Selesai meeting pukul sepuluh. Sejak tadi, Aruna tidak mau menatap wajah Jeka sama sekali walau dia berada di sebelah Pak Bos. Hanya saat Jeka memberikan pertanyaan saja baru gadis itu mau melihat ke arahnya, itu pun hanya sekilas.
Jeka menyuruh Raisa dan yang lain ke luar lebih dulu karena sudah selesai meeting. Biasanya Raisa yang membereskan ruangan, tetapi sekarang Jeka membebankan hal itu pada sekretaris baru yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aruna.
"Setelah ini kita langsung ke Bandung, sudah bawa pakaian ganti kan?" tanya Jeka yang masih duduk di tempatnya dan memerhatikan Una yang sibuk mematikan laptop dan membereskan hal lain. Lagi-lagi, Una bersikap seolah hanya ada dia sendiri di sana.
"Belum, Mister. Tidak sempat," jawab Una tanpa menatap bosnya. Tangan gadis itu sibuk merapikan ini-itu. Una bisa mendengar helaan napas Jeka. Kupingnya sudah tebal dan dia tidak masalah kalau Jeka hendak memarahi lagi.
"Ya sudah, kita ke rumah kamu dulu," ucap Jeka akhirnya. "Kemarin saya sudah ijin pada mamamu dan dia bilang iya."
Mendengar itu, sekarang dia langsung mengalihkan pandangan ke arah Jeka. "I-ijin?"
"Ya, saya sudah ijin saat mengantarmu pulang kemarin … sekalian mengantarmu ke kamar."
"APA?" Una mendadak shock saat dia ingat ada sesuatu di dalam kamarnya. Sial, dia baru ingat saat bangun pagi tadi dirinya memang sudah berada di kamar. Aruna tidak sempat memikirkan apa-apa karena dia harus cepat sampai kantor pukul enam pagi. "Mi-Mister melihat sesuatu yang aneh tidak?" Bahasanya berubah baku lagi karena dia berusaha professional di hadapan bos meski masih marah.
Jeka sempat pura-pura berpikir, kemudian bertanya, "Contohnya?"
"C-contohnya ... sesuatu yang menyeramkan," kata Una, makin gugup. Tidak pernah terlintas di otaknya kalau Jeka akan datang ke rumah dan masuk ke dalam kamar.
"Memangnya kamu pelihara hantu di kamar?"
“Iblis tepatnya, nempel di samsak tinju punya papa yang udah gak kepake dan gue ambil di gudang belakang rumah,” batin Una.
"Tidak, Mister."
"Saya tidak lihat apa-apa, kok."
Una tidak yakin Jeka benar-benar jujur. Dia pasti sudah tahu.
"Bagus kalau begitu, Mister,” pancing Una, ingin melihat sejauh mana Jeka menyembunyikan hal ini.
"Iya. Sangat bagus. Wajah saya terlihat garang di kamarmu, Na. Mungkin saya akan mencoba menumbuhkan kumis dan janggut panjang seperti itu."
"Maaf, Mister." Una langsung mengambil ancang-ancang posisi jongkok dan squat jump lima kali setelah melepas heels yang dipakai.
"Sebegitu bencinya kamu pada saya, ya?" tanya Jeka sembari terkekeh yang membuat Una salah tingkah. Sungkan mau menjawab iya walau itu benar. "Saya masih punya banyak stok foto di ponsel. Lain kali tidak perlu curi diam-diam foto saya dari sosial media, Aruna. Saya akan berikan cuma-cuma jika kamu mau."
Jeka berdiri dari duduknya sembari meletakkan sesuatu yang dia ambil dari dalam saku jasnya. "Saya tahu kamu belum mengisi perutmu dengan apa pun sejak tadi. Makan dulu.” Lelaki itu menaruh sebungkus roti coklat, s**u kotak berukuran sedang dengan merk Indodrink, dan juga satu butir obat magh dalam kemasan ke atas meja. Setelahnya, dia langsung meninggalkan Una sembari bicara, "Dihabiskan, saya tidak mau kamu mati karena urusan kita belum selesai."
***
Pukul dua belas kurang mereka baru jalan setelah Jeka mengantar Una ke rumah untuk mengemas pakaian dan barang bawaan lain. Una membawa koper kecil yang kini ada di bagian tengah mobil Jeka. Mereka sempat makan siang dulu karena mama tidak memperbolehkan keduanya pergi sebelum menyantap makanan.
Sebelum mereka pergi, tadi pagi Jeka sudah bilang pada Raisa kalau dia akan ke Bandung bersama Una selama dua hari untuk meninjau kondisi pabrik di sana. Jeka menyuruh Raisa merampungkan pekerjaan hari ini dan untuk dua hari ke depan bisa dengan Work from Home karena tidak ada yang urgent.
Sampai di sana, hari sudah sore. Jeka memarkirkan mobil di sebuah rumah yang merupakan vila milik keluarganya. Hanya ini satu-satunya vila yang masih kosong karena lainnya sudah diisi oleh orang-orang yang memang ingin berwisata di sekitar sini.
Dalam hati, Aruna memikirkan beberapa total kekayaan bersih keluarga Jeka sebenarnya. Tempat perkebunan teh dan produk minuman olahan lain yang ada di sini tidak hanya dijadikan sebagai lahan pekerjaan tetapi juga tempat wisata. Namun, letak antara satu vila dan vila lain berjauhan sehingga tidak saling mengganggu.
Seorang penjaga vila milik keluarga Jeka datang dan menyambut mereka. Dia membukakan pintu vila yang tersedia dan mempersilakan anak laki-laki Pak Indrapraja masuk ke dalam.
"Tadi udah saya bereskan semua, A. Kalau perlu apa-apa panggil saya aja ya," katanya yang tinggal tidak jauh dari sini. Sudah mengabdi menjaga vila-vila milik keluarga Indrapraja sekitar 20 tahun lebih. Dari Jeka masih kecil dia sudah kenal dengan Mang Ujang yang memanggilnya dengan sebutan Aa, khas orang Sunda yang menyebut itu sebagai kata ganti kakak laki-laki.
"Makasih banyak, Mang," kata Jeka yang tersenyum ramah padanya. "Selama papa gak datang ke sini, gak ada masalah apa-apa, kan?"
"Cuma masalah kecil, tapi udah diatasi, A. Kemarin vila besar bocor di bagian atas, ada genteng yang retak. Udah dibetulin setelah tamunya lapor. Sisanya aman terkendali siap gerak lencang depan gerak."
"Baik," kata Jeka sambil mengangguk. Sementara Una yang ada di sebelah Jeka, tertawa kecil. Membuat Mang Ujang menoleh dan baru sadar ada yang Jeka bawa ke sini.
"Waduh, sekarang datang ke sininya sama gadis, euy. Meuni geulis si teteh," kata Mang Ujang dalam bahasa Sunda yang sedikit-sedikit Jeka mengerti. "Kabogoh Aa, nya?" lanjutnya lagi yang membuat Jeka menarik kedua sudut bibir ke atas sembari melirik ke arah Una yang tampak tidak mengerti. Jeka bisa melihat kebingungan di wajah perempuan itu. (Cantik banget si teteh, pacar Aa, ya?)
"Iya," jawab Jeka singkat yang membuat Mang Ujang tersenyum lebih lebar. Una yang masih kebingungan hanya ikut tersenyum.
"Ya udah atuh silakan kalau mau istirahat mah. Sok, nanti panggil we Mamang kalau butuh nanaon, tong sungkan, nya?" (Ya udah silakan kalau mau istirahat. Nanti panggil aja Mamang kalau butuh apa-apa, jangan sungkan, ya?)
"Iya, Mang. Makasih," kata Jeka lagi.
"Mari, Teteh Geulis." Mang Ujang sempat pamit juga ke Una dan dibalas senyuman gadis itu. Setidaknya dia tahu arti kata naon, geulis, mah, dan atuh. Sisanya dia tidak paham.
Setelah Mang Ujang pergi, Una menatap sekeliling. Vila ini tidak terlalu luas. Hanya ada ruang tamu yang diisi televisi, sofa, dan dispenser. Lalu ada dapur kecil dan kamar mandi, kemudian kamar yang hanya ada satu.
Saat Una membuka pintu kamar, mata bulat itu melebar ketika mendapati hanya ada satu ranjang besar di dalam beserta lemari kayu berukuran besar. Dia kembali menutup pintu dan melihat Jeka yang tengah memasukkan kopernya juga ke dalam vila.
"Je," panggil Una, membuat lelaki itu menoleh.
"Kenapa?"
"Kita tidur satu kamar seranjang?"
Jeka sempat diam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk. "Ya, hanya tersisa vila ini saja. Vila dengan dua kamar atau satu kamar dua ranjang sudah penuh.”
Astagaaaa, apa-apaan ini?
"Ya udah, kalau gitu gue tidur di sofa depan saja," kata Una yang kembali bicara biasa karena sudah di luar jam kerja.
"Memang kenapa kalau tidur di kamar?"
"Lo tanya kenapa?" Una tidak habis pikir dengan Jeka. "Lo pikir apa kata orang ngelihat lawan jenis yang belum nikah tidur di satu ranjang yang sama?"
Jeka menyahut santai, "Tidak ada yang lihat. Lagipula ranjang itu luas, Na. Berbagi saja satu sama lain."
"Lo tahu kan kita ini udah sama-sama dewasa? Gue sih sama sekali gak tertarik sama lo ya, cuma ... antisipasi aja biar gak terjadi hal-hal yang gak diinginkan."
Jeka yang mendengar itu, terkekeh. "Kalau seandainya itu terjadi, saya bersedia tanggung jawab atas kamu, kok. Tenang saja, Aruna."
Mendengar itu, ingin sekali Una melempar koper ke kepala Jeka. Dia memang sudah tidak waras.
***