"Aruna, kamu mau gak jadi pacarku?"
Astaga … apa cowok gendut, jerawatan, dan bau yang ada di depannya sekarang tidak punya kaca di rumah?Berani-beraninya manusia seperti dia menyatakan perasaan ke salah satu most-wanted di sekolah? Una rasa, Jeka memang sudah gila.
Una yang awalnya diam sambil melipat kedua tangan di d**a, sekarang tertawa mendengar Jeka berkata begitu.
"Kenapa? Aku salah ngomong, ya?" tanyanya dengan wajah polos.
"Enggak sih, cuma gak ngaca aja," jawab Una santai.
Jeka yang mendengar itu, hanya tersenyum tipis. "Terus jadinya gimana?"
"Apanya?"
"Mau jadi pacarku, gak?" ulang Jeka lagi, tidak gentar walau kalimat Una sebelumnya sudah mengandung unsur penolakan secara sarkas.
Gadis yang duduk di bangku panjang koridor sekolah di samping laki-laki bernama Jeka, kini menatap manik mata hitam pekat milik orang di sampingnya.
"Kasih gue alasan kenapa gue harus nerima lo. Waktunya lima menit mulai dari sekarang!"
"Waktu kamu sudah berjalan satu menit, Aruna. Kenapa masih diam?"
Una terperanjat saat suara berat Jeka membuyarkan lamunan tentang interaksi mereka dulu. Gadis berambut sebahu ini kembali menatap laki-laki yang duduk berhadapan dengannya, kemudian berdeham pelan sebelum menjawab kurang lebih hampir sama dengan template-template tata cara menjawab interview yang baik dan benar. Dia bersuara dengan satu tarikan napas.
Jeka mengangguk pelan sambil memutar-mutar pulpen hitam yang ada di tangan kanannya. Dia menatap Una cukup lama kemudian bersuara, "Saya ingin melihat kamu bekerja semaksimal mungkin di sini. Kalau bisa, saya tidak ingin melihat kamu melakukan kesalahan sedikit pun. Bisa?"
"Saya akan mencoba melakukan yang terbaik, Pak."
Jeka menyunggingkan senyum remeh. "Bukan jawaban itu yang ingin saya dengar dari kamu, Aruna. Saya ingin kamu berkata ya jika sanggup, dan tidak jika memang tidak."
"Ya, saya sanggup, Pak," ucap Una mantap sembari menatap Jeka penuh keyakinan. Demi mama agar bisa berhenti membanding-bandingkan Una dengan anak tetangga, apapun akan dia lakukan agar bisa diterima di perusahaan ini. Meski harus berhadapan dengan masa lalu.
Jeka kembali menatap wajah Una yang tidak berubah, sama seperti ketika dia melihat wanita itu untuk terakhir kali … tujuh tahun silam. Yang berbeda adalah wajahnya dulu polos tanpa make-up, dan sekarang tampak jauh lebih cantik dengan polesan make-up.
"Sebelum saya memutuskan untuk menerima kamu bekerja di sini atau tidak, saya ingin memberimu beberapa syarat yang harus kamu patuhi selama kita berada di kantor."
"Apa itu, Pak?"
"Pertama, setiap jam enam pagi ... kamu sudah harus ada di kantor ini." Mata Una melebar. Apa-apaan itu? Bahkan masuk sekolah saja pukul tujuh. Mba Raisa pun baru jalan pukul tujuh pagi tadi. Una hendak melayangkan protes, tetapi saat Jeka kembali bersuara, dia mengurungkan niat. "Jika kamu tidak setuju, silakan langsung keluar dari ruangan saya."
"Saya setuju, Pak."
Jeka tersenyum tipis, sangat tipis sehingga tidak terlihat oleh lawan bicara.
"Kedua, saya tidak pernah salah. Jika suatu saat saya salah ... maka kamu harus ingat kalimat pertama tadi."
Mentang-mentang sekarang sudah jadi bos, dia sama sekali tidak mau disalahkan? Astagaaaa, dasar arogan!
"Baik." Lagi-lagi, respons yang dikeluarkan oleh mulut Una berbeda dengan apa yang ada dalam pikirannya. Dia harus menurunkan ego dan harga diri hanya demi sebuah pekerjaan.
"Ketiga, selama jam kerja berlangsung ... kamu harus mengikuti semua peraturan saya. Kendalimu ada di bawah saya. Jangan coba-coba melawan atau berbicara sesuatu yang membuat saya tersinggung."
"Baik, Pak."
"Yang keempat—"
Astagaaa, belum selesai juga? Jeka ini seperti anak kecil yang sedang bermain-main saja. Tidak sadar kalau umurnya sudah tua?
"Jangan ikut campur mengenai masalah pribadi saya. Apa pun itu."
Siapa juga yang ingin ikut campur masalah dia? Hah? Mengapa manusia satu ini terlalu percaya diri, sih? Sepenting itu kah masalah pribadinya sampai dia mengira Una akan repot-repot mencari tahu dari A sampai Z? Una hanya mau dapat pekerjaan dan uang. Seharusnya si gendut, bau dan jerawatan itu kembali seperti dulu saja. Dia berubah sangat menyebalkan sekarang.
"Yang kelima, saya ingin kamu panggil saya dengan sebutan Mister."
"WHAT?" Una refleks menyuarakan kekesalannya yang sedari tadi dia tahan. Hell-oooo? Una tidak salah dengar? Mister? Mister Bean maksudnya?
"Kenapa? Keberatan memanggil saya begitu?" tanya Jeka yang lagi-lagi menyunggingkan senyum mengejek. Seolah sudah tahu kalau Una tidak akan bisa membantah semua ucapannya sekarang.
"Tidak, Pak."
"Kalau begitu, mengapa kamu terlihat terkejut?"
"Menurut lo? Emang lo gak geli dengan aturan aneh lo yang terakhir itu? EW!" maki Una kuat-kuat dalam hati.
"Maaf, Pak."
"Kalau kamu sanggup dengan kelima syarat yang saya berikan, kamu bisa langsung bergabung di perusahaan ini."
"Siap, Pak. Saya bisa." Persetan harga diri, yang penting dia tidak menganggur lagi.
"No, Mister!" Ralat Jeka. Ternyata, aturan yang dia buat langsung berlaku sekarang juga. Una refleks menghela napas dan memutar bola mata malas. "Saya tidak suka reaksimu yang seperti itu, Aruna!" tegur Jeka yang membuat Una meminta maaf. Dia tidak sadar. "Jika saya melihat kamu bersikap tidak mengenakan seperti tadi, saya batalkan kontrak kerja kita."
Dasar laki-laki gendut menyebalkan!
Meskipun sekarang Jeka sudah berubah, tetapi Una akan tetap menyebutnya begitu. Rasa bersalah Una pada laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang seolah menguap entah kemana. Gadis berambut sebahu yang awalnya ingin meminta maaf dengan tulus atas kesalahannya dulu, kini kembali mengurungkan niat. Dia tidak akan pernah mau meminta maaf atas apa yang terjadi dahulu pada laki-laki menyebalkan itu! TIDAK AKAN!
"Baik, Mister, sekali lagi saya minta maaf," jawabnya pelan, berusaha meredakan emosi yang hampir meledak.
Jeka mengubah posisi duduk menjadi tegak, menaruh berkas-berkas milik Aruna di atas meja dan mengambil salah satu map berisi surat kontrak kerja yang dia sodorkan pada wanita berambut sebahu di hadapannya. “Silakan kamu pelajari dulu, jika ada yang kamu tidak mengerti dan ingin ditanyakan … langsung saja. Jika tidak ada, bisa langsung tanda tangan di bagian sini.” Lelaki itu menunjuk kolom untuk tanda tangan yang sudah dibubuhi materai.
Una sempat membaca dan bertanya beberapa hal pada Jeka, sebelum akhirnya dia merasa tidak ada lagi yang perlu dibahas dan memilih menggerakan pulpen hitam yang dia pegang ke atas materai. Dengan adanya tanda tangan Aruna di surat kontrak kerja, sudah dipastikan mulai hari ini dia resmi bergabung di perusahaan milik Jeremy Kafka Indrapraja.
Lelaki itu menerima map yang diberikan Una, kemudian mengulurkan tangan lebih dulu seraya berkata, "Selamat datang dan selamat bergabung di perusahaan ini, Aruna Puteri Pertiwi. Saya harap kita berdua bisa bekerja sama dengan baik.”
Meski tidak ada yang salah dengan kata-kata Jeka, tetapi Una melihat raut wajah Jeka seolah mengatakan sesuatu yang lain, "Welcome to the hell, Aruna Puteri Pertiwi! Saya harap saya bisa menindasmu setiap hari untuk membalas semua perbuatanmu dulu."
Astaga, jika sudah berhadapan dengan mantan freak-nya ini, Una tidak bisa berpikir positif lagi.
Una membalas uluran tangan Jeka, lalu menyahut, “Terima kasih, Mister Jeremy.”
"Silakan keluar dari ruangan saya dan mulai bekerja. Saya harap kamu bisa cepat tanggap karena Bu Raisa hanya akan mendampingi sebentar."
"Baik, Mister. Saya permisi.”
Una berdiri dari duduknya, kemudian membungkuk sebentar sebelum akhirnya buru-buru keluar dari ruangan Jeka.
Demi membungkam mulut mama yang suka membandingkan Una dengan anak-anak tetangga, Una harus rela menghabiskan waktunya di neraka ini mulai sekarang!
***