Genta dan Argo

1091 Words
“Oh, jadi istrinya Argo sekarang merangkap jadi OG juga?” Tiffany bersedekap menatap sinis Tyas, yang menyuguhkan roti isi dan juga kopi pahit untuk Genta. Tyas tidak menjawab apa pun, hanya menunduk, lalu perlahan menjauh dari meja Genta. “Kalo di sini cuma mau komentarin kerjaan orang, mending pergi dari ruangan ini,” usir Genta halus tanpa menatap Tiffany, Genta gerah melihat perempuan itu. Mana duduk segala di meja. Tidak tahu malu. Pandangan Tiffany lantas ke arah Genta, yang mulai membuka kemasan roti isinya. “Kalau kamu mau kerja, mulai gabung dengan Samuel dan Tyas, kerja bareng,” suruh Genta tak mau tahu. "Dimataku, semua sama. Hanya perlu waktu saja, perlahan kalian juga akan ada sama sepertiku berjaya melebihi aku, paham kan, semuanya! Tidak ada pegawai senior atau pegawai yang baru.” Mata Genta menatap Tyas dan Samuel bergantian. Mereka mengangguk setuju, Tyas sudah kembali duduk di sofa memangku laptopnya. Perlahan dia menyadari kalau kursi yang dipakai Genta bukan kursi yang dia pilihkan. Padahal Tyas merasa kalau kursi itu sangat nyaman ketika dipakai. Mengapa Genta tidak mau duduk di situ? Malah ada dekat jendela disembunyikan vertikal blind? Tyas dan Samuel membeku di tempat, mana sangka Genta akan bereaksi seperti itu. “Tapi, Gen, aku di sini buat jadi pendamping kamu. Tandem, seperti yang papa kamu bilang.” Tiffany tidak menyangka reaksi Genta seperti ini. Mata Genta yang marah mendelik ke arah Tiffany. “Ada Tyas dan Samuel, rasanya tidak perlu. Lagian, apa bedanya hukum Indonesia dan Inggris, rasanya hampir sama. Kalau ada yang tidak perlu aku tahu, aku bisa bertanya ke Argo, atau Papa.” Tiffany berdiri dari meja kerjanya, mendengkus tidak suka. Dengan cepat dia meninggalkan Genta, wajahnya cemberut, sekilas dia menatap Samuel dan juga Tyas. Tapi, Genta tidak peduli, yang penting tidak suka, ya, tidak suka. Begitu pikir Genta. Begitu pintu dibanting, Genta hanya menghela napas. Tidak ada yang perlu dia senangkan hatinya, bukan? Termasuk Tiffany dan maminya. Jadi, yang selanjutnya Genta lakukan, adalah, bekerja dengan para bawahannya. Meski kadang terlihat gugupnya, Genta tahu harus bersikap profesional. Bahkan dengan Tyas sekali pun. “Finalisasinya sat minggu lagi, bisa?” tanya Genta setelah memberi arahan kepada Samuel dan Tyas. “Bisa, Pak,” sahut Samuel dan Tyas berbarengan. Tanpa Genta sadari, reaksi Samuel dan Tyas membuat Genta tergelak. Tidak salah papanya memilihkan karyawan untuk Genta. Samuel dan Tyas bukannya ikutan tertawa, mereka saling menatap, Pak Genta kalau tertawa aneh. Bukannya aneh, tapi karena baru satu kali ini Samuel lihat Genta tertawa. Kalau untuk Tyas, bukan untuk yang pertama kalinya. Suara tawa itu begitu akrab dalam mimpinya bertahun-tahun, tentu saja tidak bisa melihatnya langsung. A Wajah Genta ketika tertawa khas, matanya menurun jadi mirip bulan sabit. Genta adalah Genta yang sama seperi dulu, Tyas membatin, menghela napas. Hanya saja, kali ini Tyas tidak bisa lagi menyentuh hatinya. Berbeda dengan dulu. Dalam pikirannya juga melintas wajah Argo dengan senyumannya yang khas. Tyas tidak mungkin lupa, selama dua minggu ini mengulur malam pertamanya. Tidak tahu mengapa. Tyas merasa ada yang menempel di pikirannya, hingga membuatnya tidak nyaman ada di dekat Argo. Genta masih bicara dengan Samuel soal akuisisi perusahaan ini. “Seharusnya ini bisa jadi kasus yang mudah, Sam. Asal kamu paham dari mana sumber semua pendapatan perusahaan itu. Dan sekali lagi, jangan sampai kamu kecolongan.” Genta melirik jam tangannya. “Ini