12 ~ Bagian dari Puzzle

1065 Words
“Nina?” Aku terkejut mendengar suara itu. Dan lebih terkejut saat mendapati Frans yang keluar dari mobilnya, dan menatapku penasaran. Aku bahkan lupa jika kami bertemu di pesta tadi dengan Frans. Aku tersenyum paksa, berusaha untuk menyamarkan mataku yang pasti bengkak karena menangis semenjak pergi dari hotel itu. “Kenapa jalan sendirian udah malam gini, Ni? Ikut ke dalam aja yok!” Menatap mobil Frans yang terparkir di jalan, aku sesekali melirik ponselku. Ini sangat aneh, sejak tadi Harry tidak menjawab panggilan dariku. Padahal dia sudah mengatakan akan menjemputku. Aku sudah menunggu sejak 30 menit lalu sambil berjalan di tengah malam. “Gak usah, Frans. Aku dijemput kok!” Wajah Frans terlihat tidak setuju. Namun dia masih bisa tersenyum dan mengangguk. “Kalau gitu, aku temenin kamu nunggu dia. Masuk dulu, sepertinya mau hujan juga!” Kenapa aku tidak bisa menolak? Dan disinilah aku berakhir sekarang, di dalam mobil Frans dengan keadaan yang sedikit awkward. Tidak ada yang membuka percakapan. Aku hanya bisa sesekali memeriksa ponselku, dan Harry masih tidak ada kabar. Dan berusaha untuk mengalihkan wajahku ketika Frans ingin menatapku. Lelaki satu itu membuatku khawatir saat ini. “Teman kamu belum datang?” “hmm!” “Aku anterin kamu aja gimana, Ni? Ini udah lama kita nungguin, aku khawatir kalo temen kamu itu ternyata gak datang. Kamu kalo sendirian di jalan kayak gini bisa bahaya lo, Ni.” “Tapi…” “Aku yang bakal bilang sama teman kamu nanti. Arah rumah kamu masih sama, Ni?” Dia bahkan masih ingat jalan ke rumah—lebih tepatnya kontrakanku. Aku mengangguk, dan memilih untuk setuju dengan tawaran Frans. Karena sejujurnya, beberapa saat lalu, beberapa lelaki juga terlihat sedang mengikutiku. Jadi, aku memang takut jika lelaki itu akan berbuat hal yang tidak aku inginkan. “Ni…boleh aku tanya sesuatu gak?” Wajah Frans terlihat ragu. Begitu juga denganku. Aku tidak yakin bisa menjawab pertanyaan Frans nanti. “Ada apa?” “Emmm…itu, bukannya mau ikut campur urusan pribadi kamu. Tapi, apa kamu sama Rinaldy putus gara-gara aku?” Mataku melebar. Mendadak aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. “Kamu…itu…” Frans tersenyum pelan. Membuatku merasa tidak enak. Kesalahpahaman itu ternyata diketahui oleh Frans juga. Namun aku benar-benar sakit saat Rinaldy sama-sekali tidak bertanya. “Dan, dia juga sudah nikah? Tanpa ada penjelasan?” Mataku tiba-tiba berkaca-kaca. Rasa sakit itu mendadak terbesit kembali di benakku. Rasanya sangat sesak. “Kenapa kamu gak jelasin sendiri aja, Ni? Kamu tahu kalo Rinaldy sifatnya selalu tertutup, gue yakin kalo…” “Gue udah jelasin, Frans. Semuanya. Gue udah bilang kalo yang dia lihat gak sesuai sama yang dia pikirin. Tapi sama-sekali tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Itu sangat sakit, dia bahkan meninggalkanku tanpa berbaikan. Dia…bahkan nikah tanpa ada kabar.” Aku tidak bisa membendung air mataku. Sangat sakit, aku sesak, tidak bisa menerima jika Rinaldy sudah menjadi suami orang lain. Karena pada dasarnya, saat kembali dipertemukan dengannya, aku tidak bisa menghentikan rasa sukaku. Aku masih menyukainya. Berharap di pertemuan kami, kesalahpahaman itu akan terselesaikan. Tapi…yang terjadi malah hal yang jauh dari ekspetasiku. Dan tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. “Kalo gitu, gue yang bakal jelasin semuanya ke dia. Kamu harusnya harus tegar, Ni. Kalo lo gak mau kehilangan dia, gak seharusnya kamu lemah. Aku bakal menemui dia besok, dan…” “Frans, please!” Aku terisak. Benar tidak bisa lagi membendung rasa sakitnya. “Kamu gak perlu berkorban demi aku lagi. Jujur, bertemu denganmu kembali adalah sesuatu yang selalu membuat aku merasa berhutang. Andaikan saja dulu kamu gak ngorbanin uang kamu buat adik aku, kamu mungkin bisa lebih hebat dari…” “Nina!” Dekapan Frans membuatku sedikit tegang. Rasanya masih sangat sesak mengingat tahun-tahun itu. Bukannya aku tidak juga ingin meminta bantuan Rinaldy, dimana dia pasti akan memberikan apapun demi aku. Tapi, dia juga sedang berada di masa-masa kritisnya saat itu. Dan karena itulah aku memilih bantuan pada orang lain. Dan hal yang aku takutkan pun terjadi. Rinaldy marah besar. Dia…tidak pernah melihatku sebagaimana dia melihatku dulu. “Sttt…jangan nangis. Kamu cewek terkuat yang pernah aku temui. Tolong jangan mengingat masa itu lagi, Ni. Semuanya sudah berlalu, and see? Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, itu juga karena dukungan darimu. Tolong…jangan membuat hal yang tidak pernah aku sukai!” Aku tersenyum. Frans melepaskan pelukannya. Dan lekas melajukan mobil, yang mungkin sudah kena makian karena terlalu lama berhenti di lampu merah. “Sekarang, lo masih suka sama dia lagi, Ni?” “Aku…aku gak tahu!” Frans menghela nafas. “Sayang banget dia udah nikah. Lo tahu siapa cewek yang bikin dia mau nikah?” Entah. Aku juga tidak tahu, dan mungkin tidak mau tahu. Rasanya akan selalu sakit, karena aku yakin, wanita itu sangat hebat. Karena dia sangup untuk membuat Rinaldy menikah apapun alasannya. Karena Rinaldy itu berbeda. Selama kami menjalin hubungan, untuk berpegangan tangan, rasanya itu sangat sulit. Selain aku yang canggung, dia juga tipe lelaki yang sangat hormat pada lawan jenisnya. “Mungkin, lo harus mulai ngelupain dia. Gadis lain sudah memikat hatinya. Kalo lo butuh kerjaan, lo datang aja ke kantor gue. Dengan senang hati gue nerima lo. Kalo lo di sana, gue gak tahu apa yang akan dia lakukan padamu lagi. Tadi aja, gue hampir aja lepas kendali sama dia.” “Udah, Frans. Lagipula, aku sudah menandatangani kontrak bekerja di sana. Jika kontraknya usai, mungkin aku akan menginjakkan kaki di kantormu!” Frans tersenyum. “Lo…maksudku, kamu, kamu gadis yang kuat, Ni. Pertahankan hal itu terus, jangan pernah membuatnya lepas darimu. Mungkin ada lelaki yang lebih baik sedang menunggu kamu. Kalo ada apa-apa, tolong kabari aku, Ni. As always, aku bakal lakuin yang terbaik!” Sebelum turun. Aku berdiam diri di dalam mobil Frans lebih dulu. “Makasih, Frans. Aku sangat berhutang budi padamu!” “That’s fine, jangan lupa senyum, Ni! Btw, besok kamu pulang kerja jam berapa? Kalo aku senggan, biar aku jemput, sekalian kita ngobrol-ngobrol. Sudah lama gak ketemuan soalnya!” “Kalo gak ada jadwal  penting, besok aku bakal ngabarin kamu. Aku turun dulu ya, makasih buat saran, dan semua yang kamu lakuin buat aku!” Frans tersenyum tulus. Sangat tulus, hingga aku merasa tidak enak hati untuk terus seperti itu padanya. Keluar dari mobil, aku lekas memasuki kontrakan kecilku. Berharap malam ini aku bisa tidur sebentar.  Mungkin, apa yang terjadi hari ini adalah salah satu kepingan puzzle yang harus ada di dalam hidupku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD