Bab 2- Astaga, Jadi Bosnya?

2235 Words
Una melihat kearah jam tangan seharga tiga ratus ribu yang dibelinya setahun lalu, melingkar sempurna di pergelangan tangan kiri dan menunjukkan tepat pukul tujuh pagi. Gadis berambut sebahu ini sudah rapi dengan kemeja biru, rok span selutut juga heels hitam 3 cm. Dia membawa tas kecil hitam dan amplop coklat berisi CV juga berkas lain yang akan ditujukan pada bos pagi ini. Jujur saja, Una sangat gugup. Dari tadi kakinya tidak bisa berdiri tegak dengan benar karena gelisah, menunggu mobil Mba Raisa dan suaminya datang dan berhenti di depan rumah. Kemarin Una sudah chat Mba Raisa lagi untuk konfirmasi melalui kontak yang ada di notes kecil pemberian mama. Mba Raisa bilang, dia biasa berangkat pukul tujuh lewat lima menit. "Na, gak ada yang ketinggalan, kan?" tanya mama yang hari ini tampak excited sampai-sampai ikut menemani anak gadisnya berdiri di depan pagar rumah. "Dicek lagi berkas yang kemarin ditulis di notes kecil, takut ada yang ketinggalan." "Udah, Ma, udah lengkap kok,” jawabnya dengan d**a berdebar. Ini adalah interview pertamanya setelah dua bulan wisuda. Tidak lama kemudian, mobil hitam milik Mba Raisa dan suaminya mendekat dan berhenti di depan rumah. Una menegakkan tubuh, kemudian tersenyum saat kaca mobil perlahan diturunkan dan menunjukkan wajah pasangan suami-istri yang tampak sempurna tanpa celah itu. "Ayo, Mba, langsung naik aja ke mobil kalau udah siap," ucap Mas Ramlan dengan ramah. "Oh, iya, Mas." Una mengangguk sopan, kemudian sempat tersenyum tipis ke arah mama sebelum memutuskan membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Duduk di bagian tengah kanan mobil, di belakang Mas Ramlan. "Pagi, Na, sudah makan belum?" tanya Mba Raisa yang melirik Una dari kaca tengah mobil. Paras cantiknya membuat Una yang merupakan perempuan pun kagum. Pantas Mas Ramlan terpincut, Mba Raisa dari dulu memang terkenal di komplek sebagai gadis paling cantik. "Pagi Mba, udah," jawab Una sopan sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Mau roti, gak? Mba bikin tadi buat sarapan, cuma karena kebanyakan sekalian dibawa ke kantor, deh,” katanya, menyodorkan kotak bekal ke belakang. Mas Ramlan sendiri sudah mulai mengemudikan mobil lagi meninggalkan rumah Una setelah berpamitan pada mama. "Makasih, Mba." Una mengambil satu potong roti bakar milik Mba Raisa dan langsung memakannya. "Una ini baru lulus kuliah, ya?" lanjut Mba Raisa lagi, berbasa-basi sambil menyantap roti dengan selai coklat. "Iya, Mba." "Udah pernah kerja sebelumnya?" tanya Mba Raisa yang tampak banyak bicara. Selama ini, setiap kali mereka bertemu paling hanya saling melempar senyum saja, baru kali ini sampai mengobrol. "Sudah, Mba. Pernah jadi barista tiga tahunan." "Wah, keren tuh. Di mana?" Una menyebutkan nama kedai kopi tersebut. Saat ditanya Mba Raisa tahu atau tidak, perempuan hamil itu menggeleng. Jelas, hanya kedai kopi kecil dan tidak punya cabang. Tidak seperti tempat-tempat ngopi mahal yang biasa Mba Raisa kunjungi. "Resign kenapa?" "Karena udah cukup ngumpulin uang buat kuliah. Jadi mama nyuruh aku lanjut sekolah dulu." Mba Raisa mengangguk paham. "Gak bisa part-time, tah?" "Gak bisa, Mba." "Abis lulus udah nyoba ngelamar di mana aja?" "Wah, banyak, Mba. Gak keitung. Tapi gak ada satu pun email nyantol buat interview," kata Una, wajahnya berubah muram. "Semoga di sini kamu bisa keterima ya, Na," ucap Mba Raisa yang langsung diamini Una. "Mm, Mba, mama bilang kemarin katanya bos di sana diganti sama anaknya, ya? Bos baru di kantor Mba galak gak sih?" tanya Una, penasaran. Mba Raisa terkekeh pelan, baru menjawab pertanyaan Una. "Dibilang