waktunya makan siang. Kalian mau makan apa? Biar saya panggil Paimin supaya bisa pesan makanan.” Samuel melirik jam tangannya. “Terima kasih, Pak. Kita makan di luar aja.” “Please, I insist, anggap aja ini untuk hari pertama kalian yang menegangkan.” Samuel dan Tyas saling melirik dan menatap. Masih menimbang apakah Pak Genta benar-benar mengajak makan siang? *** Argo mendengkus kesal, entah berapa kali dia melihat ponselnya. Bukannya karena tidak ada tanggapan atau apa pun soal perkara yang sedang dia tangani. Tapi perkara Tyas, tidak membalas pesannya—membuat Argo kesal setengah mati. Ya ampun! Baru menikah beberapa minggu saja, sudah seperti ini istrinya, apalagi nanti kalau sudah beberapa bulan, batin Argo. Tyas itu sedang apa dengan Genta? Batin Argo bertanya. Sampai Tyas mengabaikan pesan yang dikirim? Tangannya mengepal, deru napasnya berat seperti banteng yang akan mengamuk. Bukan hanya masalah pesan yang tidak dibalas oleh Tyas, tetapi juga karena Argo tahu kalau Tyas sedang berada di ruangan Genta. Pelataran parkir pengadilan penuh dengan mobil yang parkir. Waktu menunjukkan pukul tiga sore lewat tiga puluh menit. Argo menghitung waktu, sebelum makan siang dia mengirim pesan kepada Tyas, dan sampai sekarang sudah puluhan pesan dikirim tidak satu pun dibalas oleh istrinya itu. Papa Argo yang melihat anaknya masih ada di pelataran parkir, memegang bahu Argo pelan. Argo yang masih marah seperti tersentak sendiri, dia menoleh. “Papa?” “Kenapa belum pulang? Mau bareng sama Papa?” tawar papanya. Argo menggeleng, “Tadi bawa mobil sendiri,” balasnya. Nada suaranya masih terdengar tegang. Papa mengerti pasti ada apa-apa dengan anaknya ini. Tidak biasanya Argo seperti gusar begini, mana di lapangan parkir yang masih panas. “Ayolah, pulang bareng Papa, kamu setir mobil Papa, biar Pak Suman yang bawa mobil kamu. Sudah lama kita tidak ngobrol, kan?” bujuk Papa. Argo menghela napas, menarik napas lalu mengeluarkannya perlahan. Argo akhirnya mengangguk setuju dengan usul papanya. Dalarm kabin mobil, Argo berkonsentrasi menyetir dengan kecepatan penuh. “Go, bisa kan kamu pelanin sedikit kecepatan mobilnya?” Papa mulai was-was dengan cara mengemudi Argo yang ugal-ugalan. Protes dari Papa tidak Argo gubris. Wajahnya makin tegang menatap jalanan. Memelesat, melalui beberapa kendaraan yang ada di depannya. Ke kiri. Lalu, tangannya memnutar kemudi hingga berpindah ke jalur cepat. “Argo! Papa bisa kena serangaj jantung!” pekik papanya, tangannya berpegangan dasbor dan juga di tali sabuk pengaman. Menahan napas, matanya membeliak, hampir saja Argo menabrak anak jalanan. Kalau kakinya kurang cepat injak rem, mungkin semua yang ada di mobil ini akan binasa. Argo memelambatkan kecepatan mobilnya kebetulan lampu merah menyala. Tangannya menarik rem tangan. “Papa tahu apa kesalahan Papa dirapat tadi?” Argo membuka obrolan. Amarahnya sudah di ubun-ubun, tidak peduli siapa yang sedang ditanya, Argo langsung saja menyerang papanya. “Tempatin Tyas bersama Genta?” tebak Papa dengan suaranya yang tenang. Ekspresi yang diberikan Papa juga tidak mencerminkan kalau tindakannya adalah suatu yang salah. “Papa kan tahu, Tyas istri Argo,” balas Argo, rahangnya masih mengeras, kemarahannya belum mengendur sama sekali. Malah giginya sekarang gemelutuk. Papa hanya tersenyum menatap Argo. Tampaknya Papa tahu apa yang terjadi dengan pernikahan anaknya ini. “Argo, kalau boleh, Papa bisa kasih kamu saran.” Argo mendengkus, melepas rem tangan, seolah tidak mau mendengar perkataan papanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD