Bab 9 - Modus Baru Minta Nomor

2040 Words
Selain menyebalkan, Jeka juga tukang bohong. Gimana tidak? Tadi dia bilang makanannya gratis, tapi ternyata dia bayar semua makanan yang mereka santap. Mau ditaruh mana muka Una yang nambah dua porsi? Saat perempuan itu berbasa-basi bertanya berapa total bill, Jeka dengan santainya menjawab kalau dia lupa. "Besok datang tepat waktu seperti kemarin. Jangan telat," ucap Jeka yang kembali memasukkan dompet ke dalam saku celana bahannya. "Baik, Pak." "Masih ingin nambah lagi?" tanya Jeka yang dibalas gelengan Una dengan cepat. "Makasih banyak, saya sudah sangat kenyang." Jeka mengangguk dan kembali bersuara, "Rumahmu masih di tempat yang dulu, kan?" "Iya. Kenapa?" "Tidak, biar nanti sekalian saya antar kamu pulang,” ucap lelaki yang duduk di samping Una. "Saya bisa pulang sendiri, Pak. Turunkan saja di halte dekat sini." "Terus kamu naik apa? Bus?" "Iya, busway." "Berapa jam?" "Mm, kurang lebih satu jam, sih." "Kamu pulang dengan saya saja, biar lebih cepat sampai rumah." Perjalanan mereka diisi dengan keheningan di tengah ramainya kendaraan ibu kota. Una yang awalnya menaruh kedua tangan di atas paha, kini langsung memegang masing-masing pinggang Jeka saat lelaki itu menyalip kendaraan lain beberapa kali. Benar-benar tidak ada obrolan apa-apa yang keluar dari mulut mereka. Motor hitam besar ini berhenti di depan pagar rumah Una. Una langsung turun dari motor Jeka sementara lelaki itu membuka kaca helm yang dia pakai. Lelaki yang melihat Una sedikit kesusahan membuka helm, refleks menarik tangan Una agar lebih mendekat kearahnya yang masih duduk di atas motor kemudian dia membantu membukakan kaitan helm yang dipakai perempuan berambut sebahu itu. Una menelan ludah saat Jeka juga merapikan poni miliknya yang agak berantakan. "Tidak banyak yang berubah dari tempatmu, ya?" ucap Jeka sembari memperhatikan sekeliling rumah Una dan jalanan daerah sana. Tidak mau cepat-cepat pergi. "Ya, memang. Mau diubah gimana lagi?" tanya Una yang ikut menatap sekeliling. Kini, Jeka fokus melihat perempuan yang masih berdiri di sampingnya. "Rasanya sama seperti tujuh tahun yang lalu." "Saya kira kamu sudah lupa." "Saya tidak mungkin lupa, Aruna," kata Jeka dengan suara lebih pelan. "Mana mungkin saya bisa melupakannya?" "Ya, kalau lo lupa ... udah pasti lo gak akan bales dendam ke gue," batin Una. Una tersenyum tipis dan kembali mengeluarkan suara, "Sudah malam, Pak. Bukannya besok jam enam kita sudah harus ada di kantor?" Jeka kini melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiri yang menunjukkan pukul setengah sepuluh, kemudian kembali menatap Una. "Ya kamu benar, Na. Kalau begitu saya pergi." "Hati-hati. Terima kasih juga atas traktiran dan tumpangannya, Pak." Una menunggu Jeka menyalakan mesin motor sebelum akhirnya bos kampret itu mengendarai kendaraan roda dua menjauh darinya. *** Pagi ini, Una tiba di sana bersamaan dengan Jeka. Mereka berpapasan saat ingin masuk ke dalam gedung. Jam menunjukkan pukul lima lebih lima puluh tujuh menit pagi ini. Seperti biasa, Una memilih untuk naik ojol karena tidak memungkinkan naik kendaraan umum. "Pagi, Mister," sapa Una langsung dengan formal saat melihat laki-laki itu berjalan di sampingnya. "Ya," sahut Jeka singkat. Berada di dekat Jeka seperti ada di pabrik parfum, wangi sekali. Seperti biasa, karena para resepsionis belum datang ... salah satu satpam senior yang jaga malam memberikan kartu akses masuk gedung setelah Una memberikan kartu identitas beserta memasukkan kartu absen ke dalam mesin. Jeka sendiri langsung men-tap kartu yang dia punya dan masuk lift lebih dulu karena tidak harus memberikan kartu identitas dan mengisi kartu absen seperti karyawan. Tiba di lantai sepuluh, Una menaruh tasnya ke atas meja dan merapikan penampilan sebelum mengetuk pintu dan masuk ke ruangan Jeka. "Pagi, Mister. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Una tanpa diperintah oleh Jeka. Laki-laki yang dia tanya masih berdiri di dekat kursi kebesaran kini kembali menurunkan kemeja panjang yang bagian tangannya sudah dia lipat sampai siku. "Lipat bagian lengannya," perintah Jeka sembari mendekat ke arah Una. “Kurang kerjaan banget sih, dia,” batin Una berbisik. "Baik, Mister," ucap Una yang mau tidak mau mematuhi perintah Jeka. Dia membantu melipat bagian lengan kemeja laki-laki itu hingga ke siku tanpa menatapnya. Jeka membuka laci meja, mengambil salah satu dasi secara acak yang ada di sana dan menyerahkannya pada sekretaris baru. "Pakaikan saya dasi, Na.” "Maaf, Mister. Kalau menurut saya warna ini kurang cocok dipakai karena warnanya terlalu mencolok." Dia memberi komentar menurut apa yang dia lihat. "Lalu saya harus pakai yang mana?" tanya Jeka sembari melihat kumpulan dasinya yang lain. Beberapa detik kemudian, dia menyuruh Una untuk memilihkan dasi yang sekiranya lebih pantas dia pakai. Una membantu Jeka memakai dasi, sambil mendengarkan perintah lanjutan dari laki-laki itu. "Buatkan saya teh, pagi ini saya mau teh hijau. Buka saja lemari kecil di atas pantry, saya meletakkannya di sana." "Baik, Mister." "Kamu bisa masak?" "Bisa, Mister." "Bisa buat roti bakar untuk saya?" "Bisa, Mister." Jeka mengangguk. "Roti tawarnya juga ada di lemari. Bagian pinggirnya tolong dipotong, ambil yang warna putihnya saja." "Baik." Saat mendengar tidak ada lagi suara Jeka, gadis berusia 25 tahun ini kembali menatap pak bos. "Ada lagi, Mister?" "Cukup itu saja." "Baik, tunggu sebentar." Una pergi menuju pantry yang ada dalam kamar Jeka. Namun belum sampai dirinya membuka kenop pintu, suara Jeka kembali terdengar, "Jangan coba-coba acungkan jari tengahmu di belakang saya lagi, Una. Sekali lagi kamu melakukan itu, saya potong gaji harianmu." SHIT, kok dia bisa tahu, sih? *** Telepon yang ada di sebelah Una berdering, membuat gadis berambut sebahu yang tengah bekerja sendiri—Mba Raisa tidak masuk karena ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan—kini mengangkat panggilan itu. Untung saja tidak ada pekerjaan berat hari ini seperti meeting atau bertemu klien, Una hanya sibuk di mejanya saja dan sesekali disuruh bos. "Halo, dengan Aruna Puteri Pertiwi sekretaris PT Indodrink, ada yang bisa saya bantu?" sapa Una dengan ramah saat berkomunikasi via telepon. "Halo Mba, bosmu ada?" Suara laki-laki terdengar di seberang sana. Kalau yang Una perkirakan sih sepertinya lelaki paruh baya. "Ada, Pak. Boleh tahu ada keperluan apa dengan Bapak Jeremy?" "Saya ingin bertemu dengannya hari ini, sebelum makan siang." "Sudah buat janji dengan beliau?" tanya Una lebih detail sesuai SOP. "Tidak perlu janji-janji, bilang … saya Wardhani dari PT Mutu Pangan Sejahtera. Dia tahu saya, kok," ucapnya. "Dia tidak ada jadwal ke mana-mana kan sampai pukul dua belas siang?" "Tidak, Pak." "Baik, saya