galak sih enggak. Lebih ke dingin sih orangnya, gak banyak omong juga. Misterius. Tapi kalau ngomong tegas." Una mulai bisa membayangkan gambaran soal bos di perusahaan yang akan dia datangi. Mungkin seperti tokoh-tokoh arogan di novel romansa? "Tenang aja, Na, dia gak akan berani nerkam kamu, kok." Una refleks nyengir saat Mba Raisa melihat raut wajahnya yang mendadak tegang dari kaca tengah mobil. "Nanti di sana rileks saja, ya? Pak Jeremy bilang kalau sekretaris yang kali ini cocok dengannya, kamu mulai kerja hari ini juga. Mba akan ada di sana buat ngajarin kamu sampai batas waktu yang ditentukan, setelah kamu mulai bisa handle segala sesuatu sesuai jobdesc, baru Mba resign." "Siap, Mba," sahut Una. "Omong-omong, sebelumnya udah pernah nyari sekretaris atau emang baru ini, Mba?" "Sudah." Mba Raisa kini kembali menatap Una dari kaca tengah mobil. Mas Ramlan yang mengemudi tidak sekalipun bersuara, hanya diam sebagai pendengar obrolan antara Una dan istrinya saja. "Sudah ada tiga orang Mba coba tawarkan, teman-teman Mba, sih. Tapi sampai sekarang dia belum srek." "Waduh, apalagi aku, ya?" Una mendadak minder. "Pasti yang lain pengalaman kerja dan pendidikannya bagus-bagus ya, Mba? Dari universitas negeri ternama mungkin?" "Mungkin belum sesuai kriteria Pak Jeremy." Mba Raisa mengedikkan bahu. "Emang standar sekretaris yang dicari Pak Jeremy itu kaya apa, sih, Mba?" "Mba sih kurang tahu persis, Na. Soalnya kan kenal juga belum lama. Baru sekitar dua mingguen kerja sama dia. Kalau bapak dari Mas Jeremy sih dulu yang terpenting paham sama maunya, bisa kerja cepat dan hasilnya oke, sesuai dengan ekspektasi beliau. Tapi balik lagi, beda orang beda kebijakan.” Mungkin yang Pak Jeremy mau itu harus sama seperti Mba Raisa. Punya wajah cantik, body ramping semampai mirip model-model top, juga otak encer. Ditambah lagi suara lemah lembut dan rambut panjang hitam bergelombang. Ah, tidak lupa juga wangi parfum mahal yang satu botol kecilnya saja mencapai harga jutaan. Satu di antara seribu kayanya untuk bisa mendapatkan sekretaris seperti Mba Raisa untuk Pak Jeremy. Pantas saja susah carinya. Una jadi bimbang sekarang. Apa lebih baik dia minta turun di sini dan pulang ke rumah saja? Tetapi kalau dipikir-pikir, ini sudah setengah jalan. Sayang kalau sampai di sini langsung menyerah. Lagipula jika Una pulang dengan tangan kosong, dia yakin sang mama tidak akan mau menerima dan membiarkannya masuk rumah. Huh! *** Una dan Mba Raisa turun dari mobil Mas Ramlan ketika mereka sudah berada di halaman salah satu gedung kawasan perkantoran di selatan Jakarta. Gadis berambut sebahu ini menunggu Mba Raisa yang berpamitan pada suaminya, kemudian mengucap terima kasih pada lelaki berusia kepala tiga yang sudah memberi tumpangan hari ini. "Ayo, Na," ajak Mba Raisa sembari mengelus pelan perut besarnya. Saat masuk ke dalam, ada petugas yang meminta kartu identitas milik Una agar dia bisa mendapat kartu akses khusus tamu yang digunakan untuk tap masuk dan keluar area kantor. Kalau nanti sudah bekerja di sini, dia baru akan mendapat ID Card yang juga bisa digunakan sebagai kartu akses untuk keluar-masuk sesuka hati tanpa perlu memberi jaminan di bagian resepsionis. “Ruangan Pak Jeremy ada di paling atas, lantai sepuluh,” ucap Mba Raisa sambil berjalan di samping Una yang kembali diam karena gugup. Wanita hamil yang mengurai rambutnya pagi ini, memencet angka 10 dan lift menunjukkan huruf B yang berarti mereka akan naik lift kedua di antara enam lift yang tersedia di sana. Semenit kemudian, pintu lift terbuka dan Mba Raisa kembali bersuara, “Mari, Na.” “O-oh, iya, Mba.” Sampai di lantai sepuluh, hanya ada satu pintu berukuran besar berwarna coklat yang sangat kokoh menjulang. Di samping kiri, ada sebuah tempat seperti milik resepsionis di lantai bawah. Namun yang ini penuh dengan tumpukan dokumen di atas meja, beberapa loker dan lemari berisi arsip-arsip, komputer, juga hal lain yang berhubungan dengan administrasi. "Ini ruang kerja Mba, Na. Nanti kamu akan ada di sini buat gantiin Mba,” kata Mba Raisa yang menaruh tasnya di atas meja. Sekali lihat saja, Una tahu harganya bisa sampai dua digit. Dia melirik ke arah tas yang dikenakannya di bahu kiri … hanya seharga 600 ribu, dia membeli tas ini di aplikasi belanja sebulan lalu. “Pak Jeremy belum dateng ya, Mba?” tanya Una, ikut menaruh tas di sebelah tas mahal Mba Raisa. "Seharusnya sih sudah karena Mba sudah bilang kemarin ada kandidat baru yang akan datang. Sebentar, ya? Mba telpon dulu,” sahut Mba Raisa. “Kamu duduk dulu saja, Na.” Mba Raisa menghubungkan telepon kantor ke dalam ruangan Pak Jeremy. Jika beliau belum mengangkat, berarti memang belum datang. Namun sepertinya sudah karena Una mendengar Mba Raisa berbincang di balik telepon dan beberapa kali mengucap kata : baik, pak. Tidak lama kemudian, Mba Raisa menutup telpon lalu tersenyum ke arah Una. "Silakan masuk, Na. Bapak sudah menunggu di dalam," kata Mba Raisa, memanggil laki-laki itu dengan sebutan bapak meski usia anak pemilik perusahaan lebih muda darinya. "Oke, Mba. Una masuk dulu, ya?" "Semangat! Semoga berhasil." "Makasih.” Una sempat menyunggingkan senyum tegang sambil berjalan ke arah pintu kayu coklat. Ragu, Una mengetuknya sebanyak tiga kali. Mendengar tidak ada balasan dari dalam, Una menoleh ke belakang dan melihat ke arah Mba Raisa yang masih memerhatikan dia. “Langsung masuk saja kalau begitu, mungkin bapak sibuk.” Una membuka knop pintu kayu, kemudian memasuki ruangan yang tampak luas dan beraroma daun teh. Dari tempatnya berada, dia melihat seorang laki-laki berpakaian formal tengah berdiri membelakanginya dan memandang pemandangan di luar gedung persis seperti di film romansa yang pernah dia tonton. Apa semua bos muda lagaknya seperti itu? "Pagi, Pak Jeremy," sapa Una yang kini berjalan lebih dekat sampai berdiri di depan meja kerja calon bosnya. "Ya, silakan duduk," ucapnya dengan suara berat setelah sempat berdeham. "Terima kasih, Pak." Una menghempaskan b****g di salah satu antara dua kursi yang berhadapan dengan meja Pak Jeremy. Dia sangat penasaran dengan wajah anak dari pemilik perusahaan Indodrink. Sementara tanpa Una sadari, Jeremy sendiri sudah tahu siapa nama perempuan yang melamar pekerjaan padanya pagi ini. Dia juga masih bisa mengenali suara gadis itu dengan jelas, gadis yang dulu sangat dia sukai semasa sekolah. Aruna Puteri Pertiwi. Gadis yang tidak pernah tahu nama lengkap Jeka. Ya, Una hanya tahu namanya adalah Jeka. Una tidak pernah tahu kalau Jeka sendiri adalah singkatan dari Jeremy Kafka. Dulu saat sekolah, mereka tidak pernah sekelas. Pacaran pun terbilang singkat karena hanya bertahan satu minggu saja. Selama ini, Jeka berhasil menjauh dan menghilangkan jejak dari Aruna Puteri Pertiwi. Namun sekarang, di saat mereka sudah tujuh tahun berpisah ... semesta dan takdir seolah bersekongkol mempertemukan mereka lagi. "Pak Jeremy?" panggil Una sekali lagi dari belakang karena Jeka tidak kunjung berbalik arah dan menghampiri Una yang sudah duduk manis dan siap menjalani interview. Ada rasa aneh saat Jeka mendengar suara itu lagi setelah sekian lama. Suara yang paling dia benci, tetapi tidak bisa dipungkiri … Jeka merindukannya. Lelaki jangkung ini berbalik, kemudian berjalan menghampiri Una yang tampak terkejut saat melihat laki-laki dari masa lalu ternyata muncul di hadapannya dengan kondisi fisik dan nasib yang berbeda. Una refleks berdiri, tanpa sadar tangannya menggenggam kuat-kuat sampai berkeringat. Mengapa Tuhan cepat sekali mengabulkan doanya? "Je-Jeka?" gagapnya. “L-lo ngapain ada di sini?" "Kenapa kalau memang saya ada di sini? Kamu keberatan?" tanyanya dengan suara berat yang agak berbeda dengan tujuh tahun lalu. "Enggak, tapi ... kenapa lo bisa duduk di sini? Gak mungkin lo Pak Jeremy, gak usah ngaku-ngaku deh!" Jeka mengulurkan tangannya yang terbalut oleh kemeja putih panjang ke arah Una. "Selama ini kamu hanya tahu nama saya Jeka, kan? Perkenalkan, saya Jeremy Kafka Indrapraja," lanjut Jeka yang menampakkan raut wajah tanpa ekspresi. Ragu, Una sempat menatap uluran tangan Jeka tanpa membalasnya, lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah laki-laki yang penampilannya sangat berubah drastis dari dia yang dulu. "Jadi … apa alasan seorang Aruna Puteri Pertiwi mau melamar pekerjaan di tempat saya yang tidak seberapa ini?" tembaknya langsung dengan cara merendah untuk meroket dan membuat Una refleks menelan ludah. "Je, please bilang gue mimpi, kan?" lirih Una. “Lo bukan Jeremy, lo Jeka,” desisnya sambil menggeleng pelan. "Memangnya selama ini apa yang kamu tahu dari saya, Aruna? Saya di matamu hanya laki-laki yang selalu kamu pandang rendah, kan? Laki-laki yang sampai kapan pun tidak akan pantas untuk bersanding dengan kamu." "Jeka, g-gue ...." Lelaki itu menghembuskan napas lelah saat melihat Una ketakutan. Jeka berusaha mengatur emosi agar tidak lagi menyudutkan gadis itu, kemudian memilih duduk di kursi kebesarannya. “Silakan duduk kembali, berikan map coklatmu itu pada saya,” lanjutnya yang menyandarkan punggung ke badan kursi, menyilangkan satu kaki ke atas sambil mengulurkan tangan ke arah Una. Una menyerahkan map itu pada Jeka dan membiarkannya membuka berkas-berkas yang ada di dalam. Rasanya, Una ingin lari dari ruangan ini tetapi tidak bisa. Jeka sempat membaca berkas-berkas milik Una dengan seksama, sebelum akhirnya dia melontarkan pertanyaan. "Kamu pernah bekerja jadi barista?" "Ya, tiga tahun," jawab Una, berusaha memberanikan diri menatap Jeka tepat di manik mata. "Kenapa memutuskan resign?" "Mama menyuruh saya untuk fokus kuliah, Pak." Kali ini, dia mencoba bersikap profesional karena bagaimanapun Jeka adalah calon bosnya dan mereka sudah mulai masuk sesi interview. Jeka berdeham saat mendengar Una memanggilnya dengan sebutan pak, juga refleks membetulkan letak dasinya yang agak miring. "Jadi setelah lulus kuliah kamu belum pernah bekerja lagi?" lanjut lelaki yang seumuran dengannya. "Ya." Una melihat Jeka kembali membaca profilnya. Lelaki itu tampak serius, kalau dilihat lagi tidak bisa dipungkiri lelaki itu terlihat jauh lebih tampan dan terawat. Kenapa bisa Jeka berubah sedrastis ini selama tujuh tahun? "Kamu tahu lamaran pekerjaan ini dari Bu Raisa?" "Benar, Pak." "Dari mana kamu kenal dia?" "Kami kebetulan tinggal di blok yang sama." Jeka mengangguk sembari mengelus rahangnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus di area dagu. Sepertinya habis bercukur. Tidak lama kemudian, dia kembali mengalihkan pandangan ke arah Una. Mereka saling bertatapan cukup lama sebelum akhirnya laki-laki itu bersuara, "Berikan alasan kenapa saya harus memilih kamu, Aruna. Waktunya dimulai lima menit dari sekarang." Astaga, apa yang barusan dia katakan? Kalimat yang dilontarkan Jeka barusan mengingatkan Una pada kata-kata yang pernah dia katakan tujuh tahun lalu. Mengapa Jeka seolah sedang menyindirnya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD