Tiga ketukan terdengar, sehingga Pak Prabu yang sedang mengajar cara menggambar prespektif merasa terganggu. Pria itu menghampiri pintu lalu tampak gugup.
"Eh, ya selamat siang, Pak?"
Pak Prabu mendengarkan kata-kata orang yang berdiri di balik pintu itu lalu mengangguk.
"Baik, Pak."
Guru kesenian itu mempersilakan orang tersebut masuk dalam kelas. Semua murid terkejut, karena yang masuk ke dalam kelas adalah seorang polisi dengan pangkat perwira, yaitu Ipda Yudha. Mau apa polisi ke sini?
Igo memicingan matanya, Ipda Yudha adalah bawahan dari induk semangya Kombespol Adam. Karena pekerjaannya sebagai "Informan," kantor polisi sudah menjadi lapangan bermain bagi Igo, sehingga dia cukup mengenal para polisi di sana.
"Selamat pagi, Adik-Adik, maaf mengganggu kegiatan belajar kalian. Nama Saya Ipda Yudha dari Reskrimum Polda Jatim. Saya ingin mengabarkan berita duka kepada Adik-Adik sekalian. Salah satu kakak kelas kalian yang bernama Wati telah ditemukan tewas pagi ini pukul enam pagi. Diduga penyebabnya adalah karena pembunuhan."
Seluruh anggota kelas tertegun. Banyak yang kaget dan tak percaya mendengar kata-kata Yudha itu. Ada anak SMA F yang meninggal? Karena dibunuh pula. Kelas mulai gaduh, beberapa anak tampak berbisik-bisik.
"Wati menggenggam barang bukti berupa sebuah pin bintang yang dimiliki oleh seluruh siswa di sekolah ini. Pada pin bintang tersebut terdapat dua sidik jari yaitu sidik jari korban dan 'diduga' sidik jari pelaku. Maka dari itu kedatangan saya kali ini adalah untuk mengambil sampel sidik jari seluruh siswa di sekolah ini."
Seluruh anggota kelas X IPA 5 pun riuh mendengar kata-kata Yudha itu. Yudha memberi instruksi pada semuanya untuk tenang.
"Saya harap adik-adik tetap tenang! Sidik jari ini hanya 'diduga' sebagai sidik jari pelaku. Bisa saja sidik jari milik orang lain, tetapi sesuai prosedur kami berharap bisa mendapatkan sidik jari dari seluruh siswa di sekolah ini. Karena itu, adik-adik dapat berkumpul di aula untuk memberikan sampel sidik jari adik-adik pada petugas labkrim kami yang sudah ada di sana. Terima kasih banyak atas kerja samanya, saya permisi dulu."
Yudha pun meninggalkan ruang kelas X IPA 5. Anak-anak kelas X IPA 5 kembali riuh. Pak Prabu pun tampak ketakutan.
"Nah, anak-anak kalian sudah mendengarkan penjelasan Pak Polisi tadi? Kalau begitu silakan kalian pergi ke Aula," kata Pak Prabu dengan tergagap dan gemetar.
Seluruh siswa keluar dari kelas sambil berbisik-bisik, penuh dengan rasa takut dan juga curiga. Di Aula semua murid berkumpul, mengantri untuk memberikan sampel sidik jari mereka sehingga ruangan menjadi sesak.
Igo bersedekap untuk melindungi tangannya. Sebenarnya dia sangat membenci keramaian semacam ini. Tenaganya bisa terkuras habis jika dia tidak sengaja menggunaan kekuatannya.
Beberapa orang menyebutnya sebagai ESP, Extra Sensory Perception atau lebih dikenal dengan sebutan indra keenam. Kekuatan Igo adalah retrocogniton, yaitu kemampuan memperoleh informasi berupa masa lalu dari obyek yang disentuhnya.
Kekuatan ini diperolehnya sejak ibunya meninggal. Kekuatan yang membuatnya menjadi informan bagi kepolisian Polda Jatim. Beberapa anak berbisik-bisik dan mulai menjabarkan dugaan-dugaan sebenarnya tentang si pelaku yang kemungkinan membunuh Wati.
"Kok bisa ada pembunuhan di sekolah kita sih ... Ngeri banget?" kata Elli sambil bergidik.
"Keren, kan? Kayak dicerita-cerita detektif," seru Shita yang langsung dibalas "Huu...," oleh teman-temannya.
"Kalau kamu jadi korban selanjutnya baru keren!" olok Citra sambil mengetok kepala Shita.
"Kalau seandainya pelakunya memang ada di antara kita, menurutmu siapa, Go?" tanya Yusuf.
"Sudah jelas, kan? Pemilik pin bintang itu yang sidik jarinya ada di pin itu? Wati menggenggam pin itu soalnya dia yakin benda itu bisa jadi pesan kematian, kan?" jawab Igo diplomatis.
"Tapi bisa saja pin itu sengaja diletakkan si pelaku dalam genggaman tangan Wati untuk mengkambing hitamkan seseorang." Yusuf beragumen.
"Aku setuju dengan Yusuf!" Shita tiba-tiba bergabung dalam obrolan dua cowok itu. "Soalnya kasusnya jadi terlalu mudah kalau begitu, kalau di novel detektif yang biasa k****a sih begitu," lanjut Shita.
"Kamu kebanyakan baca buku-buku aneh!" olok Igo.
"Kalau menurutmu gimana, Tor?" tanya Yusuf pada Tora.
"Hm ... nggak tahu juga ya, tapi ngomong-ngomong aku baru sadar nih kalau pin bintangku hilang. Kalau kena tatib bisa gawat," Tora meraba dadanya. Pin bintang yang biasanya ada di d**a kirinya, sekarang pergi entah ke mana.
"Jangan-jangan kamu pelakunya!" tuduh Bambang si cowok culun dengan rambut klimis dan gigi tongos. Dia adalah cowok paling pintar di kelas yang biasa dipanggil Cucu Einstein yang telah memenangkan olimpiade Matematika dan Fisika.
"Kok tahu sih, Mbang!" kata Tora sambil nyengir dengan maksud bercanda tentunya.
"Huh! Tentu saja aku tahu, cowok-cowok seperti kalian bertiga yang hobinya main, berantem, dan nonton film p***o sudah pasti jadi tersangka utama!" Bambang mengolok-olok dan menanggapi dengan serius.
Tora memicingkan matanya pada Bambang dengan penuh amarah. Dia kemudian berbisik kepada kedua sahabatnya Yusuf dan Igo.
"Bagaimana menurut kalian kalau dia kujadikan korban kedua?"
"Boleh-boleh akan kubantu! Dari dulu aku juga sudah sebel melihat gayanya yang sok!" Igo setuju.
"Pulang sekolah nanti kita seret terus kita hajar dia!" usul Yusuf. Ketiga cowok itu berfantasi liar untuk menghajar dan menyiksa Bambang sambil berbisik-bisik.
Si anak baru, Haru berdiri dalam jarak dua meter dari trio Igo. Entah mengapa emosi Igo rasanya mudah tersulut hanya karena menatap mata teman sebangkunya itu. Igo kemudian berbisik-bisik pada ketiga temannya.
"Lihat anak baru itu! Dia juga patut dicurigai!" kata Igo.
Yusuf mengalihkan padangannya pada si anak baru sambil mengerutan kening. "Ah, nggak mungkinlah, Go. Dia, kan baru pindah. Malah dia mungkin nggak kenal sama si Wati," elak Yusuf.
"Lho, biasanya ada, kan di film-film detektif, pembunuhan acak tanpa motif karena pelakunya seorang psikopat?" Igo masih mengotot.
"Bukannya yang lebih mencurigakan itu kamu, Igo Casanova? Mungkin kamu membunuhnya untuk mencuri uangnya."
Igo tertegun mendengar suara itu. Dia menoleh ke belakang dan terkejut karena Si Anak baru itu bersedekap dan menatapnya dengan sinis. Rupanya anak ini punya telinga yang cukup tajam untuk mendengar pembicaraan trio Igo. Tunggu dulu, bukankah mereka belum berkenalan? Dari mana cowok itu tahu nama lengkap Igo? Mungkinkah dia mendengar dari yang lain?
Tora dan Yusuf memandang kedua cowok itu bergantian. Keduanya pun paham bahwa Igo dan Haru sepertinya memiliki semacam dendam pribadi. Kalau di film kartun mungkin akan ada semacam sinar laser yang memancar dari mata keduanya.
Jauh di depan mereka, Shita dan Wulan mengobrol dengan seru di tengah antrian. "Menurutmu siapa pelakunya?" tanya Shita pada Wulan. Wulan menggeleng dan mengangkat bahu sebagai jawaban, dia memang tidak punya bayangan siapa pelaku sebenarnya kasus kali ini.
"Selanjutnya, silahkan!" seru Dokter Sasa sang petugas forensik dari labkrim Polda Jatim. Shita yang telah mengenal baik Dokter Sasa, segera menyapa rekan kerja ayahnya itu.
"Apa kabar Dokter!" sapa Shita.
"Hai, baik. Kalian sendiri gimana? Aku sudah dengan cerita tentang kalian lho. Kalian yang menangkap pelaku p*******a kemarin, kan? Kalian keren banget!" puji Dokter Sasa pada Shita dan Wulan ramah.
Shita dan Wulan hanya tersenyum kecil. Beberapa saat yang lalu mereka memang sempat berhasil menangkap pelaku p*******a dan pemeras di Surabaya.
"Aku dengar Shita menghajar kelima tersangka seorang diri ya!"
Shita menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Entah harus senang atau sedih jika seorang cewek manis seperti dia mampu menghajar lima orang pemuda sendirian.
"Aku hanya meluapkan emosi," dalih Shita. Bagaimanapun salah seorang sahabatnya telah menjadi korban para p*******a itu hingga akhirnya bunuh diri. Shita dan Dokter Sasa masih mengobrol sampai tidak sadar bahwa antrian sudah panjang.
Dari kejauhan Ipda Yudha diam. Matanya menatap lurus ke arah Wulan sambil bergumam lirih. "Kamu sudah besar sekarang ... Wulan...."
***