Part 4 Ketemu

1707 Words
“Pak, hari ini kita ada pertemuan dengan double B corporation membahas pembangunan gedung baru rumah sakit di jalan Sudirman!” jelas Reno sambil membacakan jadwal yang akan dijalani Langit hari ini. “Jam berapa?” tanya Langit yang masih berkutat dengan laptop berada di pangkuannya. “Setelah jam makan siang, Pak!” jawab Reno. “Sepertinya saya pernah mendengar tentang perusahaan mereka! Coba jelaskan bagaimana perusahaan mereka padaku!” perintah Langit, kali ini ia memilih mengangkat kedua kakinya dan meletakkannya di atas meja untuk mencari posisi yang nyaman ketika berkerja. “Selama ini, perusahaan mereka termasuk perusahaan yang selalu di incar oleh investor dan pemegang saham lainnya. Tapi, perusahaan mereka tidak begitu cocok untuk kita karena memreka lebih memilih untuk pembangunan untuk masyarakat menengah ke bawah sedangkan kita selalu dalam skala golongan masyarakat ke atas!” jelas Reno. “Lalu, kenapa mereka ingin bergabung dengan kita?” tanya Langit dengan menatap Reno. “Sekarang perusahaan mereka dipegang oleh anak lelakinya yang bernama Bani, Pak Bani ingin mencoba sesuatu yang baru. Oleh sebab itu mereka menghubungi kita!” jelas Reno dengan suara lugasnya. Ucapan Reno berhasil mengalihkan aktivitas Langit yang sedang berkerja, “baiklah! Tapi, saya ingin pertemuan mereka dipercepat pagi ini saja, karena nanti siang mau makan siang sama nyonya besar sebagai permintaan maaf kemaren.” “Baik Pak! Saya akan menghubungi perusahaan mereka!” *** Pagi ini, Biru mencoba mencari ketenangan dengan memejamkan matanya sembari mendendangkan lagu kesukaannya. Sebenarnya dia bertugas siang hari, tapi malas di rumah karena bunda Alya yang selalu memaksanya untuk menikah. Rumah sakit, tempat menenangkan diri ternyata bukan pilihan yang tepat. Sosok yang ingin dihindari Biru, tampak gagah dalam balutan jas putihnya. “Lagi senang banget sepertinya?” sapa Cio yang melihat Biru sedang ikut melantunkan lagu yang didengarnya. Bukan tak mendengar sapaan Cio, Biru hanya pura-pura tak mendengar karena tak ingin kesenangannya terganggu. Dalam hati ia merutukki dirinya sendiri, kenapa memilih rumah sakit untuk beristirahat. Biasanya atap gedung rumah sakit adalah tempat idolanya untuk ‘bersemedi’, entah bagaimana Cio tau akan tempat ini. Tarikan nafas panjang Biru seolah menjadi penjawab pertanyaan Cio. “Ok! Baiklah, jika tak ingin diganggu maka aku gak kan ganggu kamu. Tapi, biarkan aku tetap di sini!” sambung Cio. Biru hanya mengacuhkan tanpa menjawab, ingin beranjak tak tau akan kemana. Ingin bertahan, malah bikin sakit hati. Kali ini terdengar suara petik gitar yang berbunyi, suara merdu Cio mendendangkan lagu batak dari Omega Trio yang berjudul mardua holong dan sering mereka dendangkan ketika di kampus dulu. Denggan do nia ito, hita na mamukka padan Denggan ma nian molo tung ikkon sirang Unang pola be hita mardongan-dongan hasian Holan na mambahen haccitni roha i (Kita mengawali kisah dengan baik, sebaiknya bai-baik juga kalau harus pisah. Tak usah lagi kita bersama, kekasih. Kalau hanya membuat sakit hati) Arian nang borngin i, sai busisaon rohakhi Bohado ujungni pargaulanta hasian Sai hurippo do ito setia ho salelengon Hape mardua holong dipudikhi. (Siang dan malam hatiku selalu gelisah. Bagaimanakah akhirnya hubungan ini? Kupikir selama ini kau bersetia. Ternyata mendua cinta di belakangku.) Reff Tarsongon bunga naung malos di ladang i Songonima rohakki nungnga Malala Dang hurippo songoni Di bahen ho holonghi gabe meam-meammu. (Seperti bunga-bunga yang layu di ladang. Begitulah hatiku hancur lebur. Aku tidak menyangka seperti itu. Kau buat cintaku jadi permainanmu) Sae ma ito, sae ma sude Sae ma holan ahu gabe korbanmu Marisuang ari dohot tikki i Holan Alani cinta palsu mu (Sudahlah, sudah usai semua. Cukup hanya aku yang jadi korbanmu. Sis-sia semua waktu dan hari-hari karena cinta palsumu. Biru jelas menikmati lagu itu, terlihat jelas ia mulai mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya mengikuti irama lagu yang dimainkan Cio. Entah terbawa perasaan karena lagu ini cocok