Anugerah dan Bencana Beda Tipis
Hari pernikahan adalah yang hari yang membahagiakan,tidak terkecuali untuk Tyas Indira. Wanita itu berpikir kalau kehidupannya akan berubah setelah menikahi Argo Dewantara. Lelaki yang menjadi pacarnya selama tiga bulan. Atas desakan orang tua, Tyas menerima lamaran Argo. Walau masih menyelesaikan skripsi S1 hukum.
Resepsi pernikahan pun berlangsung meriah. Tamu undangan tidak berhenti berdatangan hingga sore menjelang. Semuanya tampak baik-baik saja, senyuman selalu menjadi penghias wajah pengantin di pelaminan, menyambut setiap tetamu yang datang. Tyas begitu cantik dengan kebaya marun tradisional Jawa Tengah. Tak kalah, Argo juga makin tampan dengan setelan baju pengantinnya.
Orang tua Tyas dan Argo pun tak kalah bahagianya melihat anak-anak mereka menemukan jodoh. Bersanding di pelaminan tradisional yang mewah.
“Nanti aku kenalkan ke kakakku satu-satunya,” ujar Argo sambil berbisik setelah bersalaman dengan salah satu tamu VVIP papinya. Ada jeda sejenak, untuk mereka duduk. Pengatur acara menghampiri sekadar memberikan minuman.
“Kakak? Kamu punya kakak?” tanya Tyas kaget dan serius. Gimana bisa Argo selama ini tidak pernah cerita kalau dia punya kakak.
Argo tertawa kecil. Nadanya canggung, “Iya, aku jarang cerita soal kakakku yang satu itu. Karena dia sama kayak kamu, penyendiri,” katanya lagi.
“Sama kayak aku gimana?” ulang Tyas sekali lagi seperti ingin marah. “Dia suka menyendiri,” jawab Argo.
Argo tersenyum ketika melihat Tyas cemberut begitu gemas rasanya. “Namanya Gentala.”
“Ge—Gentala?” ulang Tyas, dalam hatinya langsung bertanya apakah Gentala yang itu? Badannya membeku. Kemeriahan pesta rasanya tidak dia rasakan lagi. Band yang mendendangkan lagu-lagu romantis tidak terdengar oleh Tyas. Beberapa saat badannya tegang, matanya mengerjap, dalam hati menguatkan diri. Mungkin bukan dia, pikir Tyas. “Terus, kenapa kamu gak pernah cerita tentang dia?” tanyanya dengan nada suara yang sedikit tinggi.
“Mami dan papi menganggap dia tidak ada,” balas Argo.
“Dianggap tidak ada maksudnya?” Mata Tyas membesar, mana ada orang tua yang menganggap anaknya tidak ada.
Argo mengedikkan bahu. “Mungkin dia melakukan kesalahan, entah …. Yang jelas aku tidak tahu kesalahan apa yang dia perbuat.”
Tyas nelangsa melamun sejenak, seperti turut merasakan kesedihan dari kakak Argo. Apakah kesalahan yang dia perbuat? Tyas juga pernah merasakan rasanya hidup sendirian, sakit, tetapi tidak ada yang menolongnya, bahkan ibu dan ayahnya.
Semua itu dia lalui sendirian. Tanpa pendampingan dari siapa pun orang yang menyayanginya.
Pembicaraan soal kakak Argo dan lamunan Tyas pun terputus. Pengatur acara menghampiri Tyas dan Argo memberitahu saatnya memotong kue.
“Habis ini apalagi, Mbak?” Tyas seperti merengek, tidak mau lagi ada acara melelahkan seperti ini.
“Ini rangkaian acara terakhir,” balas si pengatur acara.
Tyas menghela napas lega. Kalau begitu dia bisa sembunyi lagi setelah acara ini, istirahat dan juga pulang ke tempat yang nyaman. Argo dan Tyas menuju ke kue yang sudah ada di tengah aula hotel itu.
Pembawa acara memandu acara untuk Tyas memotong kue yang tidak seberapa tingginya.
“Satu … dua … Tiga!” aba-aba si pembawa acara.
Semua tetamu yang memadati depan panggung bertepuk tangan meriah. Lalu mereka sama-sama memekik.
“Cium …. Cium!”
Tyas gugup, mana mungkin mencium Argo di depan umum. Namun, Argo dengan cepat menyambar pipi istrinya itu.
Membuat Tyas makin salah tingkah tak karuan. Rasanya ingin menampar. Tatapannya tajam ke arah Argo. Sementara, tetamu bertepuk tangan dan bersorak gembira. Seolah turut merasakan kebahagiaan dua insan itu.
Mana mungkin tiba-tiba Tyas menampar lelaki yang sekarang bestatus suami?
Jadi, Tyas hanya berpaling saja dari tatapan suaminya yang masih tersenyum lebar.
Pemandu acara lantas menutup acara tersebut. Tyas mendengar kata penutup dari si pemandu acara merasa lega. Artinya bisa duduk istirahat.
Setelah acara selesai, Tyas memilih duduk dengan mama dan papanya di area VIP untuk makan dan minum. Sementara, Argo masih menyapa dan juga mengobrol dengan beberapa tamu.
Tyas nelangsa sendirian, bukan karena apa-apa, aneh saja. Di tengah keramaian dia merasa sendirian. Tyas masih menunggu Argo yang saat ini tidak terlihat lagi ke mana. Mama dan papa Tyas pamit untuk ke kamar duluan. Makin merasa sendirian wanita itu.
Ada beberapa tamu yang menyapa Tyas, kebanyakan adalah sahabat dari mertuanya, orang tua. Atau juga sahabat Argo.
Sementara, Argo menjemput kakaknya di lobi. Tidak sabar sebenarnya ingin bertemu dengan kakaknya. Jadi, meski tidak boleh meninggalkan Tyas, demi kakaknya, Argo menjemput sendiri di lobi.
Seorang lelaki tinggi, dengan wajah yang bersih datang menghampiri Argo. Tersenyum dengan lebarnya, membuka kedua tangan.
“Kak,” sapa Argo sambil memeluk kakak yang sudah bertahun tidak dia temui.
Lelaki bertubuh tinggi, atletis dan juga berwajah tegas itu menyambut adiknya dengan senyuman. “Kenapa kamu yang menjemputku di lobi? Memang Mami Papi ke mana? Kamu kan sedang jadi pengantin.”
Argo menjauhkan badan. Mereka saling merangkul. Lalu berjalan ke aula yang tidak jauh dari lobi. “Aku kan rindu. Berapa tahun tidak bertemu? Merasa bersalah juga, tidak menjemput kamu di bandara.”
“Ah, itu kan tidak masalah. Kamu sedang menikah. Ngomong-ngomong berapa lama, ya, kita tidak bertemu?”
“Rasanya dua tahun,” jawab Argo. “Sekarang aku mau kamu berkenalan dengan istriku,” balas adik semata wayang dengan riang dan antusias.
“Oh, baiklah. Siapa perempuan beruntung itu? Oh, ya, aku juga sudah menyiapkan kado khusus untuk bulan madu kalian.”
“Ah, terima kasih, Kak.” Argo menunjuk ke satu arah, ke arah perempuan yang sedang duduk di kursi meja makan. “Itu dia istriku,” ujar Argo.
Kakaknya itu mengucek mata, apa hari ini dia bermimpi?
Namun, Genta menoleh ke arah adiknya yang tersenyum dengan lebar.
Semua serasa berjalan lambat untuk Genta. Dengkulnya lemas melihat siapa istri Argo. Sampai akhirnya, di depan meja yang diduduki Tyas.
Wanita itu tak kalah kagetnya ketika melihat Genta. Matanya memelotot, apa ini mimpi buruk? Atau kenyataan?
“Tyas, kenalkan ini kakakku, Gentala,” kata Argo memperkenalkan mereka berdua.
Suara Tyas seperti tertahan di tenggorokan. Hanya mengangkat tangan untuk berjabat tangan dengan Gentala. Tidak mampu menatap wajah Genta yang rasanya sangat familier.
“Aku pesankan makanan untuk Kak Genta dulu, Sayang,” pamit Argo.
Tyas hanya mengangguk kaku, tidak tahu harus apa. Duduk lagi di kursi yang tadi dia tempati.
“Tidak sangka kalau istri Argo adalah kamu,” ucap Genta kepada Tyas.
Wanita itu tidak mampu menjawab Genta. Tenggorokannya serasa kering, dia meminum habis air putih yang ada di gelas.
“Harusnya kamu selalu menjadi milikku, Tyas—atau seperti biasa, aku panggil, Iras?” desis Gentala, badannya mencodong ke arah Tyas dengan tatapan mata tajam.