Bab 14 - Sama-sama Sakit Hati

1120 Words
Awalnya Aruna yang mengubah tidur menjadi telentang ingin kembali memejamkan mata, tetapi saat dia tidak sengaja melihat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi lewat lima menit, matanya refleks terbuka lebar dan dengan cepat menyibakkan selimut sambil mengubah posisi menjadi duduk. Dia meraih ponsel yang berada di atas nakas, lalu mengecek benda berbentuk persegi panjang itu yang ternyata mati total. Pantas saja, suara alarm yang selalu dia pasang pukul setengah lima tidak menyala. Ah, sial! Una bergegas masuk ke kamar mandi yang berada di kamar dan membersihkan diri ala kadarnya. Dia langsung memakai pakaian kerja kemudian bergegas mengambil tas dan menaruh ponsel yang kehabisan baterai—baru sempat charger pakai powerbank. Gadis itu bahkan tidak ada waktu untuk menyisir rambut atau memakai make up karena sekarang sudah pukul lima lewat tiga puluh menit. Sesampainya di bawah, sang mama sempat menyuruh Una sarapan tetapi anak gadisnya bilang dia sedang buru-buru. Una menutup wajahnya dengan masker agar mama tidak melihat kalau dia belum pakai apa-apa. Sambil berjalan keluar rumah, dia juga menyisir rambut sebahunya dengan tangan beberapa kali. Dia memesan ojol sembari bergerak gelisah di pagar depan rumah. Menunggu ojol yang datang tiga menit lagi saja rasanya seperti menunggu datang satu abad kemudian. Una langsung naik saat pengemudi ojol datang dan memberikan helm padanya setelah mengonfirmasi nama dan alamat ulang agar memastikan tidak salah orang. Dia memilih berhenti berlari dan membungkuk sembari memegang kedua lutut saat jam menunjukkan pukul enam lewat lima menit setelah sampai ke depan pintu kantor. Suasana masih sangat sepi, karena jam kerja karyawan lain tidak seperti Aruna. Gadis itu mengatur napas dan mengelap keringat yang muncul dengan punggung tangan, kemudian mengipas-ngipas wajahnya agar tidak semakin dibanjiri keringat. Dia sudah pasrah kalau Jeka nantinya akan menghukum dia squat jump atau bahkan memecat Una langsung. Walau dipaksa sekeras apa pun, jika bangun telat sedikit dari jam di alarm seharusnya sudah dipastikan dia akan sampai ke kantor lebih dari jam enam. "Lemes amat, Mba, sakit, ya?" tanya pak satpam yang selalu saja mengajak Una bicara. Entah satpam yang ini atau yang satu lagi, mereka sama-sama suka berbasa-basi. "Nggak, Pak," sahut Una yang melirik sekilas ke arah lelaki paruh baya tersebut. “Duluan, ya, Pak." Una bergegas berjalan ke lift dan masuk ke sana. Memencet tombol angka 10 dan langsung masuk ke ruangan Jeka setelah mengetuk pintu. Di sana, Una melihat Jeka baru saja keluar dari ruang kamar dengan tangan yang memegang piring kecil dengan cangkir yang Una yakin berisi teh hijau atau teh dengan satu sendok gula. "Maafkan saya karena terlambat, Mister," ucap Una yang langsung mengambil ancang-ancang jongkok dan squat jump lima kali tanpa disuruh setelah melepas masker. Selesai menjalani apa yang sudah menjadi konsekuensi, dia kembali berdiri dan menatap bosnya. "Saya kira kamu menangis kemarin karena sadar dengan kesalahanmu, tapi ternyata saya salah besar," kata Jeka yang menyinggung pertemuan mereka kemarin. Lelaki itu meletakkan piring kecil dengan cangkir di atasnya yang mengepulkan uap panas ke atas meja, kemudian kembali menatap Una dengan posisi berdiri dan kedua tangan disilang ke d**a. "Saya pikir kamu akan berubah, tetapi kamu ya tetap kamu, Aruna. Selalu ingin jadi yang paling benar, kan?" Una menelan ludah. Dia memilih menunduk dan tidak mau membantah apa pun. Dia ingat sekali kalau Jeka pernah bilang dia akan selalu benar di kantor. Jadi menceritakan alasan kenapa dia datang terlambat seperti kemarin bukanlah hal yang ingin dia dengar. Aruna