untuknya atau malah terbuai dengan suara merdu Cio. “Kamu masih mengingat lagu ini?” tanya Cio ketika meletakkan gitar di samping tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin menggenggam tangan Biru seperti yang ia lakukan dulu. Tapi, tentu saja Biru akan menampiknya. Tak mendapati respon Biru, Cio hanya bisa membuang nafas kasar. “Bru, setidaknya jawablah aku!” ada nada kecewa yang Cio lontarkan. Hati Biru beku, tak ingin bergeming dang lebih memilih untuk mendiamkan Cio. Biru yang mulai lelah mendapati pertanyaan Cio, segera mengambil ancang untuk pergi meninggalkan Cio. Ia yang selalu terlena ketika mendengar Cio bernyanyi segera menyadarkan diri jika yang saat ini dia lakukan sama saja memberi kesempatan untuk Cio. “Kamu takkan pernah tau, berharganya seseorang yang selalu ada di samping kamu, sampai suatu saat seseorang itu pergi meninggalkanmu karena penghiatanmu,” ucap Biru dengan nada tegas tanpa memandang ke arah Cio. Hatinya selalu sakit jika mengenang penghianatan Cio. “Kamu paham akan hal itu, tapi kamu gak ngasih aku kesempatan untuk menjelaskan,” sanggah Cio ketika berusaha menahan Biru yang hendak meninggalkannya. Ia kecewa dengan sikap Biru yang memandang dari satu arah saja. Andaikan ia bisa meyakinkan Biru. “Lepas! Kita sudah usai, terlihat sekali jika kamu sampai sekarang masih mencintai aku! Bodoh!” sindir Biru, sembari menepis kasar tangan Cio dan melemparkan senyum sinis pada mantan kekasihnya itu. Kemudian Biru melangkah pergi meninggalkan Cio, yang dia sendiri tak ingin berdebat dengan cinta pertamanya itu. “Jika aku Bodoh! Maka kamu egois Bru!” teriak Cio, berusaha menghentikan langkah Biru, akan tetapi bagai palu godam sedang menghantam kepalanya sehingga memilih untuk berhenti mengejar Biru yang pergi dengan amarah. “Dasar pria sialan yang pernah peka. Nyesel aku pernah ketemu kamu!” umpat Biru ketika menekan lift untuk turun ke lantai dasar. *** Di lantai satu. “Maaf jika saya mendadak mengajak pertemuan pagi ini dipercepat!” ucap Langit ketika bersalaman dengan Bani. “It’s okay! Kebetulan saya juga baru datang dan pagi ini lagi ada keperluan di sini!” sambut Bani ramah. “Kita langsung ke ruangan Direktur atau mau berkeliling dulu?” tanya Bani. “Bagaimana jika langsung ke atas, setelah itu baru meninjau tempat yang akan di bangun,” balas Langit. “O, ok! Baiklah!” Dua pria parlente yang bertemu di lobi rumah sakit sukses membuat mata kaum hawa memandang dengan mereguk salivanya masing-masing. Terpesona adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan para wanita. Berjalan dengan gagah menuju lift yang sedang berjalan ke arah bawah tepat di depan mereka. Ting! Pintu lift yang berbunyi, terbuka dan menampilkan seorang wanita yang sedang terlihat kacau. Rambut panjang terurai yang acak-acakan, kaca mata yang terlihat miring dan mata yang sembab dan hidung yang merah seperti baru menangis. Bani membesarkan kedua bola matanya, seolah ingin bertanya,” ada apa denganmu wahai kakakku?” tapi ia tahan, dan hanya menggoyangkan kepalanya sekali seperti menyuruh Biru untuk segera keluar dan segera pergi dari hadapan mereka. Walau Bani menderita prosopagsonia,tapi ia mengetahui itu kakaknya dari baju yang ia pakai tadi pagi. Tak mungkin Bani memperkenalkan kakaknya di hadapan tamu penting yang sedang ia gaet untuk berinvestasi di perusahaannya. Biru yang salah tingkah, hanya bisa menunduk dan memberi hormat pada dua tamu penting tersebut. Entah, apa yang ia fikirkan? Biru yang terkenal tegas, menangisi kehidupannya di dalam lift gara-gara lagu yang di dendangkan Cio. Untung tak ada yang masuk lift ketika ia sedang turun tadi, sehingga bebas membuat dirinya berteriak, meloncat dan menangis seorang diri. Itu lah sisi lain seorang Biru Firzana Arfan, mencoba kuat tapi rapuh. Langit yang melihat hanya bisa menyipitkan kedua kelopak matanya, seolah ia mengenal wanita gila yang sedang berada di depannya. Ia sangsi jika pernah bertemu dengannya. Entah di mana? Rasa penasaran itu terlalu dalam. Tapi, ia tak mungkin menuntaskan rasa penasarannya sekarang, ia tak ingin wibawanya hilang dan menahan egonya untuk mencari tau. Ia memutuskan untuk pergi melangkah memasuki lift. “Omg! Kok gue jadi acak-acakan ya?” ucap Biru memperhatikan wajahnya yang terlihat sangat berbeda dengan pribadinya. Untung lift yang ia gunakan adalah lift untuk para petinggi, jadi terpisah jarak yang sangat jauh dengan lift yang di pakai untuk umum. Hanya pak satpam yang terlihat cengengesan melihat tingkah konyolnya. Biru menempelkan jari telunjuk ke bibirnya untuk memberi isyarat pada satpam agar tak membocorkan perilakunya yang aneh. “Kok rasa pernah ketemu ya? Tapi di mana?” tanya Biru pada dirinya sendiri, mencoba mengingat siapa pria maskulin di samping adiknya tadi. *** “Mama gak tau, besok malam, kamu harus temenin Mama ke arisan Tante Resi. Gak ada istilah penolakan!” ancam mama Dinar pada Langit. “ Kamu juga Bintang!” lanjut mama Dinar dengan tatapan tajamnya. “Perjodohan lagi Ma?” tanya Langit sambil menggelengkan kepala tak percaya. Umur yang hampir tiga puluh lima dan masih dijodohkan, membuatnya merasa gagal menjadi seorang pria. “Gak! Tapi kan juga gak tau!” jawab mama Dinar. “Sssst! Udah iyain aja Bang! Mama lagi sensi! Maklum, kan udah menopause,” bisik Bintang. Langit hanya berusaha menahan tawa ketika mendengar penuturan adik kesayangannya. Hampir saja minuman sedang  ia minum berlomba untuk dikeluarkan jika tak melihat mata mama Dinar menatap tajam kedua anaknya seolah ingin memakan mereka hidup-hidup. “Ok ma! Besok aku ikut. Kebetulan besok weekend, jadi ok lah!” jawab Biru. *** “Aduh, udah lama banget kita gak ketemu ya?” sapa mama Dinar ketika bertemu dengan teman-temannya. “Bener pake banget Dinar! Aih, ini Langitkan?” tanya bunda Alya. “Wah, udah gede ya? Ini yang ketiga kalinya kita bertemu lho! Sayang banget, kemaren gagal ketemu sama anak Bunda, anak Bunda cantik lho, seperti bundanya!” celoteh bunda Alya. Selama ini Langit memang tinggal di Jepang, mengurus perusahaannya ayahnya yang sekaligus dokter psikiatri. Akan tetapi, setelah ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan, ia memilih untuk pulang ke Indonesia untuk menjaga mama Dinar dan Bintang. “Ia, Tante! Maaf, karena kemaren ada pekerjaan yang penting  dan gak bisa ditinggalin,” jawab Langit berbohong. “Jangan Tante, tapi Bunda! Bentar lagi anak tante datang lho!” Dert! Dert! “Maaf Ma, Tan, eh …Bunda. Ada telfon penting dan harus diangkat!” sekali lagi Langit berbohong. Sebenarnya hanya Reno yang menelfonnya. Bintang tak ikut hadir diacara ini dengan beralasan mau launching produk baru, sungguh klise alasannya. Jadi, walau tak penting, akan tetapi panggilan ini sebagai penyelamat dirinya. “Halo Pak!” sapa Reno. “Ya, ada apa?” balas Langit sekenanya. “Saya, sudah berhasil menemukan wanita yang Bapak cari,” terdengar suara Reno yang sangat bersemangat. “Oh ya!” “Ya, Pak! Ternyata dia dekat dengan kita!” “Cepat ceritakan padaku!” perintah Langit. “Namanya Biruni Firzana Arfan. Dia seorang janda yang dikhianati suaminya. Pekerjaannya Dokter di rumah sakit tempat kita berkerja sama dengan perusahaan Double B. Dan, yang paling penting, dia Kakaknya Pak Bani. Satu lagi Pak, dia adalah anak dari Pak Abbasya Arfan dan Ibu Denai Alya yang tak lain adalah sahabat karib Mama Dinar, ibu Anda. Informasi ini valid karena saya berhasil menghubungi Arya yang sedang operasi kelamin di Thailand, Pak!” jelas Reno. Langit yang mendengar penuturan Reno hanya bisa tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang mendapatkan hadiah besar. “Binggo!” Tut! Tut! Ia mematikan panggilannya tanpa mengucapkan terimakasih pada Reno. Tepat ia berbalik menghadap dua ibu-ibu yang ia kenal sedang berbicara, pada saat itu tampak seorang wanita dengan anggunnya sedang berjalan menggunakan gaun selutut berwarna peach dan rambut hitam mengkilaunya yang terurai. Tampak senyum smirk dari wajah Langit. Pembalasan akan dimulai, wanita pencuri hodie.   *Prosopagnosia adalah kelainan dalam memepersepsi wajah yang membuat orang yang mengalaminya sulit mengenali wajah termasuk wajahnya sendiri.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD