Argo tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan kalau Tyas akan menerima serangan yang tadi dilakukan.—apakah malam ini akan berakhir di ranjang? Entah, Argo hanya menikmati ketika Tyas pasrah Argo menyentuh pipi, serta mencumbunya malam ini. Dan sayang sekali ini hari Senin. Mungkin kalau malam Minggu Argo akan langsung membawa Tyas ke Bandung atau ke mana pun Tyas mau.
“Mau pulang sekarang dan teruskan di rumah?” tanya Argo setelah selesai makan. Di telinga Tyas, suara Argo begitu parau.
Tyas hanya mampu mengangguk, tidak mampu memberi alasan apa pun! Kalau bisa dia ingin meminta maaf kepada Argo, selama ini dirinya seperti pajangan saja.
Sejak di perjalanan Argo tidak berhenti menggoda Tyas, wanita itu hanya bisa menerima, tidak bisa menolak lagi. Sebagian merasa bersalah karena peristiwa sarapan tadi di kantor untuk Genta. Serta, membuktikan perkataan Tyas tadi, kalau dirinya bahagia dengan Argo.
Argo mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas biasanya. Sebagian dalam hatinya tidak sabar ingin cepat sampai rumah. Apakah malam ini akan kejadian? Tyas akan menjadi miliknya utuh? Pikiran Argo tidak bisa berhenti membayangkan, setelah dua minggu menikah, akhirnya Tyas menyerahkan segalanya.
Atau memang seperti kemarin-kemarin? Tyas selalu berdalih kalau dirinya sedang datang bulan. Atau wanita itu selalu membuat dirinya kelelahan disiang hari, sehingga malam setelah beraktifitas, Tyas sangat kelelahan akhirnya selalu jatuh dalam lelap.
“Apa kamu hari ini terlalu lelah?” tanya Argo kemudian, tangannya yang tidak memegang lingkaran kemudi, berkelana di tubuh Tyas. Sesekali bibir mereka saling bersentuhan.
“Enggak, kok,” jawab Tyas. Berusaha selalu ceria.
Jawaban dari Tyas, membuat Argo tersenyum dalam hati, seolah itu adalah lampu hijau yang selama ini Argo tunggu.
Mobil yang Argo kendarai akhirnya sampai di depan halaman parkir rumahnya. Dia dengan cepat mematikan mesin mobil. Lalu membukakan pintu mobil untuk Tyas.
Argo tidak tahan sendiri ketika menyambut Tyas turun dari mobil, dia memutar badan Tyas lalu mendorong Tyas. Wanita itu menjerit kecil.
Argo tertawa kecil. Dia lantas menempel telunjuk di bibirnya.
Tyas tak kalah kaget tapi tertawa juga ketika Argo menyusruhnya diam. Dua insan itu lantas membuka aktifitas ranjangnya dengan saling berpagutan di garasi.
Tyas tidak lama mendorong badan Argo. “Kalau ada yang lihat gimana?” protesnya sambil memutar bola mata.
Argo mengerti, lalu menggandeng tangan Tyas menuju kamar mereka. Melewati ruang tamu. Tyas yang mau mengucap salam, dilarang oleh Argo. Lelaki itu menempel telunjuknya lagi, memberitahu agar diam. Tyas hanya tersenyum, sementara Argo ters menarik badan istrinya itu ke dalam kamar.
Mami dan Papa yang sedang menonton tidak melihat Tyas dan Argo yang pulang terburu-buru masuk ke rumah. Sinagar dan Diana sedang menonton televisi dan membelakangi pintu masuk, hingga tidak melihat Argo dan Tyas masuk dengan tergesa.
“Memang Argo tidak mengabari kamu?” tanya Papa sambil meminum teh hijau.
“Tadi dia bilang mau makan di luar sama Tyas, mungkin nanti malam baru pulang,” balas Mami tak acuh dengan pertanyaan Papa.
“Memang dia tidak menjawab pesanmu?”
“Biar saja, lah, Pa. Mungkin dia sedang fokus dengan Tyas. Mami tidak mau mengganggu,” ujar Diana.
“Padahal Papa mau bertanya kepada Tyas, apakah Genta baik terhadapnya?” mata Papa sambil menatap layar televisi—yang menayangkan program dokumenter perubahan iklim di jagat raya ini.
Mendengar perkataan Papa, Diana menegang tetiba. Genta dan Tyas, Mami menyembunyikan kisah mereka dari Papa dan Argo. Makanya Diana diam saja ketika suaminya membagi tim tadi pagi.
“Pasti biasa saja, Pa. Kan papa sudah tahu dulu waktu Genta masih memimpin di London.”
“Di London kan beda dengan Jakarta, Mi. Genta tahu kalau di sana sumber dayanya sangat disiplin dan juga bertanggung jawab penuh. Bahkan anak-anak baru seperti Tyas, mereka hebat-hebat.”
“Anak di sini sama hebatnya, kok, Pa. Papa ingat, kan dulu Argo suka memuji Tyas?”
“Itu kan karena Argo jatuh cinta sama Tyas, kalo tidak. Tidak mungkin, kan, Mi. Argo sampai memuji Tyas seperti itu.”
Mami hanya manggut-manggut, apa yang dikatakan oleh suaminya, benar juga. “Setiap orang kan punya kesempatan untuk belajar dan lebih baik, Pa. Begitu juga dengan Tyas. Kalau baru satu atau dua hari tidak akan ketahuan kan, seperti apa kinerja Tyas.”
Papa mengedikkan bahu, “Mami ada benarnya. Tapi Papa tidak mau mentolerir orang yang tidak kompeten.”
“Tidak kompeten bagaimana maksud Papa? Maksudnya Tyas yang tidak kompeten?”
“Bisa jadi. Makanya Papa tempatkan dia dengan Genta. Genta kan orangnya keras, jadi Tyas tahu betul bagaimana dunia hukum dan juga dunia kerja yang sesungguhnya.”
Mami menghela napas, menatap suaminya. Apa yang dipikirkan suaminya ini tidak salah. “Terserah papa saja, itu kan pemikiran papa yang tidak bisa mami kendalikan.”
Papa hanya tersenyum menatap istri selama tiga puluh tahun lebih. “Mi, kita kapan punya cucu?” ini pertanyaan jail Papa. Tapi entahlah, membuat Diana makin tercenung.
“Tergantung Argo dan Tyas, dong, Pa.”
Papa tersenyum dengan lebar. “Harusnya, Tyas di rumah saja. Punya anak yang banyak dari Argo. Rumah ini terlalu sepi tanpa ada anak-anak,” ratap Papa menatap kosong ke arah televisi. Teman-teman Papa yang seumuran dengannya, kebanyakan sudah punya cucu. Masa dirinya belum? Usianya makin tua, penyakit makin banyak berdatangan. Waktu hidup di dunia makin lama makin sedikit.
Mami tetiba nelangsa sendiri, mengingat kejadian enam tahun lalu. Bagaimana mungkin dia lupa hari itu. Papa tetiba mencolek tangan mama.
“Mi, kenapa bengong? Mikirin apa? Aha! Papa tahu, Mami juga pengen kan punya cucu?” tebak Papa dengan ceria.
Mami jadi kikuk sendiri. “Ya—iya, Mami juga pengen punya cucu. Semoga Argo cepat memberi kita cucu, ya.”
Papa hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum, lega dalam hati. Pasangan jiwanya ini selalu punya tujuan yang sama dengan dirinya.
“Oh, ya, lusa Papa harus ke Surabaya sama Argo.”
“Lho, kok, Papa baru bilang sekarang. Lagi pula, kayaknya Papa sudah mesti lepas Argo sendirian, deh. Jangan selalu ngintil Papanya terus. Kasih dia kesempatan untuk berkembang,” anjur Mami.
“Mami tahu, kan, Argo suka gegabah kalau mengambil keputusan. Belum terlalu banyak pengalamannya. Jadi lebih baik, kita pergi bersama saja. Lagian, Papa juga bisa mengawasi anak itu.”
Mami tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menuruti apa perkataan Papa. “Mami hanya ingin Argo matang ketika nanti dia mengambil alih firma.”
“Papa, masih belum bisa percaya seratus persen untuk menyerahkan firma kepadanya. Mama tahu, kan, firma itu adalah kerja keras Papa selama bertahun-tahun, jadi rasanya tidak mungkin kalau menyerahkan begitu saja kepada Argo.”
Mami hanya mengangguk-angguk, selama ini tidak bisa melawan perkataan Sinagar, suaminya. Termasuk saat dia harus memberangkatkan Genta dengan paksa ke luar negeri beberapa tahun lalu.