hanya bisa mengucap kata, "Saya minta maaf, Mister." "Kemarin kamu sudah saya tegur mengenai sepatu. Sekarang masih kamu ulangi. Lalu sekarang kamu tampil polos tanpa make up. Astaga, saya tidak habis pikir dengan kamu, Na." "Maaf, Mister,” lirih Aruna lagi. "Sangat disayangkan gadis cantik dan pintar di hadapan saya sekarang masih tidak punya attitude. Selalu bersikap semaunya seperti dulu." Mendengar itu, Una kini kembali menatap Jeka dan menegakkan tubuh. Dia sempat beradu pandang dengan lelaki itu sebentar kemudian bersuara, "Gak masalah kalau lo mau pecat gue sekarang. Gue udah gak sanggup lo kerjain terus-terusan kaya orang gila, lama-lama gue ikut gak waras ada di sini." Kali ini, dia tidak lagi menggunakan kata saya. Mendengar itu, Jeka malah terkekeh dengan pandangan meremehkan. "Bahkan baru seminggu saya memperlakukan kamu begitu dan kamu sudah ingin menyerah?" ucap Jeka. "Bukannya kamu sendiri yang bilang akan menjadi babu saya selama setahun tanpa upah seandainya saya bisa berubah dulu? Kamu lupa, hm?" Una mengerjap sekali, pikirannya melayang pada kejadian beberapa tahun lalu yang bahkan dia sendiri tidak ingat jika Jeka tidak mengungkit perkataan itu sekarang. "Kata babu mungkin terlalu kasar untuk didengar, kan? Tapi kamu sendiri yang mengatakan seperti itu pada saya dulu," lanjut lelaki yang mengenakan kemeja dengan wajah datar. "Seharusnya kamu berterima kasih pada saya karena masih berbaik hati memberimu gaji dan hal lainnya. Saya tidak sebusuk kamu tujuh tahun yang lalu, Aruna." Tubuh gadis berambut sebahu ini bergetar. Dia mengepalkan kedua tangan karena merasa marah dengan apa yang Jeka katakan. Walau dia salah, tetapi perkataan Jeka menyakitinya. "Kenapa malah menangis? Saya tidak minta kamu untuk menangis," lanjut Jeka saat dia melihat Una menangis untuk kedua kali, sekarang di hadapannya. Jeka tidak tega, namun dia harus memberinya pelajaran. "Lo jahat!" "Kamu juga jahat!" balas Jeka langsung. "Lo b******k, Jeka! Gue benci banget sama lo!" teriaknya dengan keras. “Kenapa lo gak berubah kaya dulu lagi, hah? Kenapa lo gak balik aja jadi Jeka yang dulu?” "Wow." Jeka malah terbahak mendengar Una mengeluarkan kata-kata kasar yang selama ini tertahan untuk dia katakan pada Jeka. "Aruna masih sama saja." Una mengelap airmata dengan punggung tangan, kemudian kembali menatap Jeka. "Kenapa? Lo mau gue bully lagi kaya dulu? Inget ya, di mata gue lo itu tetap cowok gendut, bau dan jelek! Selamanya gak akan pernah berubah.” Jeka menggeleng sembari terkekeh melihat Una mengatainya begitu. Lelaki itu memilih duduk di kursi kebesarannya dan menatap Una yang masih berdiri di tempat. Dia sudah tidak bisa berkata apa pun, jika diteruskan bisa-bisa akan semakin saling menyakiti satu sama lain. Lelaki itu memilih mengalah dan meredam emosi. Bos muda itu melirik ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri. "Saya beri waktu sampai meeting dimulai untuk kamu memperbaiki penampilan. Pukul delapan nanti saya mau ruang meeting sudah siap," perintahnya seolah tidak terjadi apa-apa sebelum ini. Una langsung pergi begitu saja setelah Jeka memerintah. Dia bahkan menutup pintu ruangan cukup kencang sehingga membuat lelaki itu kembali tersenyum. Tapi kali ini senyum yang ditampilkan berisi kesedihan. Seandainya Aruna tahu, bukan cuma dia yang terluka. Jeka pun sama. Saat kembali ke meja kerja, Una menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis keras. Dadanya sesak mengingat kata-kata Jeka barusan walau dia menyadari kalau dia salah dan tidak bisa mengontrol emosi juga. Semoga saja lelaki itu tidak tiba-tiba keluar ruangan dan memergokinya dengan kondisi seperti orang frustasi pagi ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD