Hari Sabtu yang Una kira akan menjadi hari tenang—karena ini adalah weekend pertamanya setelah bekerja—ternyata hanya sebuah khayalan belaka alias omong kosong. Pukul delapan pagi, ponselnya sudah berdering nyaring di saat dia tengah menikmati hidupnya dengan berencana bangun siang dan bermalas-malasan seharian.
Una yang juga menyimpan nomor Jeka setelah kejadian mencari ponsel pak bos waktu itu, melebarkan mata melihat ternyata dia yang menelponnya. Ada apa, sih?
"Halo, Mister," ucap Una yang kini menempel ponsel di telinga dengan posisi tidur menyamping. Dia tidak mau menanggung resiko harus squat jump lima kali bila salah memanggil Jeka tanpa kata itu.
"Aruna, hari ini kamu sibuk tidak?" Di seberang sana, Jeka langsung to the point bertanya.
"Tidak, Mister. Ada perlu apa?"
"Bisa ke rumah saya siang ini?” Ada jeda dalam ucapannya. “Mm … sekitar jam dua belas atau satu siang."
Una melirik lagi ke jam dinding yang ada di kamar, kemudian mengacak rambut pendeknya karena kesal. "Bisa, Mister. Alamat rumah Mister di mana?"
"Nanti saya share lokasi ke kamu, ya?"
"Baik."
"Kamu pergi ke sini naik ojol saja, biar nanti saya ganti uangnya."
"Iya."
"Oh ya, satu lagi."
"Apa?"
"Jangan panggil saya mister di luar jam kerja. Panggil nama saya saja bila tidak ada urusan dengan kantor seperti ini."
"Baik, Je."
"Bagus, saya tunggu siang nanti."
Gara-gara Jeka, Una terpaksa harus merelakan acara bermalas-malasannya hari ini. Gagal sudah dia yang berencana tidak akan meninggalkan tempat tidur sebelum pukul dua belas siang. Huh!
Dia bergegas untuk membawa pakaian kotor yang sebenarnya akan dicuci siang nanti. Gadis itu memutuskan untuk mencuci pakaian sekarang dilanjut menyetrika beberapa pakaian kering yang sudah dilipat di keranjang. Setelahnya, baru Una mandi dan pergi ke tempat si bos menyebalkan.
"Siang-siang gini mau ke mana dandan cantik begitu?" tanya sang mama saat Una keluar dari kamar dan pamit pergi.
"Ada urusan di luar sama bos, Ma."
"Hari Sabtu masih harus kerja?" Mama tampak kebingungan karena yang dia tahu kantor tempat anaknya bekerja hanya beroperasi dari senin sampai jumat saja.
"Ya." Una menjawab singkat agar percakapan tidak melebar ke mana-mana. "Pergi dulu, Ma."
"Hati-hati, Na."
Aruna sengaja memakai pakaian yang bagus juga mengenakan make up seperti hendak ke kantor karena mungkin saja dia akan bertemu dengan orang tua Jeka. Una tidak ingin tampil kucel dan memalukan di hadapan mereka.
Sesampainya di titik lokasi yang dituju, Una turun dari ojol dan hanya mengucap terima kasih karena sudah bayar lebih awal melalui aplikasi. Gadis berusia 25 tahun yang hari ini pakai dress cerah berwarna merah muda selutut, melihat nomor rumah di sebelah pagar.
No 144, benar!
“Kok rumahnya gak sebesar yang ada di bayangan gue, ya? Gue kira, rumah Jeka bakal kaya rumah-rumah mewah di novel ala CEO gitu yang punya maid sampai berpuluh-puluh,” batin gadis itu sambil menatap sekeliling. Kalau dilihat, area rumah Jeka juga bukan seperti di komplek-komplek elit. Una sempat meragukan lelaki itu, tetapi tidak mungkin Jeka berpura-pura menjadi bos seperti di film-film.
Una menekan bel yang berada tepat di bawah nomor rumah, hingga membuat Jeka yang berada di dalam dan tengah membaca koran sekarang tersenyum dan berdiri untuk melangkah ke luar. Dia yakin sekali itu Una karena sekarang jam menunjukkan pukul satu siang. Meski ketus dan menjengkelkan, Aruna hampir selalu tepat waktu.
Jeka membuka pagar rumah dan menyuruh Una masuk. Setelahnya, lelaki itu kembali mengunci pagar dan mengajak Una berjalan ke dalam rumahnya.
"Kok sepi banget, Je? Orang tua kamu ke mana?" tanya Una yang berjalan mengikuti tuan rumah di belakang. Agak kikuk mengucap kata kamu, tetapi dia bingung ingin menggunakan kata ganti apa. Tidak mungkin bilang lo, meski dulu dia juga melakukannya. Sekarang sudah berbeda.
"Saya tinggal sendiri di sini," jawab Jeka.
"Sendiri?" Kalau tinggal sendiri di rumah seperti ini jatuhnya malah terlalu besar untuk dihuni seorang diri. "Kamu gak takut tinggal sendiri di rumah sebesar ini?"
"Memang kalau saya bilang takut, kamu mau menemani saya di sini?" Una membuka sedikit mulutnya sembari menatap laki-laki yang sekarang menghentikan langkah dan menatap dia lekat. Gadis berambut sebahu ini tidak mengira Jeka akan membalas begitu. "Kamu bantu saya untuk membersihkan rumah hari ini, ya? Pembantu saya sedang izin beberapa hari belakangan karena anaknya sakit. Tidak ada yang mengurus rumah karena saya sibuk bekerja, jadi kondisinya berantakan."
Una semakin melebarkan mulut mendengar lanjutan ucapan Jeka. Jadi … dia datang sekarang untuk membantu Jeka membersihkan rumah menggantikan pembantunya yang sedang berhalangan hadir? Astagaaa, untuk apa Una memakai dress bagus, make up secantik mungkin dan bahkan mencatok rambutnya siang ini?
"Saya perhatikan kamu pandai mengerjakan pekerjaan rumah, Aruna. Jadi saya percaya kamu bisa membereskan rumah saya," kata Jeka sambil tersenyum, entah tulus atau tidak. Pikiran Una tidak bisa positif bila menyangkut dengan lelaki itu. "Tenang saja, saya akan memberimu tambahan gaji bulan ini."
Una tidak bisa menolak dan hanya mengangguk saja menuruti perintah si kampret.
"Kamu mulai bersihkan kamar saya dulu, ya?"
"Hm," jawab Una singkat. Dia berjalan mengikuti Jeka yang membuka pintu kamar dan gadis itu masuk ke dalam sana. Una melihat banyak baju yang tergantung dan berserakan di mana-mana. Keadaan kamar Jeka membuat kepala Una pusing. Kalau Aruna yang bersikap seperti ini di rumah, bisa-bisa mama akan marah meledak-ledak.
"Saya hanya datang ke kamar untuk tidur, jadi ya ... begitu," ucap Jeka, seolah tahu Aruna butuh penjelasan mengapa kondisi kamarnya kacau seperti kapal pecah.
Una menaruh tas di nakas, kemudian mulai memunguti pakaian kotor Jeka yang berserakan dan menaruhnya di keranjang kotor.
"Baju kamu yang digantung-gantung itu masih dipakai, gak?" tanya Una menunjuk pada baju-baju dan celana yang ada di kapstok.
"Tidak, Na."
Una mengambil pakaian-pakaian milik Jeka dan menaruhnya bersamaan dengan pakaian kotor lain.
"Kamu bisa cuci baju sendiri pakai mesin, kan?" tanya Una yang dibalas anggukan Jeka. "Ya sudah, sana cuci!"
Jeka mengangkat keranjang kotor, sementara Una kembali merapikan kamar. Gadis itu mengangkat sesuatu yang dia temukan di bawah bantal dan sedikit berteriak memanggil nama Jeka.
"Kenapa, Na?"
"Kamu tuh jorok banget, sih?" Una melempar celana dalam Jeka yang melayang dan jatuh di depan laki-laki itu. Jeka langsung mengambilnya dan memasukkan ke keranjang kotor. "Kamu memang selalu begitu, ya?" tuduh Una sambil marah-marah.
"Tidak, itu bekas kemarin. Saya mencopotnya sebelum tidur."
"Gak perlu dijelaskan detail begitu, saya gak mau dengar," jawab Una dengan ketus, tetapi pipinya menghangat karena malu mendengar kalimat seperti itu. Una merapikan seprai Jeka lagi, dan setelahnya memilih membereskan yang lain.
Pukul tiga sore, Una selesai juga bertugas menjadi bahan suruhan dadakan. Lelaki itu meminta Una untuk tetap tinggal di sini sampai dia perintahkan untuk pulang, sementara dia pamit belanja ke supermarket untuk membeli isi kulkas setelah Una marah-marah karena di kulkas Jeka banyak sayuran yang sudah layu dan kulkasnya kotor sekali. Una membuang sayur-sayur itu dan membersihkan kulkas. Jeka sudah pergi sejak setengah jam lalu.
Gadis yang beristirahat dengan cara duduk menonton acara televisi di ruang keluarga, lama-lama mengantuk karena AC di ruangan membuat suhu menjadi dingin dan jiwa bermalas-malasannya kembali. Una merebahkan diri di sofa, kemudian memutuskan memejamkan mata sebentar. Tidur sepuluh menit tidak masalah, kan? Lagipula dia akan langsung bangun dan kembali pura-pura sibuk saat tuan rumah datang.
Una benar-benar lelah membersihkan rumah Jeka, awas saja kalau gajinya hanya ditambah seratus atau dua ratus ribu. Una penggal kepala laki-laki itu nanti!
Sepulang dari minimarket, Jeka mendapati Una tengah tertidur pulas di sofa dengan televisi menyala. Tadinya Jeka ingin membangunkan Una dan menyuruh gadis itu memasak makanan untuk mereka, tetapi Jeka mengurungkan niat dan memilih membopong tubuh Una ke dalam kamar. Dia sempat menurunkan dress Una yang sedikit tersingkap ke atas, kemudian menyelimuti tubuh gadis itu sampai ke d**a.
Lelaki itu tersenyum saat melihat ruangan kamar tampak jauh lebih rapi, lalu kembali fokus menatap perempuan yang masih terlelap di atas ranjang. Jeka sama sekali tidak pernah mengira kalau takdir akan membawa mereka kembali. Jeka juga sama sekali tidak pernah berpikir kalau Una akan datang ke rumah dan tertidur di sini.
Dia sempat ingin segera pergi. Namun melihat Una dalam keadaan begini, Jeka malah mendekatkan wajah ke arah perempuan itu dan mengecup kening gadis itu cukup lama. Aruna selalu cantik di mata Jeka, hari ini bertambah cantik dengan balutan dress merah muda dan make up yang menghiasi wajahnya.
Seandainya Una tahu … sudah pasti Jeka akan dimaki dan dipukuli habis-habisan.
***
Una terbangun saat dia merasa sudah cukup puas tidur. Gadis ini menatap sekeliling disusul dengan alis yang bertaut, merasa aneh karena dia bangun di tempat berbeda dari tempat awalnya berbaring.
Mata bulat gadis itu menyisir sekeliling, mendapati kalau sekarang dia ada di kamar Jeka. Una langsung mengubah posisi menjadi duduk, bertanya-tanya kenapa dia bisa ada di sini? Apa saat tidur tadi dia melindur dan akhirnya berjalan sendiri?
Una melihat ke arah pintu kamar mandi yang terbuka, menangkap penglihatan berupa sosok laki-laki yang baru selesai mandi dan hanya mengenakan handuk dari bawah perut sampai lutut. Lelaki itu tampak kaget melihat Una yang tidak lagi terpejam, tetapi satu detik kemudian dia berdeham dan berusaha bersikap biasa saja.
"Sudah bangun?" tanya Jeka yang sekarang membelakanginya karena tengah membuka lemari pakaian.
"Ya," jawab Una yang masih menatap punggung tegap Jeka.
Fisik laki-laki itu memang tampak berubah dari tujuh tahun lalu. Namun saat pertama kali bertemu lagi, Una langsung mengetahui kalau itu Jeka melalui suara dan raut wajahnya.
Una yang terciduk memandangi punggung Jeka, berusaha menahan rasa kagetnya ketika tiba-tiba lelaki itu berbalik arah sembari memakai kaos hitamnya.
"Kamu mau makan apa? Saya baru akan mengantarmu pulang setelah makan," ucap Jeka, Una sendiri memilih membuang muka ke arah lain. "Saya tidak mau dianggap sebagai bos kejam yang suka memeras tenaga manusia."
"Terserah kamu," jawab Una.
"Sebut saja makanan yang kamu mau, biar nanti saya pesan lewat aplikasi.”
“Samakan saja dengan bapak.”
“Saya mau makan masakan kamu, bagaimana? Saya ingin dimasakkan sayur … hm, dengan ayam fillet juga sepertinya oke. Nanti saya juga akan bantu buat salad buah untuk penutup. Tadi saya sudah beli banyak buah.”
Huh, tahu begitu Una pilih pesan makan di aplikasi saja tanpa harus bilang terserah dan samakan saja dengan bapak, merepotkan!
***