Setelah selesai memberikan sampel sidik jari pada petugas labkrim di aula, rombongan Wulan, Shita, Arina, Citra dan Elli kembali ke kelas.
"Semoga saja pembunuhnya cepat tertangkap ya. Ngeri banget membayangkan ada pembunuh yang berkeliaran di sekolah kita," kata Arina ketakutan.
"Ya." Citra mengangguk setuju.
Elli melirik ke belakang. Sekitar lima meter dari tempat mereka ada Haru, Si anak baru yang super cakep. Elli tersenyum lalu berbisik pada Shita.
"s**t, jodohmu ada di belakang tuh!"
Shita, Arina, Citra dan Wulan spontan menengok ke belakang. Arina, Citra dan Elli kompak cekikkan. Shita jadi malu.
"Kalian ini! Sudah kubilang, kan, itu kebetulan!" dengus Shita kesal.
"Kebetulan gimana, ini pasti ramalan dari Cyber Daisy yang sudah menjadi kenyataan! Buktinya sekarang dia pindah ke sekolah ini, terus sekelas lagi sama kamu! Jangan-jangan dia sengaja pindah buat deketin kamu," tutur Elli sambil berkedip-kedip dengan centil.
"Kamu ini terlalu banyak nonton sinetron!" Shita menggerutu tapi pipinya merona.
Wulan diam dan memandang keempat cewek itu dengan bingung. Dia mengeluarkan notesnya, menulis kalimat di sana lalu memperlihatkannya pada keempat temannya.
Ramalan dari Cyber Daisy?
"Oh iya, Lan, kamu belum tahu, ya? Gini nih, ceritanya kemarin nggak sengaja ketemu di DTC, terus kita main wifi gitu, buka akunya Cyber Daisy peramal yang terkenal dunia maya itu!" jelas Arina.
Wulan mengangguk. Citra melanjutkan cerita Arina. "Terus kita tanya deh tentang pangeran impian Shita, Cyber Daisy bilang, Shita bakal bertabrakan sama jodohnya di depan DTC jam sepuluh lebih lima menit!"
"Dan coba tebak siapa yang ditabrak Shita? Anak baru itu! Menurutmu apa namanya?" tanya Elli.
Wulan menuliskan satu kata pada notesnya dan menunjukannya pada keempat cewek itu.
JODOH
"Tuh, kan! Shita dibilangin nggak percayaan banget deh!" goda Elli.
"Aduh! Itu kan Cuma kebetulan! Kamu kok ikutan sih, Lan!" Shita cemberut karena berharap Wulan membelanya. Wulan hanya tersenyum.
"Ah! Kamu sebenarnya pura-pura nggak percaya, kan? Padahal malu, kan?" desak Elli.
Muka Shita semakin merah seperti udang rebus. Dia berteriak dengan suara lantang. "NGGAK! Aku nggak percaya!" Lalu berlari meninggalkan keempat temannya itu.
"s**t! Nggak usah malu-malu, s**t!"
Arina, Citra dan Elli berlari mengejar Shita sementara Wulan hanya tersenyum melihat tingkah empat remaja itu. Kalau ramalan itu adalah ramalan dari Cyber Daisy, Wulan memang tidak mungkin meragukannya lagi. Daisy adalah sahabat Wulan di dunia maya. Orang yang sama-sama memiliki kekuatan seperti Wulan. Wulan tahu firasat Daisy tidak pernah salah.
"Hei kamu, cewek rambut pendek."
Wulan menoleh saat mendengar panggilan itu, dia melihat Haru yang berdiri di belakangnya sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku. Wulan mengerjap-ngerjap bingung lalu menoleh ke sekeliling.
Teman-temannya yang lain sudah pergi dan hanya tinggal mereka berdua saja di lorong itu. Wulan menunjuk dirinya sendiri untuk mastikan anak baru itu memang sedang bicara padanya.
"Di sini ada siapa lagi?" tanya Haru
Wulan mengangguk mengerti. Memang hanya ada mereka berdua di lorong itu.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur, apa kamu bisa melihat masa depan?"
Wulan terperangah mendengar ucapan Haru itu. Apa maksudnya? Bagaimana orang ini bisa tahu?
"Ya, ampun! Wulan ketinggalan! Ayo, Lan!" teriak Shita yang tiba-tiba kembali ke lorong. Shita tertegun saat melihat Wulan dan Haru saling bertatapan. Wulan segera menghampiri Shita dan meninggalkan Haru yang terus menatapnya.
"Kamu tadi ngobrol sama dia?" tanya Shita.
Wulan menggeleng.
"Kamu kenal sama dia?" tanya Shita.
Wulan menggeleng lagi. Shita diam-diam melirik ke Haru yang terus menatap ke arah mereka dengan penasaran.
***
"Semuanya, duduk!"
Terdengar suara yang keras menggelegar. Di depan kelas berdirilah seorang pria tua berusia sekitar setengah abad dengan mata melotot. Semua anak kelas X IPA 5 tunggang langgang duduk di tempat duduk mereka masing-masing.
Pria tua itu memasuki kelas. Dia meletakkan tasnya di atas meja guru lalu berjalan-jalan mengelilingi kelas. Jam pelajaran terakhir di kelas hari itu adalah pelajaran fisika dengan guru mereka yang super killer Pak Zen.
Pak Zen adalah guru yang paling mengerikan dan paling ditakuti di seluruh SMA F. Semua murid tak ada yang berani berbicara saat guru kolot tersebut mengajar. Pak Zen mengelilingi kelas, semua murid terdiam sambil menelan ludah masing-masing.
Sementara itu di pojok kelas, Haru tanpa rasa bersalah malah asyik bermimpi alias molor. Igo dengan sengaja tidak membangunkannya. Biar tahu rasa! Batin Igo dalam hati.
Pak Zen menghampiri Haru lalu menggebrak meja dengan keras. Haru terbangun karena kaget, dia memandang ke arah Pak Zen dengan tatapan kesal seolah akan berkata
"Apa sih!"
"Berani beraninya kamu tidur di kelasku! Siapa namamu?" tanya Pak Zen dengan suaranya yang menggelegar bak Malaikat Malik.
"Haru," jawabnya singkat.
"Haru? Oh... jadi kamu anak baru itu?" Pak Zen meremehkan.
Pria itu maju ke papan tulis dan menuliskan sebuah soal fisika yang amat sangat sulit. Sepertinya itu bukan soal untuk manusia melihat angka-angkanya yang tidak lazim.
"Cepat kerjakan soal ini, kita liat seberapa pintar kanu sampai berani tidur di kelasku!" hardik Pak Zen dengan mata melotot. Orang tua itu terlihat sangat yakin bahwa Haru tidak mungkin bisa mengerjakan soal itu.
Haru berjalan ke depan kelas dengan malas-malasan. Dia mengambil spidol board marker dari tangan Pak Zen kemudian menuliskan jawab pada papan tulis dengan cepat, tidak sampai satu menit papan telah terisi penuh oleh jawabannya.
"Sudah," kata Haru.
Pak Zen mengerjap-ngerjap tak percaya melihat jawaban yang ditulis Haru di papan tulis itu. Jawabannya seratus persen tepat. Pak Zen mati kutu.
"Yak, silahkan duduk," lirih pria itu.
Beberapa siswa terbengong-bengong, yang lainnya terkikik. Pak Zen berniat mempermalukan Haru tapi malah dirinya sendiri yang dipermalukan. Untuk menutupi rasa jengahnya, Pak Zen berteriak.
"Yang tertawa kerjakan soal nomer enam halaman 112!"
Kelas pun kembali tenang sementara Haru kembali ke duduknya dan kembali tidur. Kini Pak Zen tidak berani membangunkannya. Igo menatap teman sebangkunya itu. Memang benar dia merasa sedikit aneh pada anak ini. Igo ingat, tadi Haru tiba-tiba saja tahu nama lengkapnya. Jangan-jangan anak ini....
***