4 ~ Aku juga...sakit!

1086 Words
“Ni…” Nina yang tengah sibuk menghitung hasil penjualan hari ini menatap wajah Harry yang…panik. Masih diam di tempat duduknya, Nina mengerutkan keningnya, menunggu Harry menyelesaikan kata-katanya. “Adik kamu, tadi…tadi aku menerima panggilan dari rumah sakit!” Mendengar kata-kata adiknya, Nina lekas bangkit berdiri. Menatap Harry dengan wajah yang juga panik. “Kenapa, Ry? Adik aku…gimana?” “Dia koma lagi, pas bangun tadi sore, adik kamu tiba-tiba jatuh!” Kepala Nina mendadak pusing, dia hampir saja terjatuh. Beruntung Harry menangkap tanganya. Wajah Nina semakin pucat, matanya berkaca-kaca. “Dia gimana?” “Kita ke rumah sakit sekarang, aku ikut!” Nina menggeleng. “Lebih baik kamu di sini aja, ntar ada apa-apa lagi, aku bisa sendiri kok. Lihat tuh, pelanggąn kamu masih banyak. Aku pinjam motor kamu ya!” “Tapi Ni….” Harry menatap punggung Nina yang sudah menghilang dibalik pintu. Gadis itu hanya mengambil ponselnya. Menghela nafas, Harry lekas beranjak untuk lekas melayani beberapa pelanggąn yang sudah menunggunya. Nina ngebut. Lampu-lampu malam sedikit membantu penglihatan Nina. Gadis itu memarkirkan motornya begitu tiba di rumah sakit. Berlari kalang-kabut, bahkan beberapa kali menabrak orang-orang yang masih berlalu lalang di luar rumah sakit. “Sus…” “Nina, adik kamu di ruangan kamar 14. Ke sana aja nak!” Saking seringnya Nina ke sana, beberapa suster bahkan sudah mengenalnya. Nina berterima kasih dan lekas berlari lagi, langkahnya hampir saja gontai, tapi dia tetap berlari. Langkah Nina berhenti di ruangan 14, tempat adiknya di rawat. Air mata sudah membanjiri wajah Nina sejak tadi, gadis itu menatap ke balik pintu. Tepat dimana adiknya kini tengah terbaring tidak sadarkan diri. Seorang dokter keluar dari sana begitu melihat keberadaan Nina. “Kau sudah tiba. Ada yang ingin aku katakan padamu, nak!” “Bagaimana keadaan adik saja, dok?” Menghela nafas, dokter itu menatap lurus pada Nina yang terlihat mengenaskan. Wajahnya pucat, dan dibanjiri dengan air mata. Dia terlihat lesu. Dokter itu menatap ke arah ruangan, lalu kembali menatap Nina. “Aku sudah mendapatkan donor, seseorang baru saja kecelakaan. Dan dia mendonorkan jantungnya, untuk siapapun. Kebetulan karena aku yang menanganinya, aku menemukan kesamaan di antara keduanya. Keadaan Lia—adikmu, makin kritis nak. Jika hanya obat saja, dia tidak akan bisa bertahan lebih dari 1 minggu. Jadi kau harus menentukan pilihan sekarang!” Tangan Nina terkepal. “Biayanya berapa besar, dok?” “Kau bisa berbicara dengan suster Teresa nanti, sementara ini lihat dulu keadaan adik kamu, saya pamit dulu!” Langkah Nina ragu. Dia tidak yakin apakah harus masuk atau tidak, tapi ia harus. Menatap Lia yang berbaring di atas ranjang, membuat hati Nina rasanya seperti di iris. Dia tidak bisa tahan jika harus berhadapan dengan keadaan adiknya. Satu-satunya keluarga yang ia punya. “Sakit ya!” bisik Nina, mengambil tangan Lia yang dimasuki jarum. Mata Nina memerah, berusaha untuk menahan air matanya. Rasanya SESAK. Nina tidak tahu lagi harus berkata apa-apa, semua impian Lia hancur. Sekolah, karir, dan juga dia yang dulu begitu sempurna. Hampir menyerah, Lia beberapa kali membujuknya untuk mengeluarkannya dari rumah sakit. Tapi…apa Nina tega melihat di tengah malam Lia terus menangis karena kesakitan? Tidak bisa, Nina juga sakit melihat itu. Nina melakukan apapun. Dia rela bekerja apapun demi bisa membiayai biaya perobatan Lia. Karena Lia tidak ingin ditinggal, dia tidak ingin hidup sendiri. Rasanya begitu sakit. “Maaf, Lia. Kakak belum bisa buatin kamu sehat kayak dulu, kakak juga ditolak kerja lagi. Maafin kakak….” Buru-buru Nina memasuki kamar mandi karena tak kuasa dengan air matanya yang kian menggunung. Isak tangisnya pecah, rasanya benar-benar sakit, Nina tidak bisa melihat keadaan Lia. Tubuhnya mengurus, rambutnya sudah tidak lagi ada, dan wajahnya tidak lagi seperti dulu. Lia…juga kesakitan. *** Rinaldy diam, tatapannya lurus dan menatap sosok wanita paruh baya yang ada di atas ranjang. “Aku akan pergi jika tidak ada yang ingin dibicara…” “ALDY!” Bentak Anna, wanita berusia 63 tahun itu menatap satu-satunya putranya yang benar-benar membuatnya selalu marah. Lelaki yang tengah menyandarkan punggungnya ke tembok itu memutar bola matanya malas. Sesekali melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan malam hari. Pikiran Rinaldy kini tertuju pada Abian, putranya itu pasti akan marah lagi karena dia telat. “Ma…Abian pasti lagi nyariin aku. Ini juga udah larut, aku pulang ya!” Anna menatap Rinaldy tidak percaya. Dia di rawat di rumah sakit sejak tadi pagi karena penyakitnya kambuh lagi. Tapi Rinaldy sama-sekali tidak ingin melihatnya, tanpa dia yang memaksa. Sungguh putra yang tidak berakhlak. “Apa kamu tidak bisa tinggal lebih lama lagi, nak? Setidaknya tunggu sampai ayahmu…” Klik. Pintu ruangan VIP tempat Anna dirawat terbuka. Sosok lelaki dengan jas putih meletak di tubuhnya menatap Rinaldy dan juga Anna bergantian. “Kenapa menatapku seperti itu?” Jhon meletakkan jasnya, dan mencium kening Anna. “Lihat putramu itu, dia sejak tadi mendesak ingin pulang. Sungguh anak yang tidak tahu diri!” kesal Anna. Jhon hanya tertawa. Istrinya dan juga putranya itu memang selalu saja begini, tidak pernah akur jika sudah bertemu. “Ayah, aku pulang dulu ya. Abian pasti kesepian, aku sudah berjanji untuk menemaninya malam ini. Aku juga masih ada pekerjaan kantor yang harus aku selesaikan, lagian mama sudah sadar, pamit dulu ya!” Rinaldy lekas kabur, bahkan tanpa mendengar omelan dari Anna lagi. Jhon hanya bisa mengelus d**a sabar, dan menatap pintu yang sudah tertutup. “Mas….” “Sudah sayang, biarkan saja dia. Rinaldy mungkin lagi banyak pekerjaan hari ini, dia juga punya dunia sendiri. Lagipula masih ada aku, tidak perlu khawatir. Aku bisa melindungimu!” “Selalu saja seperti itu!” Walau sedikit kecewa, Anna akhirnya memilih tertawa saat Jhon lekas duduk di sebelahnya. Rinaldy sesekali menatap jam tangannya. Dia sudah menunggu pintu lift beberapa menit, tapi tak kunjung juga terbuka. Ting Namun saat terbuka, Rinaldy terkejut mendapatkan sosok gadis yang kini tengah melamun, dan menatap ke arah samping. Sama-sekali tidak menyadari keberadaannya. Namun Rinaldy sempat memperhatikan jika gadis itu seperti baru menangis. Rinaldy ragu. Haruskah ia masuk, atau tidak. Tapi melihat tidak ada lagi alternatif lain, Rinaldy akhirnya memilih untuk masuk. Hening. Sama-sekali tidak ada percakapan, dan Nina, gadis yang ia temui di dalam lift itu juga masih tetap diam, dan tidak sadar dengan keberadaannya. Sekuat tenaga, Rinaldy berusaha untuk tidak peduli. Bahkan sampai pintu lift terbuka di lantai dasar, gadis itu juga tidak kunjung sadar mengenainya. Tatapan Rinaldy tertuju pada Nina yang mengambil motornya di parkiran, dan ia jelas melihat air mata gadis itu yang mengalir sembari membawa motornya pergi. Satu hal yang kini Rinaldy pertanyakan. “Kenapa gadis itu ada di rumah sakit juga?” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD