"Maksud i..bu?" Aku menelan ludah. Melihat ibuku yang tersenyum penuh arti membuatku semakin kebingungan jika aku melakukan sesuatu yang aneh saat aku tidur.
"Itu rahasia," Aku mengerutkan bibirku kesal. "Kau akan pergi ke kantor kan? Tolong kau berikan ini pada Reno. Bilang padanya, ibu sangat berterima kasih. Oke?"
"Oke," aku hanya berguman pelan. Mengambil kantung yang berisi kue yang sudah disediakan ibuku.
"Aku pergi dulu bu," aku mencium pipi Ibuku sebelum aku melenggang pergi meninggalkan rumah. Menunggu jemputan intan yang akhirnya sudah datang. Membawaku pergi ke kantor Reno.
***
"Kue untuk siapa?" Intan melirik kue yang aku bawa sesampainya aku dikantor Reno. "Untuk Reno." Jawabku singkat. Aku hanya menatap intan yang kebingungan karna aku membawakan Reno kue kesukaannya.
"Kau tunggu disini saja ya? Aku hanya sebentar." Ucapku kemudian, sebelum aku masuk kedalam kantor dan meninggalkan intan di loby tunggu.
"pelan-pelan saja hana tidak perlu buru-buru"
Ah, aku tak menyangka jika aku akan keluar dari perusahaan yang sudah aku tekuni selama 2 tahun terakhir ini. Mungkin akan sedikit berat karna harus meningalkan teman-teman yang sudah aku anggap sebagai saudara sendiri.
"Hana?"
"Bimo," Aku menghampiri bimo yang hendak masuk kedalam lift yang sama denganku. Aku juga akan jarang bertemu dengan bimo lagi. Satu- satunya orang yang akan membelaku setiap kali aku disudutkan oleh Reno.
"Kau masuk kantor dengan pakaian seperti itu?" Aku hanya nyengir menanggapi pertanyaan bimo. Matanya terus menelusuri penampilanku yang tidak biasanya. Jelas saja, aku selalu memakai baju yang rapi dan terkesan membosankan setiap kali berada di kantor. Itu karna Ibu dan ayah selalu mengatakan jika aku harus berpenampilan biasa.
"Aku tidak sedang ingin masuk kerja. Aku, mengundurkan diri." Ucapku pelan, bisa ku lihat wajah bimo berubah syok. "Jadi kau sungguh- sungguh akan mengundurkan diri?!" Bimo memekik.
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Bersandar pada dinding Lift sambil menunggu angka lift menunjukkan lantai 27..
"Kau sudah memikirkannya dengan matang?" Aku kembali mengangguk. "Apa Presdire tidak mengatakan apapun?" Tanyaku pada
Bimo. Memanggil Reno dengan panggilan Presdire.
"Tidak. Aku bahkan, tau kau mengundurkan diri baru sekarang ini. Yang ku lihat, Presdire nampak seperti biasa. Seperti tak terjadi apapun."
Aku menundukkan kepalaku kecewa, "Oh,"
Entah kenapa aku merasa seperti ada yang hilang. Seperti tak dianggap dan dilihat oleh Reno. Aku seperti karyawan biasa yang sama sekali tak dianggap spesial oleh Reno. Bahkan, saat aku mengundurkan diri, Reno baik-baik saja.
"Kau sedih?" Aku mendengar suara bimo melembut. Begitu hangat dan sangat menenangkan. Sepertinya dia menyadari perubahan raut wajahku.
Aku hanya tersenyum kecut, menatap bimo. Berusaha menyembunyikan perasaan kacauku. "Tidak, aku baik-baik saja. Lagipula, masih banyak orang disana yang mampu melakukan lebih dari diriku."
"Jangan begitu. . ." Aku tertegun. Merasakan tangan kekar bimo meraih tubuhku. Membenamkanku dalam pelukannya yang hangat. Aku terdiam. Merasakan rasa nyaman yang menyelubungi hatiku.
Aku mulai menangis. Entah kenapa, aku sama sekali tidak mengerti dengan diriku yang saat ini.
Tanganku yang bebas seakan menerima perlakukan hangat yang diberikan bimo. Membalas pelukan lelaki itu dengan sangat lembut.
"Meskipun kita tidak satu kantor lagi. Pastikan kau menghubungiku setiap saat. Kalau ada apa-apa, kau bisa menghubungiku untuk bercerita."
Ucapnya lembut.
Tangannya beralih pada rambutku. Mengelusnya lembut dengan perasaan hangat yang mulai menjalari tubuhku. Hingga bunyi Lift terbuka tak membuat kami sadar. Jika seseorang tengah memandangi kami dengan tatapan tidak suka.
"Beginikah tingkah kalian saat bekerja didalam kantor?" Aku mendelik. Tersadar dan melepas pelukan bimo secepat yang aku bisa. Reno ada disana! Menatap kami dengan pandangan marah yang begitu jelas.
Bimo yang merasa bersalah meminta maaf pada Reno. Tak mampu melihat mata tajam Reno yang begitu mengerikan. Aku malah menarik tangan bimo dan menggenggamnya.
"Memangnya kenapa? Kau sendiri juga pernah melakukannya." Aku mencibir.
Jelas sekali beberapa bulan lalu, Reno sempat tertangkap kedua mataku sedang berciuman dengan seorang gadis yang sangat seksi dilift. Aku sampai menangis berhari-hari hanya karna melihat itu.
Itu menyakitkan. Melihat lelaki yang sangat kau cintai bermesraan dengan gadis lain. Hatiku saat itu terasa terbakar.
Marah, benci dan juga kekesalan yang tiada habisnya. Aku terus membayangkannya dan berfikiran yang aneh-aneh sampai aku tidak masuk beberapa hari. Tidak! Aku tidak mau melihatnya lagi, apalagi mengingatnya. Sudah cukup bagiku untuk merasakan rasa sakit yang tidak ada habisnya.
Mulai sekarang aku harus maju. Mencari lelaki yang bisa membalas cintaku.
Reno tersenyum kecut melihat reaksiku yang diluar dugaannya.
"Terserah kau saja!" Dengan langkah cepat, Reno masuk kedalam lift. Berdiri membelakangiku dan bimo.
Aku hanya berdecak kesal. Argh! Rasanya aku ingin sekali menjambak rambutnya itu. "Sudahlah. . ." Bimo mencoba menenangkanku.
Tapi aku tetap tidak bisa mengendalikannya.
Tak lama kemudian, bimo keluar dilantai 12. Meninggalkan aku dan Reno berdua didalam Lift. Tak ada yang bicara. Sama seperti hari-hari biasanya. Sepi dan juga tenang.