Dugaan

1598 Words
Yudha duduk di ruang Reskrimum sambil memandangi foto-foto. Potret itu diambil dari TKP pembunuhan Omega. Pembunuh berantai itu resmi memperoleh julukan tersebut akibat lambang Omega yang selalu ditinggalkan si pembunuh di TKP. Seorang pria setengah baya dengan pangkat komisaris besar polisi, atasan Yudha, Kombespol Adam, melewati meja kerja inpektur dua itu. Dia berhenti sejenak. Pria itu tidak terlalu tua, tapi rambutnya sudah hampir putih seluruhnya dia memandangi Yudha yang tampak serius kemudian tersenyum. Dia menghampiri Yudha kemudian duduk di kursi yang ada di depan meja Yudha. "Yudha, Apa kamu sudah menyempurnakan firewall baru untuk situs kita?" tanya Ditreskrimum Polda Jatim itu. Yudha baru tersadar dari lamunannya kemudian balas tersenyum pada atasannya itu. "Ya, sudah Komandan, saya sudah meng-upgrade-nya dengan sistem terbaru." Adam mengangguk-angguk. "Ini benar-benar memalukan, situs kita di-block oleh seorang hacker dalam waktu satu jam, kalau sampai berita ini bocor ke media bisa ramai, dan kita akan kehilangan kepercayaan publik," keluh Adam frustasi. Beberapa hari lalu tiba-tiba saja situs web milik kepolisian diretas oleh seorang Hacker. Untung saja Hacker tersebut tidak melakukan apa pun selain blocking akses. Entah apa tujuan Hacker tersebut. "Tapi apa benar nggak ada kerusakan data atau semacamnya? Hacker itu nggak mencuri data dari server kita, kan?" tanya Adam khawatir. "Anda tenang saja, saya sudah memeriksa aktivitasnya, dia hanya melakukan blocking pada server kita selama satu jam, tapi dia sama sekali tidak mengambil atau pun merusak data. Hanya saja dalam waktu satu jam itu server kita tidak bisa dioperasikan." Adam tersenyum lega. "Syukurlah ... kita beruntung karena ada ahli IT sepertimu," puji Adam sambil menepuk bahu Yudha. Yudha hanya tersenyum sebagai tanda rendah hati. Adam mengalihkan perhatiannya pada foto-foto TKP yang berada di atas meja kerja Yudha dan mengamatinya dengan seksama. "Hm ... ini kasus yang sedang kamu tangani sekarang?" tanya Adam penasaran. "Ya, Saya mengalami kebuntuan, pada kasus ini, sama sekali tidak ada petunjuk," aku Yudha. "Keterangan apa saja yang sudah kamu dapat dari TKP?" Yudha menunjukan foto-foto yang diambilnya dari TKP pada Adam. "Hanya beberapa hal yang saya ketahui. Pertama karakteristik korban, semua korban adalah siswi SMA. Mereka memakai seragam SMA dalam keadaan terbalik dan memakai ikat rambut warna merah muda, tewas karena tusukan di perut dengan benda tajam sepanjang sepuluh sentimeter, dan di semua TKP di samping mayat ada tanda yang mirip dengan tanda Omega. Pada kasus terakhir, korban ditemukan menggenggam pin bintang, dan diduga sidik jari pada pin tersebut adalah sidik jari pelaku. Saya sudah pergi ke sekolah korban dan mengambil semua sampel sidik jari siswa di sana." Yudha menjelaskan panjang lebar. Adam memandang foto-foto di tangannya "Apa nggak ada luka lain selain luka tusukan ini dari hasil autopsi?" tanya Adam. "Ya, perkiraan kematian korban pertama dan kedua sama yaitu pukul sembilan sampai pukul sebelas malam hasil autopsi mengatakan korban diperkosa terlebih dahulu sebelum di bunuh karena selaput dara yang robek, jadi pelakunya kemungkinan besar adalah seorang pria." Adam mensejajaran foto korban pertama dan korban kedua. "Apa ada hubungan antara kedua korban ini?" "Saya sudah memastikan mereka berasal dari sekolah yang berbeda dan tidak saling mengenal. Korban pertama adalah dari SMA S dan korban kedua dari SMA F." "Apa kamu sudah mengintrogasi keluarga, teman-teman dan kenalan korban? Dalam kasus seperti ini kita berpikir bahwa ini adalah pembunuhan random tapi bisa saja pelakunya justru adalah orang terdekat korban." "Saya sudah mengintrogasinya, kedua korban adalah termasuk gadis-gadis populer yang ceria, mereka tidak memiliki musuh dan tidak ada yang memiliki motif untuk membunuh mereka." "Lalu lambang Omega ini, apa ini berarti sesuatu? Pesan kematian misalnya?" tanya Adam. "Awalnya pada kasus pertama saya juga berpikir begitu. Darah yang dipakai menulis adalah darah korban dan terdapat sidik jari korban pada tanda itu. Tapi melihat tanda tersebut muncul lagi pada kasus kedua, saya mulai berpikir itu bukanlah pesan kematian, melainkan tanda yang memang ditinggalkan oleh pelaku. Mengenai artinya saya belum tahu sampai sejauh itu." "Lalu bagaimana menurutmu tentang fenomena sidik jari itu? Apa benar itu sidik jari pelaku?" Yudha menggeleng. "Saya tidak yakin." "Kenapa?" "Korban punya banyak waktu. Dia sempat memperkosa korban, dan memakaikan baju korban dalam keadaan terbalik. Apa mungkin dia tidak menyadari bahwa korban telah menggenggam benda yang kemungkinan terkena sidik jarinya?" dalih Yudha. Adam menjentikan jarinya ke udara. "Itulah kuncinya, jangan sampai kamu tertipu pada hal seremeh ini. Mungkin pelaku ingin mengkambing hitamkan seseorang." "Kalau begitu siapa pelakunya? Apa Anda bisa menduganya?" tanya Yudha. Adam tersenyum mendengar Pertanyaan Yudha itu lalu bersadar pada kursinya. "Bagaimana kalau kita minta bantuan Igo dan kawan-kawan?" tawar Adam. Yudha menghela napas. "Saya tidak senang melibatkan anak-anak dalam kasus seperti ini," tolak Yudha. Meskipun dia tahu bahwa kasus ini akan lebih mudah terselesaikan bila meminta bantuan pada Igo Casanova si berandalan itu, Yudha tetap enggan mengakuinya. *** Bel tanda pelajaran usai berbunyi nyaring di seluruh antero sekolah. Seluruh murid SMA F keluar dari kelas dengan ceria. Trio Igolah yang pertama kali muncul dari pintu kelas, disusul rombongan Shita. Cewek-cewek itu bersama melewati koridor sambil mengobrol seru tentang idola mereka bersama yaitu Iptu Doni yang hari ini memposting foto seksi sedang kepanasan. Sampai di depan gerbang sekolah mereka harus berpisah karena pulang dengan jalan yang berbeda-beda. Shita dan Wulan yang tinggal dalam satu rusun pulang bersama. Arina dan Citra rumahnya searah, sementara Elli pulang sendirian. "Sampai besok ya, teman-teman," seru Elli riang. Sebelum Elli pergi, Wulan sempat mencekalnya dan memberinya selembar kertas. "Apa ini?" tanya Elli. Wulan hanya tersenyum, Elli pun menyimpulkan sendiri. "Oh, rahasia ya? Baiklah, akan baca nanti, Dadah teman-teman!" Elli berjalan riang meninggalkan keempat temannya itu. Shita dan Wulan pun berpamitan pergi pada Arina dan Citra. Dalam perjalanan Shita bertanya pada Wulan. "Apa yang kamu berikan pada Elli tadi?" Wulan menulis satu kalimat pada notesnya dan menunjukannya pada Shita. Shita membacanya... Sesuatu yang semoga saja bisa menyelamatkannya. "Apa itu?" tanya Shita penasaran. Wulan hanya tersenyum tanpa menjawab. Meskipun Shita merasa mereka sudah sangat dekat, Wulan tetap saja masih menyimpan rahasia. Sementara itu, Elli yang akhirnya berjalan sendirian membaca isi surat Wulan padanya tadi. Jangan lewat jalan X. Elli mengerutkan kening. Padahal sekarang dia sudah menyusuri jalan X. Ada apa dengan jalan ini? "Elli!" Elli tertenggun saat namanya di panggil. Dia menoleh ke sumber suara. Seseorang yang dikenalnya berdiri tepat di belakangnya. Orang itu tersenyum pada Elli lalu menghampirinya. "Nama kamu Elli, kan?" *** Setelah pulang dari bekerja sambilan di minimarket malam itu, seperti biasa Shita dan Wulan berkolaborasi memasak dan makan bersama di dapur rusun mereka. Masakan yang mereka masak cukup sederhana hanya nasi goreng biasa mengandalkan nasi yang sisa makan siang tadi. "Habis ini kamu mau langsung tidur, Lan?" tanya Shita setelah menghabiskan seluruh nasi gorengnya dan berniat mencuci piring. Wulan hampir selesai makan menganggukan kepalanya. "Aku mau ngapain ya belum ngantuk nih ... cuci baju dulu deh," kata Shita. Wulan menegur Shita dengan bahasa isyarat yang bisa diartikan, "Malem-malem gini mau cuci baju?" "Nggak apa-apa, kan pakai mesin cuci," kata Shita sambil meringis. Di Rusun tempat mereka tinggal memang ada fasilitas satu mesin cuci yang dapat dipakai bersama di tempat cuci. "Bajunya Igo pasti belum dicuci juga, sekalian deh sama nganter sisa nasi goreng, dia pasti belum makan juga." Shita bergumam yang tampak ditujukan pada dirinya sendiri. Wulan memandangi Shita. Menurut Wulan, hubungan Shita dan Igo lebih dari sekedar teman sejak kecil. Bayangkan saja, mana ada sih orang di dunia ini yang mau mencucikan dan menyetrika baju, membangunkan, mengingatkan PR dan tugas, dan bahkan memasak untuk teman sejak kecilnya? Apalagi Shita terlihat ikhlas melakukan semua pekerjaan itu meski dengan sedikit cerewet dan marah-marah. Siapa pun yang melihat pasti mengira ada hubungan spesial diantara keduanya. Hubungan yang sudah lama terjalin dan tidak mungkin dipisahkan begitu saja. Wulan mengambil notesnya kemudian menuliskan sebuah kalimat di sana dan menyerahkannya pada Shita. Kamu perhatian banget ya sama Igo. Pipi Shita sedikit bersemu saat membaca tulisan tangan Wulan itu, namun sebisa mungkin Shita menyembunyikan rasa malunya. "Nggak juga kok. Habis dia sendirian sih, siapa lagi yang akan mengurusinya kalau bukan aku. Lagian aku juga udah janji sama almarhum Ibunya," elak Shita. Dia memang telah berjanji pada almarhumah ibu Igo, bahwa dia akan selalu mendampingi Igo dan memperlakukannya seperti saudara sendiri. Wulan sedikit terharu mendengar alasan Shita itu. Ibu Igo memang sudah meninggal tiga tahun lalu sehingga Igo hidup sebatang kara. Kondisi Igo itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Wulan. Wulan juga sudah kehilangan kedua orang tuanya, bahkan Wulan tak pernah ingat bagaimana wajah keduanya. Setelah selesai makan dan mencuci piring, Wulan dan Shita pun naik ke lantai dua. Wulan masuk ke kamarnya sendiri sementara Shita masuk ke kamar Igo yang letaknya persis di sebelah kamar Wulan. Suara pertengkaran kedua sejoli itu pun terdengar dari dalam kamar Wulan. Igo marah karena Shita tiba-tiba nyelonong masuk tanpa permisi terlebih dahulu. "Hei! Kalau masuk ketuk pintu dulu dong! Apa gitu sikap seorang cewek, kalau aku lagi ganti baju gimana?" Igo memprotes. "Ah, badan kendor kayak kakek-kakek aja! Nih, ada nasi goreng sudah makan belum?" tawar Shita. "Asyik!" Suara Igo terdengar sangat bersemangat. Wulan diam-diam merasa iri, seandainya saja dia bisa memiliki sahabat yang saling melengkapi seperti kedua orang itu. "Ada pakaian kotor nggak? Aku mau nyuci nih, sekalian kucucikan," tawar Shita lagi. "Tuh, di pojokan!" Selanjutnya, Wulan tak mendengar suara apa-apa lagi. Tampaknya Shita sudah kembali turun ke lantai satu untuk mencuci baju sementara Igo sibuk makan nasi goreng. Wulan pun melakukan rutinitasnya setiap hari, yaitu mengirim e-mail pada sahabat baiknya, Cyber Daisy. Wulan menceritaan tentang kasus pembunuhan Omega dan polisi yang datang ke sekolahnya. Tak terlalu lama, Daisy menjawab email dari Wulan itu. Ikuti kata hatimu Wulan. Tak semua hal dapat dicegah. Tak semua takdir dapat dirubah, meskipun kita memiliki kemampuan melihat masa depan. Wulan tertegun ketika membawa pesan tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD