Nina POV
“Rinaldy?”
Aku begitu terkejut mendapati Rinaldy dan juga Abian yang berdiri tepat di depan pintu lift sebelum memasuki aula. Wajah Rinaldy begitu dingin, dia sepertinya tengah menahan amarah di wajahnya.
Kami sempat bersitatap selama beberapa detik, sebelum Abian menyita perhatian Rinaldy, dan juga Aku.
Wajah lelaki kecil itu terlihat tidak baik-baik saja. Dia sepertinya baru menangis keras, bahkan tidak berani untuk menatap wajahku. Rasanya ada yang aneh ketika lelaki kecil itu mengabaikanku.
“Frans!” suara Rinaldy sangat datar, sungguh berbanding terbalik dengan Frans yang menyambut Rinaldy dengan ceria.
“Kamu apa kabar? Udah lama gak ketemu, dia…putramu?”
Frans menatapku, dan juga Rinaldy beberapa saat. Aku tahu maksud dari tatapan itu, Frans ingin tahu apakah itu benar anak Rinaldy atau tidak.
“Ya, dia putraku. Kenapa?”
“Ah…tidak ada, rasanya seperti ada yang salah saja. Ahh…aku akan pergi lebih dulu, kelihatannya kau sedang buru-buru!”
“Ya. Aku memang sedang buru-buru!”
Rasanya sangat canggung. Aku bahkan tidak berani untuk menatap Rinaldy lagi. Sengaja, karena aku tahu jika bulu kudukku akan berdiri jika dia menatapku datar. Aku sungguh tidak bisa mengabaikannya, sekalipun aku sudah berulang kali mencobanya.
“Mari nona, Tuan sudah menunggu Anda. Acaranya juga akan segera di mulai!”
Aku bernafas legah. Setidaknya ada seseorang yang menyelamatkanku dari situasi super canggung itu. Dengan segera, aku melangkah pergi, bersama dengan Frans.
“Mama…ayah, mama!”
Suara isakan itu sempat menghentikan langkahku. Sengaja berbalik, dan menatap Abian yang mengulurkan tangannya ke arahku. Sayangnya, mereka lebih dulu menghilang. Aku pikir Rinaldy sudah memasuki lift.
Frans mungkin menyadari sesuatu yang salah, aku bisa tahu dari tatapan penuh keraguan darinya. Namun aku memilih untuk pergi dulu.
Acara pernikahan berlangsung dengan baik, juga meriah. Dan menjadi bridesmaid tidak seburuk yang aku pikirkan. Dress yang aku kenakan tidak terlalu berbeda jauh dengan dress yang bridesmaid lainnya. Mereka juga ramah saat menyambutku, dan berterima kasih.
***
Acara nikah sudah memasuki puncak, dan disinilah kami bertugas. Aku sudah mengganti dressku dengan pakaian training seperti yang Elsa, Kana, dan staf lain kenakan. Kami bahkan sudah memeriksa setiap sudut, dan memastikan jika semua berjalan sesuai dengan rencana.
“Eh, kamu ganti baju, Ni?”
Suara yang begitu khas. Aku menatap ke arah samping, dan mataku bertemu dengan Frans.
“Ya!”
“Kamu, kerja di WO siapa?”
Menghela nafas. Aku berusaha untuk tidak terbawa suasana. Dan bertekad, jika pertemuan kami kali ini hanyalah ketidak sengajaan. Dan besok mungkin kami tidak akan bertemu lagi. Aku menjamin akan hal itu.
“WO Rinaldy!”
“Wah…dia sekarang punya WO? Aku tidak tahu jika dia sudah memiliki bisnis sesukses sekarang ini.” Frans tertawa lebar, “tapi, rasanya ada yang aneh dengan kalian berdua. Tatapan kalian tadi menunjukkan jika kalian tidak saling kenal. Juga…apa anak kecil tadi memang putra Rinaldy?”
Rasanya sesak memang. Tapi aku sudah menduga pertanyaan itu tadi. Beberapa gadis yang menghadiri pesta terlihat menatap ke arah kami—tepatnya ke arah Frans diam-diam, bahkan ada yang terang-terangan. Aku merasa sedikit tidak nyaman.
“Kami…”
“Apa aku memperkerjakanmu untuk berbicara seperti ini?”
Deg—suara itu. Dengan segera aku berbalik dan mendapati Rinaldy, tanpa Abian, berdiri tepat di depanku dan juga Frans. Wajahnya masih sangat datar. Aku sedikit takut dengan wajah itu. Dia tidak seperti 2 hari lalu. Saat pagi hari itu, kami tidak sengaja melakukan skinship yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Sejujurnya, aku bahkan masih sangat enggan untuk bertemu dengannya. Namun, aku harus profesional, karena yang aku lakukan adalah sebuah pekerjaan. Dan yang terjadi pagi itu, adalah sebuah kesalahan teknis.