ke kantor sekarang. Bilang bosmu jangan ke mana-mana." "Baik, Pak." Setelah sambungan terputus, Una langsung menghubungi Jeka lewat telepon dan memberitahukan mengenai Wardhani dari PT Mutu Pangan Sejahtera yang ingin bertemu dengannya pagi ini. "Oh, ya sudah. Biarkan dia datang, Aruna,” respon dari Jeka membuat Una lega. Dia takut akan terjadi apa-apa. "Baik, Mister." Pukul sepuluh pagi, laki-laki bernama Wardhani datang ke lantai sepuluh. Dia sempat menyapa Una dan bertanya apa Jeka ada di ruangan atau tidak. Una dengan sopan menjawab kalau Jeka ada di ruangannya. Wardhani menolak saat Una hendak mengantar dia masuk. "Gak apa-apa, Mba, saya udah biasa ke sini, kok," ucapnya. "Omong-omong, di mana Raisa?" "Bu Raisa sedang kontrol kandungan, Pak. Jadi tidak masuk hari ini." Wardhani mengangguk, lalu pamit pergi ke dalam ruangan. Saat Una baru saja duduk dan tengah membaca email masuk dari klien, lagi-lagi deringan telpon berbunyi. Una mengangkat panggilan telepon, ternyata dari bos. Dia menyuruh Una untuk masuk ke dalam ruangan dulu dan membuatkan tamunya minum. Una bergegas masuk ke dalam ruangan dan melakukan apa yang disuruh oleh Jeka. *** Setelah makan siang, lagi-lagi ruangan Jeka didatangi oleh beberapa petinggi perusahaan yang sudah janji bertemu dengan pak bos sejak beberapa hari lalu. Mereka bertemu untuk membahas lanjutan soal acara amal yang diadakan bulan depan. Sebelum mereka datang, Jeka menyuruh Una untuk membersihkan sofa dan karpet bulu dengan alat penyedot debu juga merapikan ruangan. Una pun ditugaskan untuk memesan beberapa box makanan katering di tempat langganan untuk para tamu lewat telepon. Jeka tidak terlihat jahil dan ingin menjahili, dia sangat serius siang ini. Bicara dengan Una pun hanya seperlunya saja. Saat Una meletakkan dua kantung plastik merah berisi beberapa box makanan yang diantar ke sini, Jeka menyuruh Una untuk mengambil satu dan dibawa untuk makan di meja perempuan itu. Pukul lima sore, mereka baru keluar dari ruangan Jeka. Lelaki itu ikut mengantar para tamu keluar dan setelahnya memanggil Una untuk masuk ke dalam. "Ada yang bisa saya bantu, Mister?" tanya Una. Tadi dia sempat berdandan lagi di toilet karena pekerjaannya sudah selesai. Dia punya waktu luang setengah jam. "Saya lelah, Na. Bisa tolong pijat bahu saya?" ucap Jeka to the point sembari menepuk bahu beberapa kali. Meyakinkan Una kalau dia memang benar-benar pegal dan butuh pertolongan. Wajah memelasnya buat Aruna jadi tidak tega. "Bisa, Mister," sahut Una. Dia sekarang berjalan masuk ruangan dan berdiri di belakang Jeka yang terduduk di kursi. Una mulai menaruh tangan di bahu lelaki yang tampak lebih lebar dan tegap dari tujuh tahun lalu. Kadang Una berpikir kalau dia bukan Jeka, tetapi kenyataannya dia memang lelaki yang sama yang Una temui dulu. Jeka menghela napas sembari memejamkan mata saat Una mulai memijat bahunya. "Ya terus, Na. Ini di bagian sini sangat pegal," ucap Jeka sembari menepuk bahu yang dimaksud. "Agak kencang sedikit." Sekitar lima menit Una memijat bahu Jeka, lelaki itu menyuruh Una berhenti melakukannya. "Terima kasih," kata Jeka yang memutar kedua bahunya secara bersamaan beberapa kali. "Itu tolong kamu bereskan meja tamu dari sampah-sampah yang berserakan. Cuci gelas-gelas yang terpakai dan taruh lagi di pantry." "Baik, Mister." Beberapa kali, Jeka melirik ke arah Una yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Una kelihatan serius, wajahnya tampak cantik sekaligus galak secara bersamaan. Di mata Jeka, Aruna masih sama seperti tujuh tahun lalu. "Aruna, minggu ini kamu ada acara di luar, tidak?" "Tidak, Mister," tanya Una yang sudah keluar dari dalam ruangan Jeka. Dia sudah menyelesaikan semua pekerjaan yang diperintah oleh pak bos. "Bagus," kata Jeka yang sekarang menatap sekretaris barunya itu. "Saya mendapat undangan pernikahan dari rekan saya yang tadi pagi datang." "Pak Wardhani?" "Ya." Jeka mengangguk. "Temani saya untuk menghadiri acara pernikahan dia, ya?" Lho … sejak kapan seorang sekretaris bisa merangkap menjadi teman kondangan juga? "Kenapa harus sama saya, Mister? Memangnya Mister tidak punya pacar?" "Kamu lupa dengan peraturan yang sudah saya katakan di awal kerja?" ucap Jeka sambil menempelkan punggung di badan kursi kebesarannya. Satu kaki dinaikkan ke kaki yang lain. "Kamu tidak berhak mencampuri urusan pribadi saya." "Maaf, Mister." "Saya maafkan, lain kali jangan diulangi.” Lelaki itu kembali melirik ke arah Una yang masih berdiri di dekatnya, lalu bersuara, "Tadi saat membersihkan sofa, kamu lihat ponsel saya, tidak, Na?" "Tidak, Mister," sahut Una, raut wajahnya berubah agak cemas. Apa ponsel Jeka hilang? Ke mana? "Memangnya terakhir kali Mister taruh mana?" "Saya lupa," kata Jeka. "Bisa tolong coba miscall?" "Oh, iya, Mister. Sebentar." Una mengeluarkan ponsel dari dalam saku rok bahan selututnya, kemudian menggeser layar kunci. "Nomor teleponnya berapa?" Jeka menyebutkan nomornya, dan Una mengulang sekali lagi sebelum akhirnya memanggil nomor milik lelaki itu. Seingat dia, Una tidak melihat atau memegang ponsel milik Jeka sama sekali. Suara ponsel Jeka yang berdering membuat Una menyisir sekeliling. Jeka sempat berpura-pura mencari ponsel di atas meja, kemudian dia menarik laci di mana ponsel itu memang dia letakkan di sana sejak tadi. "Sudah ketemu, terima kasih," ucap Jeka sembari mengangkat ponsel sampai Una bisa melihatnya. Una langsung mematikan panggilan itu, dan mengucapkan sama-sama. "Kamu masih ada pekerjaan lagi setelah ini?" tanya Jeka. "Semua sudah selesai, Mister." "Kalau begitu kamu boleh pulang." Tanpa sadar, Una berkata yes dalam hati. Ini masih pukul setengah lima, dan tumben sekali Jeka tidak menjadikannya badut. Baru dua hari pulang malam, rasanya sudah seperti berabad-abad Una tidak lagi merasakan senja Jakarta. "Terima kasih, saya pamit, Mister." “Mm, oh iya … tunggu sebentar, Aruna.” Langkah perempuan berambut sebahu itu berhenti. “Boleh saya save nomor ponsel kamu?” Una menatap bosnya kemudian mengangguk tanpa pikir panjang. “Ya, silakan.” Sepeninggal Una, Jeka kembali menatap angka berjumlah dua belas yang ada dalam notifikasi panggilan tidak terjawab. Lelaki itu menarik kedua sudut bibir ke atas dan dengan cepat menyimpan nomor Una. Sebenarnya saat melihat CV Aruna waktu itu dia juga sudah melihat nomor teleponnya, tetapi tidak mungkin Jeka langsung menyimpan nomor sang mantan dan menulis chat tiba-tiba seperti seorang stalker. Kalau seperti ini kan Jeka jadi punya alasan untuk menyimpan nomor Una. Akhirnya ... dia bisa mendapatkan lagi nomor telepon baru milik gadis itu tanpa perlu repot-repot atau merendahkan harga dirinya dengan cara meminta atau menyimpan diam-diam. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD