“Mal, bisa kan?” pagi ini aku mencoba untuk mandi karena sejak kemarin dirumah sakit aku tidak mandi sama sekali hanya mengelap badanku dan wajahku saja. Itu membuat tubuhku terasa sangat tidak nyaman dan ingin segera membersihkan tubuh dengan benar.
“Bisa Wi…” aku mencoba meyakinkan Dewi bahwa aku bisa mandi sendiri pagi ini. Kepalaku sudah tidak sesakit kemarin dan merasa tubuhku lebih baik juga, jadi kuputuskan untuk membersihkan tubuhku selagi aku bisa dan efek ngantuk dari obatku belum bekerja.
Saat membuka pakaianku, aku baru menyadari bahwa ditubuhku terdapat cukup banyak memar-memar kebiruan yang terasa sakit saat kusentuh. Aku melihat dibagian bahu kiriku memarnya cukup besar begitu pula dipinggul kiriku. Melihat memar ini aku teringat kejadian kemarin siang, saat aku mendorong kedua anak sekolah itu, agar tidak tertabrak mobil. Syukurnya supir mobil open cap itu sempat mengerem, jadi tidak terjadi tabrakan yang keras dan hanya bagian pinggulku saja yang terkena muka mobil. Hal itulah yang menyebabkaku terjatuh hingga kepalaku terbentur trotoar jalanan. Setelah itu aku tidak mengetahui apapun, dan baru sadar setelah berada dirumah sakit ini. Kalau kupikirkan hal itu, aku menyadari bagaimana perlindungan Tuhan padaku. Ia masih begitu melindungiku dan masih mengijinkanku untuk hidup lebih lama dihidup didunia ini.
Aku memutuskan untuk duduk berlahan diatas toilet duduk yang kututup penutup atasnya. Tidak ada luka dikakiku, namun aku tidak kuat kalau berdiri terlalu lama, karena bagian pergelangan kaki kananku terkilir.
Rasanya begitu menyegarkan setelah mandi. Aku segera menggunakan pakaianku dan berlahan-lahan keluar kamar mandi. Kulihat Dewi masih menungguku dikursi didekat kamar mandi rumah sakit ini, terlihat sibuk mengetik sesuatu di handphoennya.
“Sudah Wi.” ujarku. Saat melihatku Dewi segera memegangku dan membantuku untuk berjalan hingga sampai kamar. Dewi benar-benar memperhatikan dan merawatku dengan baik, ia bahkan mau menginap disini semalaman menemaniku.
“Wi, kamu pergi beli makan dulu, sarapan dulu.” Aku sudah selesai sarapan saat dokter memeriksa kondisiku pagi ini, namun Dewi belum makan apapun, padahal sekarang sudah menunjukan pukul 10 pagi.
“Nanti aja, Mal. Gak ada yang jagain kamu nanti.” Dewi meminim air teh yang ia buah tadi pagi. Melihatnya meneguh segelas besar teh manis itu, membuatku semakin yakin bahwa ia pasti sedang menahan rasa lapar yang ia rasakan.
“Gak apa-apa, makan aja dulu. Aku sudah baikan kok,kamu juga dengar sendirikan tadi dokter bilang kondisiku lebih baik.” aku menatap Dewi yang terlihat bingung untuk memutuskan pilihannya.
“Kamu beli makanan di kantin terus kalau bisa kamu bawa kesini, makan disini.” ujarku lagi mencoba mencari alasan yang bisa membuat Dewi terbujuk.
“Wi… sana makan.” aku terus memaksa Dewi yang tanpaknya tidak ingin beranjak dari bangkunya.
“Kamu beneran gak apa-apa?” tanyanya.
“Iya, beneran. Sudah kamu makan aja sana.” paksaku.
“Aku tunggu bapak sajalah,sebentar lagi mungkin dia datang.” Dewi masih kukuh dengan pendiriannya.
Suara pintu kamarku terdengar terbuka. “Naah, ini pasti bapak.” ucap Dewi. Kami berdua menoleh kearah pintu untuk memastikan bahwa yang datang adalah benar pamanku.
“Permisi…”
“Ryuzaki….” ucapku bersamaan dengan Dewi. Ryuzaki bernampilan santai seperti biasanya, kemeja lengan pendek dan celana kain pendek seakan menjadi ciri khasnya.Ia masuk kedalam kamarku dengan santai tanpa ada rasa sungkan.
“Kenapa dia dateng kesini terus, Mal?” Dewi segera menoleh kearahku dan berbisik padaku.
“Gak tau…” jawabku cepat membalas bisiknya. Dewi lalu cepat-cepat menoleh kearah Ryuzaki yang berjalan mendekati ranjangku.
“Hai…” sapa Ryuzaki.
“Hai…” balasku dan Dewi.
Aku menatap Dewi “Wi, aku sama Ryuzaki aja, kami pergi makan dulu.”
Dewi melototiku lalu menunduk dan berbisik lagi ditelingaku “Jadi kamu usir aku biar bisa berduaan sama dia?”
“Gak, bukan begitu. Biar kamu bisa sarapan.” aku reflek berbicara cukup keras karena terkejut mendengar ucapan Dewi. Aku benar-benar tidak berpikir untuk mengusir Dewi agar bisa berduaan bersama pria ini.
“Ya udah, tapi kamu jangan macem-macem ya.” bisik Dewi lagi lalu tersenyum ramah pada Ryuzaki seakan ia sedang tidak membicarakan pria itu.
“Ryuzaki, tolong jaga Mala sebentar ya. Aku mau makan dulu.”
“Oh oke.” jawab Ryuzaki.
Dewi berjalan keluar kamar dan berulang kali menoleh padaku. “Hati-hati.” dia berbicara tanpa suara dan memberiku mimic wajah yang membuatku ingin tertawa karena tingkahnya.
“Kenapa?” tanya Ryuzaki yang tanpak heran melihatku tersenyum sendiri.
“Itu Dewi, minta aku supaya hati-hati.” aku lupa kalau sedang berbicara dengan Ryuzaki.
“Hati-hati untuk apa?” tanya Ryuzaki lagi.
“Bukan apa-apa. Hehe.” Sikapku menjadi begitu kikuk hari ini padanya.
“Bagaimana keadaanmu?” belum kupinta, Ryuzaki langsung duduk dibangku sebelah ranjangku dengan nyamannya. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa pria ini bertindak begitu santainya.
“Sudah leboh baik.” balasku
“Syukurlah kalau begitu. Lalu kapan bisa pulang? Dokter sudah kasi tahu?”
“Belum tahu, nanti siang hasil CT Scannya keluar, jadi tunggu hasil itu. Kalau aku baik-baik saja, hari ini aku bisa pulang, atau besok.”
“Semoga hasilnya bagus ya.” aku tidak tahu apa sedang bermimpi atau tidak, tapi aku masih tidak percaya melihat pria ini datang lagi hari ini menemuiku dan mnegucapkan kata-kata yang penuh perhatian seperti ini.
“Apa mungkin ia hanya merasa iba atau kasiahn saja padaku? Iya mungkin ia merasa kasihan padakui.”
“Saya datang kesini karena khawatir dengan keadaanmu.” ucap Ryuzaki tiba-tiba.Aku terkejut mendengar ucapannya, seakan ia bisa membaca pikiranku.
“Aku tidak bisa membaca pikiranmu, Nirmala.” ucap Ryuzaki dengan senyum lebarnya.
“Dia sepertinya benar-benar bisa membaca pikiranku! Ya Tuhan. Mungkin sebaiknya aku diam saja.”
“Kamu sangat lucu.” ucap Ryuzaki lagi. Aku belum mengatakan apa-apa tapi dia sudah mengatakan beberapa kalimat. Kurasa ia memang bisa membaca pikiranku.
“Begitu? Apa yang lucu? Ada yang aneh denganku?”
“Tidak, maksud saya ekpresi wajahmu sangat menarik. Seperti bisa menggambarkan pikiranmu.” mendengar ucapan Ryuzaki membuat wajahku terasa memanas, reflek kupegang kedua pipiku. Jantungku terasa berdebar, rasanya sama seperti dulu saat aku pertama kali berkenalan dengannya.
"Seperti ini contohnya." lanjut Ryuzaki, sambil menatapku lekat. Ia masih tersenyum melihatku seakan aku sedang menunjukan hal lucu padanya.
“Nanti saat keadaanmu sudah membaik, mau pergi jalan-jalan denganku?”tanya Ryuzaki tiba-tiba. Ia sangat cepat mengubah topik pembicaraan kita.
“Aku? Kita pergi bersama?” tanyaku tak percaya.
“Iya…” jawab Ryuzaki dengan yakin.
“Kamu mau?” tanya Ryuzaki lagi. Wajahnya terlihat begitu tenang, begitu berbeda dengan perasaanku saat ini. Rasanya seperti terombang ambing ditengah lautan cokelat dan permen. Membuatku begitu senang sekaligus takut.
Butuh beberapa detik untukku memproses semua ini, sampai akhirnya kujawab pertanyaanya dengan kedua tangan yang masih menutupi kedua pipiku. “Iya. Aku mau.”
Kutatap kedua mata Ryuzaki beberapa detik, kuingin mencari kebenaran dimatanya.
Apa pria ini hanya ingin bermain-main denganku?
Atau ada sesuatu yang lain?
***
Siang itu, setelah bibiku berbicara dengan dokter, aku mendapatkan berita bahwa aku sudah diijinkan untuk pulang sore ini. Katanya aku baik-baik saja dan hanya mengalami cidera ringan saja, namun tiga hari lagi aku harus pergi untuk memeriksana diri lagi ke dokter dan juga untuk memeriksa jahitan dikepalaku.
“Sudah semua dikemas, Wi?” tanta bibiku pada Dewi sambil mengangkat termos air panas yang dibawanya kemarin dari rumah.
Sudah bu.” Dewi mengangkat tas berukura cukup besar yang didalamnya ada baju bajuku dan selimut yang dibawa Dewi dari rumah. Bibiku membawa termosnya dan pamanku membantu untuk turun dari ranjang.
“Kamu beneran sudah gak apa-apa kan Mal?” pamanku memegang lenganku saat aku berusaha turun dari atas ranjang rumah sakit ini.
“Kalau masih merasa sakit, tidak apa kamu dirawat saja dulu.” lanjut pamanku yang selanjutnya memabantuku menggunakan sandal jepit kuning yang sehari-hari kugunakan. Kupikir aku akan kehilangan sandal kuning ini saat kecelakaan kemarin, taunya sandal ini masih ada disini, walau aku merasa sedikit heran mengapa saat kupakai rasanya sedikit berbeda, aku bahkan merasa kalau sandal ini lebih bersih daripada sandal yang biasa kupakai, rasanya seperti sandal baru.
“Mala sudah tidak apa-apa, dokter juga bilang kalau Mala sudah boleh pulangkan.” aku tidak ingin terlalu lama menjadi beban bagi keluargaku disini. Mereka pasti sangat kewalahan untuk mengurusku kalau aku masih berada dirumah sakit. Jadi ketika mendengar ucapan Dokter bahwa aku bisa pulang hari ini, aku segera memutuskan untuk pulang saja, aku juga merasa kondisiku sudah jauh lebih baik.
"Paman, ini beneran sandalnya, Mala?" tanyaku saat beberapa langkah berjalan menggunakan sandal ini. Ini jelas bukan sandal yang biasa aku gunakan.
"Rupanya mirip Mala punya, tapi rasanya berbeda." lanjutku. Aku masih berpikir apa karena benturan dikepalaku aku jadi sedikit membedakan sesuatu.
"Oh itu, itu Ryuzaki yang belikan, sandalmu putus." celetuk bibiku.
"Oh..." aku benar-benar masih tidak percaya dengan semua perbuatan Ryuzaki padaku. Bagaimana bisa sikapnya jadi begitu berubah.
"Pelan-pelan, Mal.” Dewi ikut membantu menopang tubuhku agar aku bisa berjalan dengan lebih seimbang.
“Tidka apa-apa, Wi. Aku sudah bisa kok.”
“Sudah jangan sok kuat, mentang-mentang pakai sandal baru.” Dewi tetap memegang lenganku hingga aku masuk kedalam mobil.
***
Bibiku meamasak makan malam yang cukup banyak hari ini. Dia bilang kalau ini bentuk syukuran karena keadaanku baik-baik saja dan bisa pulang kerumah.
Aku duduk di gazebo dan memperhatikan bibiku yang sedari tadi sibuk keluar masuk membawa makanan. Iya, kita akan makan malam di gazebo saat ini. Gazebo dirumah ini cukup besar, pamanku tadi mengangkat meja kayu pendek yang diletakan ditengah gazebo, jadi kami akan meleseh disini.
“Andi, Tomo sudah dikasi tau untuk datang kan?” tanya bibiku saat kak Andi mendekat gazebo dan melihat menu-menu yang sudah dimasak oleh bibiku dibantu Dewi.
“Sudah bu. Dia gak usah diundang juga, pasti nawarin diri untung datang.” jawab kak Andi sambil membuka toples kerupuk.
“Bagus kalau begitu, biar ramai nanti. Ibu juga undang Ryuzaki.”
“Ryuzaki? Cowok Jepang itu?” kak Andi batal mengigit kerupuknya. Ia tanpak terkejut, begitupun denganku.
“Kenapa undang dia sih, bu?” protes kak Andi.
“Lah memang kenapa? Dia kan sudah tolong Nirmala, temannya juga. Tidak ada yang salahkan?”bibiku menaruh semangkuk besar sayur Capcai lalu menatap ke kak Andi.
“Ya, bukan kenapa-kenapa bu, tapikan...” kak Andi nampak belum terima dengan keputusan bibi.
“Mala tidak apa-apakan kalau kita undang Ryuzaki?” tanya bibi padaku.
“Tidak apa-apa bi.” jawabku. Ini rumahnya bibi dan makan malam yang diadakan juga oleh bibiku, aku tidak berhak untuk melarang siapaun untuk datang. Aku pribadi juga merasa senang kalau Ryuzaki bisa datang.
“Tuh yang punya teman gak nolak, kok malah kamu yang protes, ndi.”ucap bibiku pada kak Andi.
“Ya sudah terserah ibu saja.” jawab kak Andi.
“Semoga gak ada pertumpahan darah aja nanti.” lanjut kak Andi dengan suara yang pelan nyaris berbisik. Aku yang berada didekat kak Andi bisa mendengar cukup jelas ucapnnya namun tidak dengan bibiku.
“Apanya yang darah? marah? Kamu bilang apa? Ibu gak dengar ” tanya bibiku.
“”Bukan apa-apa bu.” kak Andi melangkah menuju dalma rumah smabil menguyah kerupuk udang ditangannya.
“Pertumpahan darah?” aku masih memikirkan ucapan kak Andi barusan. Memangnya siapa yang akan tumpah darahnya.