sejak awal memutuskan untuk berkarier sebagai seorang chef, Alaia benar-benar tidak membawa embel-embel nama orang tuanya.
Bahkan tidak ada yang tahu latar belakang orang tua Alaia.
"Mama pulang dulu ya"
****
Alaia menatap bingung ponselnya.
Apakah ia harus menghubungi Erick atau tidak?
Ia tidak mau menggangu Erick yang tengah sibuk mengurusi pasien dan harus belajar juga.
"Tapi kalo gue gak nelfon dia, nanti gimana mau ngomongin ginian?" tanya Alaia sambil menatap laya iPadnya yang menampilkan draft surat perjanjiannya.
Dering telfonnya membuat Alaia tersentak dari lamunannya.
Erick calling . . .
"Tumben nelfon duluan, baru juga mau gue telfon" Alaia segera mengangkat panggilan dari Erick.
"Halo?" sapa Alaia.
"Halo Ya, aku udah baca draft yang kamu kirimin kemarin" ujar Erick langsung ke topik pembicaraan.
"Iya, gimana?" tanya Alaia serius menanggapi Erick.
"Hmm urusan .... urusan ranjang kan yang mau kamu tanyain?" tanya Erick dengan suara agak canggung.
"Iya, kamu keberatan bagian mana?" todong Alaia.
"Aku bukan keberatan tapi aku mikirnya, kita cuman nikah 2 tahun doang. Kasian kan kalo kita punya anak terus orang tuanya cerai gitu pas dia masih kecil. Jadi mendingan kita gausah punya anak gimana?" ujar Erick.
"Hmm iya boleh. Tapi kamu cowok normal kan?" tanya Alaia dengan suara penuh selidik.
"Ya iyalah!" jawab Erick tidak terima.
"Terus emang kamu gak bakal ke goda gitu sama aku? Biarpun kamu gaada perasaan apa-apa sama aku, tapi tetep aja. Yakin banget kita gak bakal ke bablasan?" tanya Alaia memastikan.
"Ntar beli kondom satu lusin kalo perlu" jawab Erick frontal.
Alaia kaget mendengar jawaban Erick.
"Serius kamu?!" tanya Alaia tidak percaya.
"Atau kamu mau KB aja? Aku punya kakak tingkat pas kuliah dulu, dia dokter kandungan bagus banget, tenang aja dia perempuan kok" usul Erick.
"Aku di suruh pasang KB gitu?" tanya Alaia.
"Ya terserah kamu itu sih, mau pake 'pelindung' macem apa kalo kamu takut kit akebablasan" sahut Erick.
"Kalo yang menurutku aman banget, gak bakal ngefek ke hormon sebenernya kondom, cuman ya kalo udah ga tahan lagi terus lupa sama kondom ya.... gitu deh" ujar Erick.
"Udah-udah, itu biar kita omongin nanti, gausah di masukin ke perjannjian ini juga gapapa. Yang penting di sini jelas kita gak mau punya anak ya?" tegas Alaia.
"Sip!" Erick menjawab sambil mengacungkan jempolnya.
"Apa lagi?" tanya Erick.
"Kamu udah ngasih tuz keluarga kamu kalo kita 'pacaran'?" tanya Alaia.
"Udah, girang bener orang tua aku pas tau aku punya pacar" jawba Erick sambil menghela napas dan mengingat ekspresi kedua orang tunaya ketika ia menghubungi lewat video call.
"Orang tua kamu gimana?" tanya Erick.
"Kaget. Kok aku bisa tau-tau punya pacar padahal baru berapa bulan lalu cerai" ujar Alaia.
"Tapi ya orang tua aku agak khawatir aku bakalan kayak kemaren, cuman sebisa mungkin yakinin mereka kalo semua bakalan baik-baik aja" ujar Alaia menghela napas sambil mengingat apa yang akan terjadi ketika ia memberi tahu kedua orang tuanya bahwa ia akan bercerai dengan Erick 2 tahun lagi.
"Yaudah kalo gitu. Nanti aku telfon lagi ya, aku ada operasi abis ini. Bye" Erick menutup sambungan telepon mereka.
Alaia menaruh ponselnya di atas meja nakas dan menutup iPad miliknya.
Memikirkan apa yang akan terjadi jika ia benar-benar menikah dengan Erick.
Ia sudah mengatakan pada calon suaminya itu, ia tidak ingin menggelar pesta pernikahan yang mewah. Ia hanya ingin pesta sederhana dan intim. Bukan masalah uang. Alaia dan Erick mampu saja menyewa sebuah grand ballroom untuk resepsi pernikahan mereka.
Namun Alaia menyadari, yang ia inginkan hanyalah sebuah perrnikahan yang sederhana, dan hangat. Ia ingin merealisasikan pernikahan itu dengan Erick nanti, meski umur pernikahan itu hanya akan bertahan selama 2 tahun saja.
****
Erick pulang ke indekosnya setelah seharian ini bergulat dengan operasi dan berbagai macam pasien. Ia tidak bisa bersantai lama-lama karena harus segera mencari jurnal terkait dari kasus penyakit yang ia tangani tadi untuk segera di pelajari olehnya.
Harus ia akui, semenjak ia mengumumkan hubungannya dengan Alaia, keluarganya tak lagi 'mengganggu' Erick dengan cara menelfonnya setiap hari dan menanyakan apakah ia sudah punya pacar atau belum.
Setelah selesai mandi, Erick langsung mengeluarkan laptopnya untuk mencari jurnal-jurnal terkait untuk ia pelajari. Erick begitu fokus mencari jurnal, lalu mempelajari jurnal-jurnal tersebut.
Setelah kurang lebih tiga jam bergelut dengan jurnal-jurnal itu. Erick menutup laptopnya lalu menyeduh teh melati untuk menghangatkan dirinya.
Ia meneyeruput teh manisnya sambil menyantap biskuit rendah kalori, dan melihat pemdnagan dari jendela kamar kosnya itu.
Rintik hujan turun mengguyur kota Utrecht.
Erick melirik laptopnya yang tergeletak di atas meja.
Bayangan surat perjanjian yang di sodorkan Alaia tadi terngiang-ngiang di benaknya.
Tidak pernah trebayang sebelumnya, Erick akan begitu nekad mengajak wanita yang baru ia kenal itu ntuk menikah.
Jauh di lubuk haitnya, sebenarnya ada rasa penyesalan karena menyeret Alaia yang tidak tahu apa-apa tentang penderitaannya ini.
Apalagi Alaia masih baru bercerai dari mantan suaminya, tentu saja wanita masih belum sepenuhnya move on dari mantan suaminya. Meskipun Alaia terlihat marah dengan yang di lakukan oleh mantan suaminya, tapi jauh di lubuk hati Alaia, wanita itu pasti kecewa bukan main karena di selingkuhi.
Erick bersumpah ia tidak akan bersleingkuh dari Alaia, bahkan ketika pernikahan mereka hanyalah sebuah pernikahan kontrak.
Rasa kantuk yang mulai menyerang membuat Erick bergegas segara pergi menggosok giginya lalu pergi tidur.
Baru saja ia sampai di rumah sakit, tiba-tiba ia di seret oleh rekan sesama dokter residen bedah umum untuk menuju unit gawat darurat karena ada seorang pasien gawat darurat.
Ya Allah gue belom juga minum kopi udah di sodorin pasien emergency begini batin Erick yang hanya bisa diam sambil berharap perutnya tidak memainkan musik keroncong.
Setelah pasien selesai di periksa, dokter yang membimbingnya dalam masa residen ini memutuskan untuk melakukan operasi sesegera mungkin.
Erick pun mau tidak mau segera bergabung ke ruang operasi
Setelah selesai dengan operasi yang melelahkan, Erick langsung menuju cafe rumah sakit untuk segera makan. Erick bergegas membeli kopi dan roti isi keju untuk mengisi perutnya yang keroncongan, sambil menunggu makan siangnya datang.
Ia mengambil ponselnya dari saku celananya dan melihat apakah ada pesan yang masuk dan belum sempat di baca olehnya ketika ia sedang berada di ruang operasi tadi.
Alaia
Kita pake kondom aja
****
Setelah menimbang-nimbang keputusannya, Alaia mantap untuk mengirim pesan tersebut pada Erick.
Tentunya Alaia sudah berkonsultasi dengan seorang dokter kandungan sebelum akhirnya memutuskan pilihannya itu.
"Bisa gue pastiin kita gak bakalan bablas" ujar Alaia setelah mengirimkan pesan tersebut.
Ia menaruh ponselnya di atas meja lalu kembali bekerja dengan iPad miliknya hingga waktu tidak terasa sudah malam.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Sudah waktunya Alaia untuk pulang. Ia bergegas membereskan meja kerjanya, lalu mematikan lampu ruang kerjanya.
Saat sudah sampai di lantai satu restorannya, beberapa karyawan sedang membersihkan meja dan kursi, beberapa lagi sedang menyapu di area dining room.
"Saya pulang dulu ya, kalian kalo udah selesai langsung pulang ya" pamit Alaia pada karyawan-karyawannya. Pamitannya di sambut dengan ramah oleh karyawannya.
Alaia langsung masuk ke dalam mobilnya yang sudah di bawakan oleh karyawan di kantor lalu bergegas pulang.
Di perjalanan pulang, Alaia mampir sebentar ke sebuah toko daging yang masih buka karena ia ingin membeli daging untuk di masak di ulang tahun ayahnya nanti.
Dengan teliti Alaia memilih-milih daging-daging yang ada di etalase dan freezer toko.
"Apa masak steak aja kayak bisa ya? Tapi kali ini coba pake daing sapi sama lamb deh" Alaia pun mengambil daging beku di freezer yang terlihat penuh itu.
"Kenapa gak kita masak steak aja, resepnya tinggal liat di YouTube aja" suara berat itu tidak terasa asing di telinga Alaia.
Alaia menoleh dan mendapati mantan suaminya bersama istri barunya, alias perusak rumah tangganya.
Ya, Bramantya dengan istri barunya, yang ia nikahi satu bulan pasca berpisah dengan Alaia.
Alaia buru-buru memalingkan pandangannya dan segera menuju kasir untuk membayar sleuruh belanjaannya. Setelah selesai dengan pembayarannya, Alaia bergegas menuju mobilnya sebelum mantan suaminya menyadari keberadaannya.
Sesaat stelah Alaia masuk ke dalam mobil, air matanya menetes.