“Langit!” gerakan bibir mama Dinar dan lambaian tangannya memanggil Langit untuk mendekat ke arahnya.
Langit berjalan pelan tapi tapi pasti dengan wibawa yang tak pernah luntur dari kharimanya. Biru menatap penuh dengan keraguan, ia seperti mengenal pria tersebut tapi tak mengetahui di mana pernah bertemu dengan pria itu.
Langkah kaki Langit semakin mendekat, hingga tepat berada di depan Biru. Biru yang akhirnya menyadari jika ia pernah bertemu pria tersebut di Singapura, tak mampu menutupi keterkejutannya. Tubuh Biru membeku layaknya batu es, melutnya menganga dan matanya membulat seperti ikan asin yang sedang dijemur.
“Hai, wanita hodie!” sapa Langit dengan senyumnya yang menawan.
“Lho, siapa wanita hodie? Kamu kenal Biru, Lang?” tanya mama Dinar yang saling berpandangan dengan bunda Alya.
Tak menjawab, Langit malah menjentikkan untuk menyadarkan Biru yang masih tak bergeming. “Hei, apa saya terlalu ganteng, makanya anda begitu terpana?”
Plak! Tepukan keras mendarat di pundak Langit.
“Sopan sedikit Lang! Kebiasaan!” hardik mama Dinar.
Biru yang menyadari tingkahnya segera menutup mulutnya dan memberi kode kepada Langit agar menjauh, agar mereka berdua bisa berbicara tanpa didengar oleh mama Dinar dan Bunda Alya. Langit hanya tersenyum pias menyidir tingkah Biru yang menurutnya sangat absurd.
“Bun, Ma, Biru sama anak mama Dinar izin ke sana dulu ya!” tunjuk Biru ke sudut ruangan.
“Lho, Biru mau kemana? Udah kenal Langit?” tanya bunda Alya, sambil menyentuh lengan anaknya.
“Nanti Biru jelasin ya Bun, Biru lagi ada perlu sama Langit!” ucap Biru sembari melepas lembut pegangan bunda Alya. Kemudian menarik paksa Langit dengan tergesa-gesa.
“Waw, Al! Sepertinya anak kita ada sesuatu nih! Semoga berjodoh ya!” ucap mama Dinar dengan mengerdipkan mata kirinya ke arah bunda Alya.
“Aku harap gitu sih Din, biarin deh mereka berdua. Kita cuss, ngegibah bareng teman-teman arisan dulu!” balas bunda Alya, yang kemudian merangkul sahabatnya ke arah teman-temannya yang lain.
Sementara itu di sudut ruangan, Biru terlihat panik. Jelas sekali, karena tingkahnya yang tak bisa ia ubah sedari dulu. Ia selalu menggigiti kuku jempulnya, terlihat jorok tapi tidak untuk Langit. Ia malah tertawa melihat Biru yang salah tingkah.
“Mau sampai kapan ngempengnya?” ucap Langit membuka percakapan..
“Eh, sory! S … saya mau-!
“Mau apa?” tanya Langit memotong ucapan Biru sembari menyingkirkan tangan Biru yang masih sibuk dengan aktivitas ‘anehnya’.
“Saya harap, anda lupain kejadian di Singapura! Anda bisa rahasiain kan?” celetuk Biru yang terlihat cemas.
Kembali Langit tertawa terbahak-bahak.
“Kalau anda gak bisa rahasiain, saya bakalan bongkar ke mama Dinar kalau kamu itu pria yang punya kerjaan sampingan menjajakan diri alias gigolo. Biar kita berdua sama-sama habis!” ancam Biru.
“Oh, ya!” tantang Langit dengan senyum sinisnya.
“Bener, dan jangan harap saya bakalan ngalah dari anda!” ketus Biru.
“Dipersilahkan! Tapi, bukan saya yang masuk kamar anda, malah anda yang masuk ke kamar saya. Dan, hodie pemberian pacar saya Bintang, anda ambil dan hanya meninggalkan dua ratusan. Apa anda fikir barang yang saya kenakan adalah barang murah! Yang paling penting, kenapa anda berfikir saya menjajakan diri?” berondong Langit yang masih tersenyum sinis.
“Kan, saya yang pesan anda, bego!” sanggah Biru.
