Argo merapikan dasinya di depan cermin, matanya melirik ke arah Tyas yang tidur di ranjang. Dia tidak mau mengganggu Tyas. Hampir pukul sepuluh, Argo pikir, waktu yang singkat untuk pergumulan pagi mereka. Masih ada rasa tidak rela meninggalkan Tyas. Apa lagi, wanita itu masih bertubuh polos—hanya dibalut dengan selimut tipis. Namun, tuntutan pekerjaan membuat Argo harus kembali ke kantor. Argo mendekat ke arah Tyas, lalu mencium pipinya. “Jangan lupa, sarapannya dimakan,” bisiknya di telinga Tyas. Wanita itu mendengarnya, miris dalam hatinya, Argo yang sebegini baiknya, masa tega Tyas khianati? Dadanya sesak, tapi sebisa mungki, Tyas menahan air matanya. Sampai dia mendengar suara pintu terbuka lalu menutup. Lelaki itu lalu melangkah dengan cepat ke arah pintu masuk. Hatinya saa