Ya benar, itu adalah kesalahan teknis.
“Apa sekarang kau juga tidak bisa mendengar, hah?”
Mendengar bentakan itu. Mendadak aku kembali tersadar dari angan ku tadi. Raut wajah Rinaldy semakin terlihat mengerikan. Dia bersikap seolah siap untuk menerkam ku hidup-hidup.
“Ma…maaf pak!” Aku menunduk, tidak berani menatapnya.
“Apa kau tidak punya etika juga? Sudah tidak profesional, kau juga tidak punya harga diri. Apa kau tidak sadar jika kau hanya membuang-buang waktu saja? Apa kau tidak melihat temanmu bekerja di sana, dan kau malah enak-enak mengobrok di sini. Ah…aku lupa, bukankah pekerjaanmu memang selalu begitu?”
Wajahku entah kenapa memanas mendengar makian itu. Sungguh, aku tidak pernah selemah ini. Tanganku terkepal, berusaha untuk mengalihkan air mata yang siap untuk keluar.
“Aldy, aku yang ngajak dia ngomong. Seharusnya kamu kalo gak suka langsung bilang, gak mesti mempermalukan dia di depan umum seperti ini.” Frans angkat bicara.
Dengkusan Rinaldy terdengar, aku memberanikan diri untuk menatap mata tajamnya.
“Sekarang gue tanya. Dia pegawai lo atau bukan, kalo bukan, tolong jangan mempermainkan orang lain.”
“Maaf pak, itu bukan salah Frans. Aku yang salah, maaf, saya segera pergi!”
Suaraku bahkan bergetar. Dan mungkin mataku yang berkaca-kaca terlihat jelas. Entah kenapa aku selalu saja seperti ini.
Elsa yang tidak jauh lekas menarik tanganku. Dia membawaku ke dalam ruangan yang tidak jauh.
Elsa tidak bertanya, dia hanya membawaku ke dalam pelukannya. Dan bersamaan dengan pertahananku yang runtuh sudah. Aku tidak bisa menahan derai air mata yang keluar dari pelupuk mataku. Rasanya sesak, juga sakit ketika Rinaldy mempermalukanku di depan umum.
Padahal terlihat jelas jika kesalahan yang aku perbuat hanya sedikit.
“Stttt…don’t cry, Nina. Kamu gadis yang kuat, okay?”
“Tapi El…sesak, rasanya sakit. Aku…”
Dekapan Elsa semakin erat, dia mengelus punggungku erat. Beberapa menit berlalu, aku mulai bisa mengendalikan diriku.
“Nih…lap dulu air mata kamu, nanti pak bos makin marah kalo lihat kamu nangis!”
Aku menerima tissue itu, dan menghapus jejak air mataku. Rasanya entah kenapa masih selalu saja sesak sampai detik ini. Padahal dulu, ketika hubungan kami masih baik-baik saja, Rinaldy selalu mengatakan jika dia tidak akan pernah membiarkan seorang pun mempermalukanku di depan umum.
Nyatanya, dia sendiri yang membuatku malu di depan orang banyak.
“Ini, minum dulu, tarik nafas pelan-pelan.”
Elsa begitu baik. Aku menatapnya dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Entah kenapa, perasaan nyaman yang diberikan Elsa mampu menarik sifat cengeng yang selalu aku kubur dalam-dalam.
“Feel better?”
Aku mengangguk. Rasanya memang jauh lebih baik setelah minum.
“Kita kerja lagi aja dulu, ntar usai kerja, kamu bisa nginap di rumah aku. Kalo kamu butuh teman, gapapa Ni, bilang aja, okay?”
Kami berdua kembali keluar. Mataku berkeliling dan mencoba mencari dimana Rinaldy, dan juga Frans. Tapi tidak ada seorangpun di sana. Aku dan Elsa kembali berkeliling dan memastikan semua fasilitas yang tersedia memadai.
Juga membantu beberapa staf lapangan lain yang kesulitan. Seperti membagikan souvenir.
4 jam berlalu dengan cepat. Aku sedikit kelelahan usai membagikan souvenir yang terakhir. Para tamu sudah menghilang dalam sekejap ditelan detak jarum jam yang terus berjalan. Staf yang lain terlihat ada yang tepar di kursi.
“Gila, badan gue encok semua. Sepertinya gue gak usah balik aja deh ke rumah, capek banget, gak kuat!”
Suara Jefri terdengar. Orang tua itu duduk di depan Elsa dengan kursi goyangnya.
“Lo harusnya pulang dong, Jef. Kan ada bini lo yang mijet badan lo ntar!” Elsa ikut nimbrung.
Melihat mereka yang mulai berkumpul, aku juga ikutan berkumpul. Setidaknya untuk menghilangkan rasa sesak yang masih terngiang-ngiang di benakku.
“Nyatanya, hidup tidak seindah drama korea. Habis kerja gini, gua harus nyuci sama nyapu rumah lagi. Capek bener memang kalo punya istri yang kerja!”
Elsa, Kana, dan juga Juan terkekeh melihat penderitaan Jefri. Termasuk aku, wajah Jefri terlihat paling mengenaskan saat mengatakan hal tadi.
“Makanya, kalo lo milih istri yang pekerja, lo harus siap bang, sama apapun konsekuensinya. Kalo lo milih istri yang gak punya pekerjaan,ya lo juga siap kalo yang jadi tulang punggu keluarga cuman lo bang. Semua pilihan ada baik buruknya. Jadi gak usah ngeluh. Lagipula, rumah tangga itu adalah wadah bang. Istri itu juga bukan pembantu, mereka itu gak wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Kalo istri lo dah masak, ya wajarlah lo yang nyuci. Bukan begitu, teman-temanku sekalian?”
Entah kenapa, kali ini Zane—bagian keuangan yang entah darimana ikut nimbrung membuat kami semua tertawa.
“Lah, kok ketawa sih? Kan gue benar, iya kan bang?” wajah Zane minta di diberi dukungan.
“Iya, benar banget. Tapi aneh aja kalo lo yang ngomong, Zane. Secara lo belum ngerasain apa yang gue rasain!” Jefri keukeuh untuk mengeluh.
“Udah ah, Zane bener kok.” Bela Kana.
“Ngomong-ngomong, semuanya udah beres kan di dalam? Makanan sisanya masih ada gak?” Elsa bertanya pada staf yang bertanggung jawab menangani masalah makanan.
“Udah mbak. Tadi yang lebih, udah kami kasih ke ibu-ibu komplek. Mereka senang banget dapat makanan banyak, mewah, gratis juga!”
Lagi-lagi kami tertawa mendengar suara itu.
“Ya sudah, karena sekarang sudah malam. Badan juga encok semua, kita balek ke rumah masing-masing aja. Ada yang lihat pak bos gak? Perasaan dari tadi gak nongol gitu!”
“Pak Rinaldy lagi di dalam, El. Tadi ngomong-ngomong sama pak Wiryo sama yang lainnya. Mungkin lagi cairin dananya kali, biar awal bulan bisa gajian plus dapat bonus!” Alis Jane, lelaki berkaca mata itu naik turun.
“Mau gue tabok, tapi benar juga. Udah ah, gue pamit duluan ya. Kalo ada yang mau nebeng, sorry gak bisa, gue bawa sepeda soalnya!”
Lagi-lagi Zane membuat kami tertawa. Dan ternyata benar saja, dia mengambil sepedanya dari parkiran.
“Gue pikir lo boongan, Zane. Udah mau gue tampol pala lo tadi!” Elsa tertawa keras.
“Ya kali, El. Tapi kalo lo mau numpang di kehidupan gue, bisa-bisa aja kok!”
“Cieee!” semua kontak menggoda Elsa yang memasang wajah datar, dan Zane yang menggoda.
“Dasar lo, buaya darat!”
Zane tertawa. Sekilas dia menatapku, raut wajahnya langsung kembali biasa, bahkan terkesan mengasihani. Aku tidak suka tatapan itu.
“Lu kuat kok, Ni. Gue pergi dulu ya, bye!”
“Gue juga, lo pasti bisa Ni!” bisik Kana, yang sudah pergi dengan Juan lebih dulu.
Sekarang tinggal Jefri dan juga Elsa, mereka berdua saling menatap. Lagi, andaikan mereka tidak mengucapkan hal konyol itu, mungkin aku tidak akan kembali mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu.
Sayangnya, mereka terlalu bersemangat untuk mengingatkan kembali hal itu.
“Jadi nginap di rumah aku gak, Ni?”
Aku tersenyum. Dan menggeleng.
“Gak usah El, makasih udah di tawarin. Tapi aku ada janji sama Harry malam ini. Aku juga mau kerumah sakit!”
“Rumah sakit? Lo lagi sakit, Ni?” Suara Jefri terlalu keras, dia bahkan tidak bisa mengontrol raut wajah terkejutnya.
“Bukan, tapi seseorang yang penting lagi di rawat di sana. Gue duluan ya, itu Harry udah datang!”
Tanpa menunggu jawaban. Aku segera berlari kecil menuju jalanan. Aku bahkan sengaja mempercepat langkahku. Semua itu tidak akan terjadi, jika aku tidak sengaja menatap wajah Rinaldy yang terlihat berjalan ke arah parkiran.
Aku masih tidak siap untuk menerima kenyataan jika kami bukan lagi yang dulu. Aku sadar, jika dia pasti akan selalu membenciku. Apapun yang terjadi, dia pasti akan menganggapku sebagai parasit.