“Ok! Udah saya rekam ucapan anda,” balas Langit yang mengeluarkan gawai dari saku celananya.
“What?” geram Biru. Biru berusaha merebut gawai Langit. Tapi percuma, walau tinggi Biru 170 cm. Tinggi Langit malah mencapai 189 cm, sama dengan tinggi Bani, adiknya.
“Katanya mau ngadu, dipersilahkan. Kok malah gak mau?” sindir Langit.
“Ka-kamu! Benar-benar licik! Gak tau sopan-santun! Saya yakin, tidak akan ada perempuan yang ingin bersama anda, sekalipun dia janda! Paham!” berang Biru sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Anda ngapain? Dari tadi tingkah anda terlalu absurd. Bukannya anda dokter dan kalau gak salah janda ya?” balas Langit dengan sengitnya.
“Santai Pak! Memang ada apa dengan janda? Apa mengganggu anda?” tanya Biru dengan mata melotot.
Langit hanya menggelengkan kepalanya lalu meninggalkan Biru yang masih menunggu jawaban Langit.
“Hei, tunggu! Apa anda tidak diajarkan sopan santun?” Biru menarik lengan kemeja Langit.
“Saya tak pernah menyinggung status seseorang, jika orang bodoh itu yang mengucapkan! Sampai disini anda paham!” jawab Langit dengan sengit.
“Maksud anda apa?” balas Biru.
“Awalnya saya fikir anda akan dewasa dan mengucapkan kata maaf. Tapi melihat anada seperti ini, sepertinya saya salah. Saya tak ingin berdebat dengan wanita yang kelihatan dewasa tapi mempunyai otak yang dangkal!”
“An-anda!” tangan kiri Biru hendak mendarat di pipi Langit, tapi segera ditepis kasar oleh Langit.
“Saya tak ingin dikasari tak ingin mengasari orang. Kita hentikan pembicaraan kita disini, dan saya harap semoga kita tidak bertemu lagi! Jikapun berpapasan saya harap kita tak bertegur sapa!” Langit pergi dengan wajah kesalnya.
“Lho, kok dia yang marah?” gumam Biru yang terpaku melihat Langit yang berjalan menjauh darinya. Apa aku salah bicara tadi? Seharusnyakan aku yang marah ya?” kembali Biru berbicara sendiri dengan menggaruk lehhernya yang tidak gatal.
***
Di rumah.
“Gimana sayang, ngobrol apa tadi sama Langit? Sepertinya kalian tadi sudah dekat banget ya?” tanya bunda Alya memulai pembicaraan.
“Bun, plis banget. Jangan tanya hal itu. Biru sama Langit gak ada apa-apa. Kami bertemu secara tidak sengaja dan jangan harap ada apa-apa diantara kami! Kalau Bunda sayang Biru, pliiiiisss banget, biarin Biru yang nyari sendiri ya! Percaya sama Biru, inshaAllah Biru gak kan salah langkah lagi. Ketika Biru sudah punya calon, maka Biru akan segera mempertemukan calon Biru dengan Ayah, Bunda dan Bani. Jika tidak ada yang setuju, maka Biru akan melakukan atau menuruti apa yang diucapkan oleh keluaraga biru,” ucap Biru dengan mata berkaca-kaca.
“Sayang, maafin Bunda ya Nak!” ucap bunda Alya yang merasa bersalah atas pertanyaannya, kemudian memeluk Biru dengan hangat. “Memang benar, tak perlu memaksakan, semua akan mengalir dengan semestinya.”
“Terimakasih Bun! Biru sayang Bunda! Kasih kepercayaan Bunda sekali lagi untuk Biru ya! Biru harap Bunda selalu mendukung Biru, apapun yang akan Biru lakukan, selagi itu masih dalam jalur yang benar!”
“Ya sayang. Bunda akan selalu ngedukung kamu.”
Ada rasa bersalah dilubuk hati yang paling dalam Bunda Alya, ia merasa bahwa ia gagal menjalankan permintaan terakhir kakaknya untuk menjaga Biru. Ia merasa bahwa kegagalan Biru berumah tangga, karena ia sibuk menjaga Bani yang terbaring di rumah sakit pada saat itu. Andai waktu bisa ia ulang kembali, maka Biru tidak akan merasakan pahitnya berumah tangga karena penghiantan mantan menantunya.
***
Bau khas rumah sakit yang dipenuhi oleh orang yang berlalu lang baik itu, dokter, parawat dan pasien. Aktivitas rumah sakit berjalan seperti biasanya disaat jadwal praktek Biru. Disaat ia sedang melakukan pemeriksaan, tertulis nama di dokumen terakhir yang bertuliskan nama Kinanti Revasya teman yang yang selalu ia panggil Karin. Nama yang tak asing, tapi ia masih memikirkan bahwa nama itu bukan dari nama seseorang yang pernah ia kenal.
Ceklek!
Pintu ruangannya terbuka dan perawat mempersilahkan wanita yang terlihat sangat kurus dan pucat. Ia merasa sangat mengenali wajah wanita itu. Benarkah itu Karin? Benarkah itu wanita yang sudah merusak kepercayaanku kepada Cio? Entahlah!
Walaupun tubuh itu terlihat lemah, tapi senyum manisnya tak berkurang sedikitpun. Sahabat karib yang menjadi mantan teman.
Helaan nafas serta raut wajah bersalah tampak jelas di wajahnya ketika ia dipersilahkan duduk oleh perawat.
“A-!
“Hai Biru, saya yakin kamu masih mengingat saya!” Karin memotong ucapan Biru sambil tersenyum.
“Maaf, saya fikir. Kita harus professional, bu-!
“Tapi Cuma begini, saya bisa bertemu denganmu. Lagi pula saya yakin kamu sudah membaca rekam medis saya, saya gak bisa diselamatin lagi!” kembali ia memotong ucapan Biru.
Benar saja, Biru memang telah memabaca rekam medis dari Karin. Kondisi Karin mengidap kangker darah stadium 4. “Jika hanya ingin berbicara masalah pribadi, kita bisa bicara diluar, tunggu jadwal saya selesai!”
“Sudah tak ada pasien lagi! Saya pasien terakhir Ru!” ucapnya
“Tari, bisa dicek lagi, apa benar sudah tak ada pasien lagi?” tanya Biru memastikan.
“Benar buk! Ibu Karin pasien terkahir,” jawab perawat Tari.
“Baiklah, terimakasih untuk hari ini, dan bisakah Tari meninggalkan kami berdua sebentar!” pinta Biru dengan sopan.
“Baik Bu, saya permisi!” ucap Tari lalu berjalan kelaura dari ruangan.
“Terimakasih!” ucap Karin pelan.
“Saya tidak punya banyak waktu. Saya beri anda 15 menit, siap tak siap silahkan keluar dari ruangan saya! Bukankah anda kesini bukan untuk berobat, tetapi hanya untuk bertemu saya kan? Baiklah saya akan mendengarkan anda!”
Air mata itu tumpah di sudut mata arin. Ingin memeluknya, tapi hati ini masih sakit untuk memaafkannya, dan Biru memutuskan untuk memberikan beberapa helai tisu pada Karin.
“Aku minta maaf!” ucap Karin dengan terbata-bata.
“Aku salah, aku jahat! Cuma kamu yang mau jadi teman aku, tapi aku malah mencintai pacar kamu! Dan ini ganjaran buat aku karena mengkhianati persahabatan kita!” lanjutnya lagi.
“Sudahlah, jika itu yang ingin kamu bahas, maka pergilah! Aku sudah memaafkanmu dari dulu! Kata Bunda, gak baik memendam dendam begitu lama. Aku terlalu mencintai hidupku, dari pada memikirkan seonggok sampah bekas yang telah kudaur ulang dan terlihat mahal tapi malah tak berguna untukku!” ucapan telak dari Biru berhasil membuat Kinan semakin terluka.
“Ma-maaf! Tapi, aku tak ingin jika kamu salah paham dengan Cio. Aku harus menjelaskan semuanya! Uhuk! Uhuk!” kali ini Kinan terlihat kesusahan untuk bercerita karena rasa sakit yang ia rasakan.
“Salah paham apa? Apa yang ingin kau sampaikan?”
“Cio, tak mengkhianatimu, akulah yang yang melakukannya!”
“Apa?”