Bab 4 - Jeremy Kafka Kampret Indrapraja

1496 Words
Wanita berambut sebahu itu keluar dengan raut wajah kesal setengah mati. Rasanya ingin sekali dia merubuhkan atau membakar gedung yang akan menjadi tempatnya mengais pundi-pundi rupiah setiap hari. Untung saja, kewarasan masih menguasai Una sehingga dia bisa mengontrol diri untuk tidak melakukan aksi semena-mena pada perusahaan Jeka karena itu juga akan merugikan dirinya sendiri. Mba Raisa yang tengah sibuk dengan komputernya, kini melirik ke arah gadis berumur 25 tahun yang menghentak-hentakkan kaki setelah menutup pintu ruangan Jeka. Alis wanita hamil itu bertaut, tampak bingung ketika dia melihat perubahan sikap yang ditujukan anak tetangganya saat masuk dan keluar ruangan bos. "Una, kenapa?" Suara merdu Mba Raisa membuat Una tersadar kalau dia tidak sendirian di sini. Dia menatap Mba Raisa yang memperhatikannya penuh tanya. Karena tidak mau menceritakan apa pun, Una hanya menarik kedua sudut bibir ke atas sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga kanan. "Gak apa-apa, Mba," jawabnya singkat. Mba Raisa tidak ingin mengulik lebih jauh, dia memilih untuk mengalihkan pembicaraan dengan melempar tanya, "Gimana jadinya, keterima?" tanya Mba Raisa lagi yang dibalas anggukan Una. Mba Raisa mengucap selamat dan tersenyum lebar. Senyum Mba Raisa yang penuh ketulusan dan kecantikan paripurna seolah berkata lain di pikirannya. "Mampus kamu, rasakan nerakamu ini, Una, hahaha!" Memang sejak bertemu laki-laki gendut itu ... Una berubah jadi manusia yang sangat negatif thinking. "Makasih, Mba. Berkat Mba juga aku bisa keterima kerja di sini," ucap Una sembari berjalan mendekat ke arah tetangganya yang berdiri dan menyalami dia. "Oh iya, Mba mau ngajak kamu keliling untuk mengenalkan kamu ke karyawan yang lain, sekalian supaya kamu tahu lebih banyak apa saja fasilitas yang ada di kantor ini,” kata Mba Raisa. “Tapi Mba selesaikan pekerjaan dulu ya, tinggal sedikit lagi kok.” "Kalau gitu aku ke toilet dulu, Mba." "Boleh. Toilet ada di sana." Una menoleh ke belakang mengikuti arah tunjuk Mba Raisa kemudian bergegas menuju toilet. Bukan, bukan untuk buang air. Melainkan dia ingin menuntaskan emosi di sana. Una menyumpah-serapahi Jeka di toilet setelah memastikan tidak ada orang yang ada di dalam. "Dasar gendut nyebelin! Lo tau gak? Di mata gue, lo itu tetap Jeka yang dulu, ngerti? Pokoknya gue akan selalu anggap lo begitu!" omel Una sambil menatap kloset di dalam toilet. Membayangkannya seolah itu adalah wajah laki-laki yang merupakan bosnya mulai hari ini. "Jangan kira lo bisa menindas gue, ya? Kalau bukan karena mama yang banding-bandingin gue sama anak tetangga, najis tahu gak gue kerja di perusahaan lo!" Una mengacungkan jari tengah ke arah kloset duduk dan setelahnya menekan tombol flush di belakang sana. Berharap emosinya bisa hilang bersama dengan air yang mengalir. Una mengembuskan napas, setelah itu keluar dari toilet. Dia sempat merapikan penampilan dulu di cermin yang ada di dekat wastafel. Wangi pengharum ruangan beraroma teh menyapa indra penciumannya sehingga membuat dia sedikit lebih rileks. Perempuan bermata bulat ini memilih keluar setelah sekitar lima menit berdiam diri karena tidak enak pada Mba Raisa yang mungkin sudah menunggu. Sebagai anak baru, Mba Raisa mengajak Una pergi dari satu ruangan ke ruangan lain. Saat Mba Raisa datang ke ruangan, mereka langsung mengenali dan menyapa hangat wanita itu. Una terus-menerus memasang wajah ramah meski hatinya masih dongkol. Dia memperkenalkan diri secara singkat berulang kali, banyak yang dia temui. Ada yang menyambutnya baik, ada juga yang menganggap dia hanya angin lalu karena sibuk dengan pekerjaan. Jujur, ada rasa minder di diri Una. Apa dia juga bisa diterima seperti Mba Raisa? Makan siang, Mba Raisa mengajak Una ke kantin kantor yang ada di lantai empat. Di sana Una berkumpul dengan beberapa rekan kerja Mba Raisa yang nanti juga akan menjadi rekannya. Ada lima orang. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Una lebih banyak diam dan menyimak pembicaraan mereka karena bingung harus bagaimana. Seolah paham, Mba Raisa terus melibatkan Una dalam pembicaraan dengan banyak menanyakan pendapat atau melontarkan candaan sehingga kelima orang yang lain mulai me-notice keberadaan Una. Hari ini, jadwal Jeka sebenarnya tidak padat. Dia hanya mengurus berkas-berkas penting dan membiarkan Mba Raisa fokus mengajari sekretaris baru. Biasanya kalau seperti ini, laki-laki itu akan keluar kantor pukul lima sore dan Mba Raisa juga bisa pulang tenggo. Pukul lima sore setelah Mba Raisa selesai mengajari Una beberapa hal tentang hari ini ... Mba Raisa dipanggil ke dalam oleh Jeka. Una sendiri menunggu di meja Mba Raisa, kembali sibuk dengan komputer karena tengah mempraktekkan step by step salah satu jobdesc yang akan dia kerjakan nanti. Notes kecil yang dia bawa sudah terisi tulisan tangan sebanyak tiga lembar mengenai jobdesc harian dan perintilan pekerjaan lain. Una pastikan dia akan cepat menangkap semua yang diajarkan dan membungkam mulut Jeka dengan hasil kerjanya. "Una, Mba sudah boleh pulang," kata Mba Raisa yang kembali berjalan ke mejanya setelah sepuluh menit berada di dalam. Raut wajah Una mendadak semringah. Akhirnya Una juga bisa pulang. "Tapi kamu belum. Ada yang ingin Pak Jeremy bicarakan. Jadi kamu sekarang gantian ke ruangannya." Senyum Una mendadak pudar. Pupus sudah harapannya pulang tenggo di hari pertama. “Kamu gak masalah kan kalau pulang sendiri? Atau mau sama Mba?” "Una pulang sendiri aja nanti, Mba. Gak enak repotin Mba terus,” sahut Una sambil tersenyum. "Okay, Mba pulang dulu, ya?" pamitnya setelah mengambil tas kecil yang dia taruh di meja. Gadis berambut sebahu ini mengangguk dan berucap hati-hati. Setelah tubuh Mba Raisa menghilang bersama lift yang membawanya turun ke lantai dasar, Una membanting pulpen yang dia gunakan untuk menulis catatan di notes, kesal. Mau apalagi sih lelaki itu? Hah? Tidak ingin Jeka menunggu lama dan mungkin akan menyebabkan kena semprot bos freak-nya, dia memilih untuk berdiri dan berjalan ke ruangan Jeka. Setelah mengetuk pintu, Una langsung masuk meski Jeka tidak menyahut sama sekali. Di sana, Una melihat Jeka tengah duduk di kursinya dan menyesap teh hangat yang baru dibuatkan oleh Mba Raisa sebelum dia pulang. "Sore, Pak." Jeka mengalihkan pandang saat mendengar suara Una. "Kamu panggil saya apa?" Suaranya terdengar sangat menyebalkan. "M-maaf, Mister." "Squat jump lima kali," ucapnya yang sekarang menatap sang mantan dengan tajam. "Maaf?" Una tampak tidak mengerti. "Saya bilang squat jump lima kali! Tuli kamu?" bentaknya yang membuat Una terkejut. Sial! Tidak pernah sama sekali terbayang di otaknya seorang Jeka akan berkata seperti barusan. Una melepas heels-nya lebih dulu baru melakukan apa yang diperintah Jeka. "Sudah, Mister," jawab Una yang sekarang kembali menatap Jeka yang tampak puas. Wanita berambut sebahu itu mengalihkan pandangan dan memilih memakai heels miliknya lagi. "Saya lupa bilang ke kamu, jika kamu salah menyebut panggilan itu pada saya ... kamu harus langsung inisiatif melakukan squat jump sebanyak lima kali. Mengerti?" "Baik, Mister." Una masih berdiri tak jauh dari Jeka untuk menunggu apa yang akan sang bos katakan. Namun, laki-laki itu malah sibuk dengan komputer yang ada di hadapannya. Akhirnya, Una memberanikan diri untuk bertanya, "Maaf, Mister, ada apa memanggil saya ke sini?" "Oh, iya. Saya lupa masih ada kamu di sini," jawab Jeka dengan enteng yang membuat Una menahan diri untuk tidak bereaksi brutal seperti membanting komputer di ruangan sampai rusak atau melempar kursi ke dinding kaca. "Tolong setrika pakaian saya, saya lihat tadi agak terlipat sedikit. Besok pakaian itu akan saya pakai untuk meeting." "Pakaiannya di mana, Mister?" "Pakaiannya ada di dalam ruangan saya. Buka saja lemari yang ada di dalam, setrika juga ada di sana.” Ada jeda dalam ucapannya karena Jeka terlihat sedang menggerakan jari-jemarinya di atas keyboard. “Kalau sudah selesai bawa pakaiannya kesini. Jika saya melihat masih ada yang terlipat, saya akan menyuruh kamu untuk menyetrika ulang." Kampret. "Baik, Mister." Una berjalan ke arah belakang di mana ada satu pintu di sana yang dia yakin adalah ruangan yang dimaksud Jeka. Gadis berusia 25 tahun ini sempat melihat ke belakang untuk melihat Jeka sedang sibuk apa. Ternyata, laki-laki itu tengah memainkan permainan kartu yang ada di komputernya. Una sempat mengacungkan jari tengah sebelum akhirnya bergegas masuk ke dalam ruangan. Sekitar dua puluh menit Una berkutat menyetrika satu stel pakaian bos—yang hanya merupakan satu-satunya pakaian di dalam lemari—sampai licin dan memastikan tidak ada lagi bagian lecek sedikit pun. Menurut Una, pakaian itu sudah sangat rapi karena dia sudah memeriksa beberapa kali dengan teliti. Una keluar sembari membawa satu stel pakaian Jeka yang digantung. "Mister, ini pakaiannya,” ucap Una yang kini berdiri di samping Jeka. Lelaki yang masih berkutat juga pada game sialannya itu, kini berdiri dan mengambil pakaian yang ada di tangan Una sembari menelitinya. Sekitar kurang lebih dua menit, dia mengangguk dan kembali menyerahkan pakaian itu pada sekretaris barunya. "Taruh lagi ke dalam lemari." "Baik, Mister." Dalam hati, Una merasa lega karena dia tidak mendapat komplen apa-apa. Aman, sebentar lagi dia bisa pulang. “Tolong siapkan sepatu dan kaus kaki yang akan saya pakai besok, ada di rak warna abu,” lanjutnya. “Pilih yang sesuai dengan pakaian yang akan saya kenakan. Setelah itu baru kamu boleh pulang.” Una menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menahan kekesalan yang sudah menjadi-jadi untuk tidak benar-benar meledak menghadapi mantan kampretnya itu. Una yakin, si Jeremy Kafka Kampret Indrapraja ini mau balas dendam padanya, sialan! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD