Flashback on
Padatnya jalanan kota besar Jakarta tak memudarkan langkah kaki seorang gadis untuk melintas di area yang salah. Pagi ini sebagai mahasiswi baru ia terlambat bangun karena berkerja sebagai pengiring lagu di bar. Tapi, jangan mengira bahwa ia wanita nakal. Tidak, ia hanya sebagai pengiring lagu, dikarenakan keadaan ekonomi yang sulit bagi wanita malang sepertinya.
Breeeettttt!!! Suara decitan mobil yang terpaksa berhenti mendadak atas ulahnya. Ia hanya menunduk dan menganggukkan kepalanya sembari mengucapkan kata maaf dan meneruskan perjalanannya.
"Sepertinya kau punya sembilan nyawa?" terdengar suara bass seorang pria dibelakangnya ketika hendak memasuki gerbang kampus.
Sempat ingin menoleh kearah belakang, tapi diurungkannya karena waktu masuk lebih penting dari pada menghiraukan orang yang belum dikenalnya, dan ia memilih untuk mempercepat langkah kakinya.
Peluh membasahi kemeja putih yang ia pakai, untung mahasiswa baru, baru akan berkumpul di lapangan.
"Syukurlah," gumamnya pelan ketika mendekati barisan.
"Hei, kau yang di sana! Kau, terlambat!" terdengar kembali suara dibelakangnya, tapi tak ia hiraukan.
"Hei, aku seniormu! Apa kau pura-pura tak mendengar?" teriaknya lagi.
"Se-se-senior?" Ia pun berbalik arah menatap pria tegap di depannya. Garis-garis wajah kelelahan, entah apa yang dilakukan pria itu tadi malam.
"Lebih tepatnya ... ah, sudahlah. Dimana sopan santunmu?"
"Maaf Kak, saya terlambat. Saya tadi malam ada kerjaan penting yang tak bisa saya tinggal. Saya mohon maafkan saya sekali ini," ucapnya dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Apa kau tau ini, kesalahan yang fatal bagi mahasiswa baru?"
"Saya tau Kak."
"Berarti kamu-,"
"Cio, dokter Cio!" panggil suara dibelakang yang menghentikan pembicaraan pria itu.
Segera Cio melihat ke sumber suara, " ia Pak, kebetulan saya sedang-," suaranya kembali terhenti karena tak melihat wanita yang sudah melarikan diri tersebut.
"Ayo, keruangan saya! Bukankah kita ada janji hari ini?" ucap pria yang sudah berumur sambil merangkul pundak Cio.
Matahari yang terik tak menghentikan langkah para mahasiswa baru untuk menjalani aktivitas pengenalan kampus. Hingar bingar, senda gurau terdengar di seluruh penjuru kampus.
Wanita itu hanya duduk sambil menselonjorkan kakinya. Ia tak berani untuk memulai percakapan dengan yang lainnya. Ia terlalu pusing jika mengahadapi pertanyaan orang-orang.
"Boleh duduk?" tanya wanita yang satunya lagi.
"Bebas, tempat umum kok!" jawabnya.
"Aku Biruni Firzana Arfan!" kembali ia bersuara sambil menyodorkan air mineral dingin pada wanita itu.
"Karin!" jawabnya singkat. Jelas sekali ia tak ingin menghadapi Biru.
"Nih, ambil!" ucap Biru yang kembali menyodorkan minuman.
"Gak perlu, dan bisakah kamu diam. Dan hanya duduk tenang!" pintanya dengan ketus
" Baiklah," ucap Biru yang menampilkan lesung pipinya serta giginya yang putih dan tersusun rapi.
Mereka berdua sesekali hanya saling melirik, tanpa balasan senyuman dari Karin.
"Sebenarnya, apa maumu?" tanya Karin dengan ketusnya.
"Berteman!" Sekali lagi, Biru memampilkan senyum ramahnya.
"Bisakah kamu pergi dan tak muncul dihadapanku?"
"Kata bunda, gak boleh ketus lho. Entar cepet tua. Hi ... aku gak mau cepet tua!" ucap Biru yang bergedik ngeri sendiri.
"Apaansih?"
"Aku juga orangnya susah bergaul. Suka pusing kalo di tempat ramai. Nah, kebetulan kamu sendiri. Ya udah aku gabung sama kamu."
"Siapa bilang, aku susah bergaul? Aku hanya tak ingin."
"Berarti, kita temen yang pas donk!" Biru mencoba menyentuh pundak Karin, dengan mata puppy eyesnya.
"Siapa yang bilang? Ngaco kamu tuh!" Karin berlalu meninggalkan Biru yang kebingungan, apa ia salah dalam berucap. Dia hanya mencoba akrab dengan yang lain. Tapi, malah penolakan yang ia dapat.
***
Esok harinya, Biru kembali berpapasan dengan Karin.
"Hi, Karin!" hanya tatapan dingin yang ia dapat. Kembali ia merasa ada yang aneh dengan Karin, bukan Biru tak bisa mendapatkan teman. Entah kenapa, melihat Karin yang beberapa kali duduk sendiri di pojokan membuat hatinya ingin mengenal temannya itu.
Hari ini, perkuliahan dimulai. Dimana mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan satu kelompok terdiri dari dua atau tiga orang.
Nasib memang baik, Karin dan Biru menjadi satu kelompok. Dari sinilah Karin mulai terbuka dengan Biru. Biru pun acap kali mengajak Karin kerumahnya. Karin, masih tertutup bagaimana kehidupannya. Akan tetapi, ia mulai terbuka masalah pertemanan dan pekerjaannya.
Karin senang jika di dekat Biru, keluarga Biru yang welcome akan dirinya. Bahkan, Karin beberapa kali tidur di rumah Biru. Bunda Alya pun sudah menganggap Karin sebagai anaknya.
***
Malam ini Karin kembali berkerja seperti biasanya. Sebenarnya ia takut, jika teman satu kampusnya melihatnya. Ia akan dianggap wanita yang tak baik. Tapi, ia tetap memilih pekerjaannya. Karena tak mungkin mengandalkan beasiswa saja.
Menunjukkan pukul 3 subuh, tanda ia harus pulang untuk meregangkan otot-ototnya yang tegang. Di persimpangan jalan yang memang jarang ia lewati, karena memang rawan. Tapi, matanya yang sangat mengantuk membuat ia nekat melewati jalan tersebut karena lebih dekat dengan kosnya. Terlihat berkumpul beberapa pria muda yang sedang berpesta menikmati dunia malam. Cemas? Tentu saja. Jika orang sudah menikmati minuman keras, maka logikanya pun takkan berjalan dengan semestinya.
Pelan ia langkahkan kakinya, agar tak mengusik aktivitas para pria tersebut. Malang tak dapat ditolak, ia tak sengaja menginjak botol kaleng yang berada di depannya. Bunyi pijakannya membuat para p****************g tersebut melihat ke arah sumber suara.
"Auh, cantik banget! Udah subuh, dapat makanan kita gengs!" ucap pria berbadan subur yang langsung mencegat jalan Karin.
"Montok, semok! Gue duluan ya. Maklum bini gue udah tiga hari pulang kampung. Pusing banget pala gua!" ucap pria yang satunya lagi sambil memegang tangan Karin.
"Lepasin! Atau gue teriak!" bentak Karin.
"Oi neng! Elu sendiri yang lewat sini. Elu sendiri yang pulang jam gini! Pasti lu juga cewek gak bener kan? Ngaku aja deh lu! Sesekali deh lu gartisin bodi elu yang bohai tuh! Elu tereak juga percuma kali. Nih, area yang sepi banget. Jarang ada yang lewat non. Udah deh, layanin aja kita dulu. Gak kan kita bunuh kok. Kita cuma saling menikmati aja kok!" ucap pria yang berbaju merah.
"Udah deh, jangan lama-lama. Sikat!" perintah pria yang masih duduk sambil meneguk minuman kerasnya yang tinggal sedikit.
"Toooolongg! Tolong! Tooolllllong! Tol! Buftt!" Mereka mulai mendeka mulut Karin, dan akan melancarkan aksinya.
"Bugh! Auh, sakeet!" Suara hantaman benda tumpul dan berteriak kesakitan bersamaan disaat mereka mulai membuka pakaian Karin.
Air mata yang tak terbendung dan rasa ketakutan Karin membuat ia memberanikan diri untuk membuka matanya.
"Tolong aku!" teriak Karin sebisanya. Kekuatan terkumpul dari diri Karin yang berhasil menendang kemaluan dari seorang pria yang hendak menyentuhnya.
Ia kembali bangun dari posisinya, melihat sekeliling. Ada dua pria gagah yang terlihat terengah-engah seperti habis berkelahi.
"Nih, pake! Mereka semua udah kabur! Ayo lapor polisi!" ucap pria itu ketika membantu Karin bangun sambil menyodorkan jas putih khas seragam dokter.
"Terimakasih!" ucap Karin yang menangis tersedu-sedu.
"Ayo, kita lapor polisi!" ajaknya sekali lagi.
"Gak perlu, saya gak mau lapor! Saya hanya ingin pulang!" pinta Karin dengan pipi yang sembab.
"Baiklah jika itu yang anda inginkan!" Mari kami antar pulang!"