Lima

2990 Words
Keheningan ini sangat menyesakan. Semenjak membawaku masuk kedalam mobil, Denish sama sekali tidak berbicara. Bodoh sekali aku ikut dengannya, dan terjebak dalam situasi menyebalkan seperti ini. Tapi ini bukan salahku, aku sudah menolak mentah-mentah saat dia menawarkan tumpangan, tapi dia bersikeras memaksa ku naik ke mobil, bahkan wanita yang bersamaku di halte tadi juga menyarankan aku untuk ikut. Dia bilang mungkin akan sulit mendapatkan angkutan umum karena hujan dan juga kecelakaan yang terjadi. Huh! Lebih baik aku terjebak hujan semalaman daripada terjebak dengan manusia batu disampingku ini. Semilir angin dari ac mobil berhembus, menerpa tubuh lembabku, membuatku mengigil kedingingan. Memeluk diriku sendiri, aku menghela napas, memilih untuk menatap ke jalanan. Hujan masih turun sama derasnya. Jika aku pikir-pikir lagi. Keadaanku sekarang cukup baik. Terjebak di halte dengan hujan sederas ini sendirian pasti sangat sulit, belum lagi masih harus memikirkan ketidak pastian angkutan umum yang akan membawaku pulang. Ya, harusnya aku bersyukur sekarang. Berterimakasih dengan manusia batu disampingku karena sudah berbaik hati memberiku tumpangan. "Pakai ini." Sebuah selimut hitam tersodor kearahku. Membuatku menoleh dan menemukan manusia batu itu tengah memberiku selembar selimut yang entah dia dapat dari mana kepadaku. "Kau kedinginan." Ada nada gusar dan kesal dari nada bicaranya, membuatku menerima selimut itu dari tangannya cepat. "Terimakasih." "Bagaimana bisa kau tidak membawa baju dingin di musim hujan. Terlalu merepotkan?" Omelnya lagi setengah kesal. Membuatku yang tengah memakai selimut pemberiannya merasa sangat dongkol. Kenapa dia bertingkah seperti ini? Kenapa dia harus memberiku tumpangan jika dia memperlakukanku seperti musuh. Kenapa dia sok peduli denganku? Seharusnya dia membiarkanku mati kedinginan saja! Aku terus mengumpat dalam hati, karena tidak memiliki nyali untuk mengumpatinya secara langsung. Aku masih menyayangi hidupku, dan diturunkan di tengah jalan saat hujan sedang turun deras-derasnya, itu bukan ide yang bagus. Ada apa dengannya. Dulu.. dia tidak seperti ini.. Dia sangat dewasa. Umur kami memang bertaut sepuluh tahun lebih, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Aku menyukainya. Tidak peduli dia siapa, ber usia berapa, berstatus apa. Yang aku tahu hanya betapa aku sangat menyukainya. Jantungku berdegup kencang saat berada di dekatnya. Hatiku berbunga-bunga saat namaku keluar dari bibirnya. Aku menyukai saat dia tersenyum saat mata kami bertemu di tengah pelajaran. Aku menyukai skinship singkat saat dia membagikan lembar soal ujian. Aku menyukai lengannya yang tidak sengaja menyentuh bahuku saat kami berjalan berdampingan. Hal-hal sederhana yang dia lakukan denganku, membuatku semakin menyukainya. Dan dia... dia sangat sangat sangat tampan. Dia sangat tampan dengan kemeja berbagai warna dan celana bahannya. Dengan mata tajam yang tidak pernah melewatkan murid yang menyontek di tengah ujian. Dia sangat tampan saat menyisir surai hitamnya kebelakang saat ada murid yang membuatnya gusar. Dia sangat tampan di bawah tetesan air hujan. Dia sangat tampan saat aku menatap wajahnya dari samping waktu kami berjalan berdampingan. Dan dia sangat tampan saat aku melihatnya dari balkon, tengah berdiri di depan rumahku dengan satu tangan tersimpan di saku celananya dan mantel yang menjadi ciri khasnya saat musim penghujan. Dia datang menjemputku untuk pergi merayakan malam tahun baru bersama. Aku menoleh sebentar kearah Denish yang tengah fokus mengemudikan mobilnya, lalu kembali mengamati keluar. Mobil yang kami tumpangi sekarang sudah memasuki kawasan Central Park, sedikit macet karena banyaknya jumlah kendaraan yang antre di pintu masuk. Central Park merupakan kompleks serbaguna yang terletak di pusat kota. Disana terdapat area perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel, dan banyak lagi jenis tempat untuk bersenang-senang. Denish bilang kita akan melihat festival kembang api tahunan di Central Park Tower malam ini, gedung dengan tinggi 100 lantai yang juga merupakan icon dari kawasan tersebut. Biasanya aku hanya menontonnya di televisi, festival tahun baru di central park adalah festival tahunan yang sangat terkenal. Saat hampir tengah malam, kembang api akan mulai dinyalakan. Dan saat tepat pukul dua belas malam, kembang api akan menyala serempak, membuat gedung 100 lantai itu terlihat seperti bersinar. "Aku belum pernah melihat kembang api central park secara langsung." Aku merasa sangat antusias malam ini, tidak percaya ayah dan ibu mengijinkanku keluar saat malam tahun baru bersama Denish. Mungkin mereka merasa aku butuh sedikit udara segar sebelum ujian akhir, dan mereka juga mengira jika ini adalah kegiatan kelas kami. "Benarkah?" Dia sedikit memiringkan wajahnya untuk menatapku, ada senyuman di bibirnya. "Biasanya apa kegiatanmu saat tahun baru?" "Biasanya keluarga kami akan berkumpul, lalu bercerita tentang satu tahun yang sudah kita lewati, seperti itu." Aku membayangkan malam tahun baruku sebelumnya, kami menginap di rumah Paman Jeff, lalu bercerita tentang banyak hal sampai lewat tegah malam. Aku yang pendiam hanya bisa menikmati cerita mereka, terlalu engan untuk menimbrung karena tidak pandai berbicara. Dan tahun ini sedikit berbeda, kami tidak pergi ke rumah paman Jeff karena Ayah memiliki proyek yang harus di selesaikan. "Tahun tahun yang akan datang, aku akan mengajakmu kesini. Bagaimana?" Aku menoleh untuk menatapnya, lalu mengangguk setuju. Sementara Denish kembali tersenyum kalem. Membali menatap keluar, mataku menatap takjup kearah jalanan yang di hias dengan tema natal dan tahun baru. Pohon natal berukuran raksasa berjejer sepanjang jalan dengan lampu warna-warni yang tidak terhitung jumlahnya. Denish melajukan mobilnya pelan menuju lobby, setelah melewati beberapa pemeriksaan oleh security, kami di persilahkan untuk melanjutkan perjalanan menuju area parkir. "Anda tinggal di sekitar sini kan?" Aku bertanya saat kami sudah keluar dari tempat parkir, berdampingan menyusuri jalan yang berhias lampu lampu warna biru. "Benar" dia mengangguk. "Aku tinggal disana." Dia menunjuk kearah tiga gedung apartemen yang berdiri berjejer di kejauhan. Letak apatemennya yang sangat strategis di kawasan elite membuatku bertanya-tanya. Apa gajinya sebagai guru mampu memenuhi gaya hidupnya yang sangat flamboyan itu. Aku lihat mobil yang tadi dia pakai juga bukan mobil biasa, tapi jenis mobil sport yang harganya paling tidak memiliki sembilan digit nol di belakang angka utamanya. Sangat aneh. "Apa kau sudah makan?" Tanya Denish kemudian, menyadarkanku dari lamunan. "Eh.. belum." Jawabku malu-malu membuatnya kembali tersenyum. Dia terlalu banyak tersenyum malam ini, apa dia tidak sadar jika senyumannya memiliki efek berbahaya bagiku. Hatiku bergetar-getar setiap melihatnya tersenyum. "Aku juga belum." Dia meraih tanganku, dan membawanya ke genggamanya, aku sangat terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba itu. "Kau ingin makan apa?" Kepalanya miring untuk menatapku. Aku bergumam pelan, berpikir. "Mm.. aku tidak begitu paham makanan disini." Jawabku jujur. "Lebih baik anda saja yang memilih, Mr. Kellan." "Begitu, ya?" Dia kembali tersenyum. "Baiklah, kalau begitu aku yang memilih." Dia mengalah dan aku hanya pasrah mengikuti langkahnya. "Dan jangan panggil aku dengan sebutan Mr. Kellan, Karisa." Pintanya membuat mataku melebar. "Iya?" "Kita sedang berkencan. Dan sangat aneh jika kau terus memanggilku dengan nama belakangku." Bukan permintaan anehnya untuk tidak memanggilnya dengan nama belakang yang membuatku kaget, tapi kata-kata yang mengatakan kami sedang berkencan lah yang membuat jantungku hampir lepas dari tempatnya. Apa ini? Apa ini? Aku? Berkencan? Dengan Denish Kellan? Astaga! Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tidak memperhatikan Denish menuntunku dimana. Setelah sadar, ku perhatikan sekitar. "Kita akan kemana?" Tanyaku saat menhadari sepertinya Denish menuntunku ke Central Park Tower. "Bukankah kita akan makan?" Dia balik bertanya, salah satu alisnya naik saat menatapku. "Bukankah harusnya ke sana?" Aku menunjuk kearah yang berlawanan, kearah pusat perbelanjaan yang berada di belakang kami. "Di sini juga ada restoran. Kita makan disana." Restoran? Di Central Park Tower? Apa yang dia maksud itu restoran mahal yang didatangi oleh tamu-tamu kaya raya berpakaian mewah dengan menu makanan dengan harga fantastis berupa sepotong kecil daging yang di sajikan dengan piring kristal? Aku tahu karena beberapa kali diajak ayah makan disini, biasanya untuk acara resmi kantornya atau undangan keluarga rekan bisnis ayah. Oke, walaupun aku tidak yakin dia akan membawaku kesana, tapi aku yakin harga yang dibayar untuk makan di tempat elite seperti ini tidak lah sedikit, bahkan untuk yang paling murah. Dan tentu bukan seleraku juga untuk makan di tempat-tempat seperti itu, aku lebih suka makan di tempat-tempat santai khas remaja lainnya. "Kenapa? Kau ingin makan sesuatu?" Suara Denish menyadarkanku dari lamunan, menatapnya salah tingkah. "I-iya?" Aku menatapnya takut-takut. Entah sudah berapa lama aku termenung, aku bahkan tidak begitu dengar apa yang dia katakan. "Ada sesuatu yang ingin kau makan?" Dia mengulang pertanyaannya, maja tajamnya melembut, mungkin tidak ingin aku semakin gugup. "Ah, iya." Aku mengangguk cepat. "Aku tiba-tiba ingin makan burger." Kataku kemudian, spontan. "Burger?" Dia sedikit berpikir. "Mungkin kita bisa mencari restoran yang menjual burger disini." "Disana." Aku menunjuk kearah Central Park Mall di belakang kami. "Kita bisa membelinya disana." "Baiklah, kita makan disana." Dia setuju dan aku bernapas lega saat dia menuntunku menjauh dari gedung tinggi tersebut. Kami menyusuri jalanan yang ramai oleh pengunjung. Mereka juga menuju Central Park Mall. Berpasang-pasangan, sendirian. Tua, muda, remaja dan anak-anak. Semua tampak bahagia. Banyak dari mereka yang membawa atribut khas tahun baru, menuip terompet dan lain-lain, menyusuri jalanan khusus pejalan kaki yang menghubungkan tempat-tempat di kawasan Central Park. Berbeda dengan mereka yang tampak ceria, Denish sama sekali tidak bersuara di sampingku, walaupun tangan kami masih saling bertautan, tapi dia hanya terdiam sejak aku mengajaknya makan burger. Berjalan dalam keheningan, membuatku berpikir. Aku merasa bersalah dengan tingkahku yang sangat plin-plan, tadi bilang terserah, dan sekarang bilang ingin makan burger. Tapi siapa yang menyangka dia akan membawaku makan di tempat itu? Aku kira dia akan mengajakku untuk makan di Burger Queen atau Mc Duck, ya semacam itu. Apa dia marah? "Maaf.." setelah berpikir panjang dan mempertimbangkan, kata itu lolos dari mulutku dalam bentuk gumaman lirih, membuat langkah denish berhenti, dan menatapku bingung. "Kenapa minta maaf?" "Karena.. karena terlalu cepat berubah pikiran." Matanya berbinar, menatapku tidak percaya. Dia menarikku untuk sedikit ke pinggir, karena memang tadi kami berhenti di tengah jalanan. "Kau berpikir aku marah?" Dia kembali bertanya saat kami sudah berada dipinggir. "Mungkin.. sedikit kecewa." "Tidak, Karisa. Aku baik-baik saja. Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" Dia tersenyum, tangannya berada di pundakku sekarang. "Mungkin..karena aku mengajakmu makan burger." "Astaga. Tidak begitu." Dia merengkuh tubuhku kedalam pelukan, membuatku terkejut dengan tindakannya yang sangat tiba-tiba itu. "Maaf, sudah membuatmu khawatir." Gumamya lembut, masih memelukku. Aku bisa merasakan dia menghirup udara dirambutku, sementara aku mencengkram mantel hitamnya. "Baiklah.." dia melepaskan pelukannya, dan aku merasa kehilangan. "Ayo kita makan burger." Dia tersenyum, dan aku membalasnya, lalu mengangguk. "Ayo.." **** Dan disinilah aku sekarang, disalah satu meja taman yang terletak dibelakang Central Park Mall. Selain terkenal dengan pusat perbelanjaannya, Central Park Mall juga memiliki taman yang luas dan sangat indah. Karena sekarang masih dalam suasana natal, Pohon Natal berukuran sangat besar terpasang di bagian tengah taman, berhias lampu warna biru dan merah. Patung-patung berbentuk sinterklas terlihat dimana-mana, lengkap dengan rusa-rusa yang menarik keretanya. Ku tatap sekeliling, disini sangat ramai. Banyak orang berswafoto, atau sekedar melihat-lihat pemandangan menakjupkan yang di tampilkan oleh taman. Menghela napas panjang, aku merasa bosan sendirian. Denish memutuskan untuk pergi memesan burger sendirian. Kami tadi sudah ke Burger Queen berdua, tapi ternyata kami menemukan antrean panjang disana, dengan meja penuh pengunjung. Menolak untuk makan di tempat lain, Denish bersikeras untuk tetap makan Burger, mengantarku ke taman dan menyuruhku untuk menungguku disana sementara dia akan mengantre untuk makan malam kami. Aku tidak mengira makan burger akan sesulit ini! Beeb.. Beeb.. Ponselku berbunyi tanda ada pesan masuk. Ku raih sling bag ku yang ku letakan diatas meja, mengeluarkan ponselku dari sana, mengecek siapa yang baru saja mengirimiku pesan. 1 new message from Mom From : Mom Cepat pulang setelah melihat kembang apinya. Ibu menyayangimu. Aku tersenyum, saat suara berat itu mengagetkanku. "Siapa yang membuatmu tersenyum begitu manis, Karisa?" Dia menatapku penasaran, meletakan dua kantong kertas berwarna cokelat ditanganya keatas meja, lalu duduk di sampingku. "Ibuku.." aku kembali tersenyum, memasukan ponselku kembali kedalam tas, dan menatapnya. "Dia bilang aku bisa pulang setelah melihat kembang api." "Itu membuatmu senang?" Dia membuka bungkusan, melihatku dengan ekor matanya. "Mmm.." aku mengangguk. ". Ayah ibuku sangat jarang memberiku izin keluar malam. Apalagi sampai tengah malam." "Kalau begitu, kau harus berterimakasih kepadaku." Kata Denish mengedipkan sebelah matanya. Aku merengut, mengerucutkan bibirku, sementara Denish terkekeh geli saat melihat tingkahku. "Jaa, ini burgernya, tuan puteri." Dia mengulurkan satu burger yang sudah dia bukakan bungkusannya kepadaku. Sengaja mengodaku dengan memanggiku tuan puteri. "Terimakasih." Aku tersenyum, lalu menerimanya. "Dan ini lemon tea pesananmu." Kali ini dia mengeluarkan paper cup berukuram besar, dan menaruhnya di meja hadapanku. "Terimaksih.." "Jangan sungkan." Ucap dia kalem, dan aku hanya bisa tersenyum. Terus tersenyum. Pria dihadapanku ini tidak bisa membuatku berhenti tersenyum. Aku mulai mengigit burgerku hati-hati. Mengamati Denish yang kini mengeluarkan hot dog dari paperbag. Oo..Jadi dia lebih suka hot dog? Dia menyesap minumannya sedikit, dan mulai mengigit hot dog miliknya. Matanya berbinar lucu saat mengunyah, entah apa yang ada di pikirannya sekarang. "Sudah sangat lama sejak terakhir kali aku makan junk food seperti ini." Ucapnya setelah selesai menelan hotdog di mulutnya. Aku yang tengah meminum lemon tea ku menatap kearahnya. "Benarkah?" "Mungkin terakhir kali itu saat aku masih kuliah. Sekitar 10 tahun yang lalu." Dia tertawa saat menjelaskan. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya terasa konyol. "Ternyata rasanya masih tetap enak." "Apa ada alasan khusus yang membuatmu berhenti mengkonsumsi junk food?" Aku bertanya, sedikit penasaran. Denish mengelengkan kepala, kembali menyesap minumannya. "Aku hanya merasa jika mengkonsumsi junk food tidak bagus untuk kesehatan." Dia mengigit hot dognya lagi. "Aku dulu cukup gila makan junk food." Dia kembali tertawa renyah. "Apa aku membuatmu melanggar aturan hidup sehatmu?" Aku merasa tidak enak sekarang, melihatnya kembali makan makanan yang menurutnya tidak sehat karena aku. "Tidak, tidak." Denish mengelengkan kepala cepat. "Ini menyenangkan. Terkadang aku juga merindukan makanan seperti ini, dan kebetulan sekali hari ini kau mengajakku makan burger." Aku tersenyum sebagai tangapan. Menghela napas, dan memilih untuk menyesap kembali lemon teaku. Selebihnya kami menghabiskan makanan kami masing-masing sambil mengobrol ringan. Tentang sekolah, natal kemarin, hobi, bahkan cuaca. Burgerku masih tersisa setengah saat Denish sudah selesai memakan hotdognya, dan sekarang dia tengah memakan kentang goreng sembari menantiku menghabiskan burger. "Jadi ini yang di lakukan remaja saat berkencan?" Dia memasukan satu potong kentang goreng kedalam mulutnya. "Makan burger." Lanjutnya lagi saat melihatku menatapnya tidak paham. Aku mengangkat bahu enteng. "Aku tidak begitu paham apa yang mereka lakukan. Karena Aku belum pernah berkencan sebelumnya." Jawabku jujur. "Jadi aku yang pertama?" Dia sedikit terkejut, dan aku mengangguk mengakuinya. "Jadi orang dewasa selalu pergi kencan ke tempat yang mewah?" Kali ini aku yang bertanya. "Aku mencarinya di internet, dan disana dijelaskan jika wanita suka diajak ke tempat-tempat mewah dan romantis." Aku bisa melihat wajahnya tersipu malu. Astaga, aku tidak menyangka Denish bisa begitu mengemaskan! "Aku tidak suka seperti itu." "Lalu apa yang kau suka?" "Makan burger." Jawabku asal membuatnya tertawa. "Lalu apa yang tidak kau suka?" "Mmm.." aku berpikir sejenak. "Aku tidak suka semua hal yang merepotkan." "Seperti membawa payung saat ramalan cuaca mengatakan tidak akan turun hujan?" "Ya, itu termasuk." Aku mengangguk setuju. "Sangat merepotkan harus membawa payung saat tidak turun hujan." Jawabku jujur membuatnya mengacak rambutku gemas. "Dasar remaja. Baiklah, lakukan apa yang kau suka. Kau bisa mengandalkan aku sekarang." Uhh.. Kata-katanya sangat manis, tapi aku memilih untuk tidak menanggapinya. "Ahh.. aku harap malam ini tidak turun hujan!" Seruku mengalihkan pembicaraan, menatap kearah langit yang kini cukup cerah. Aku bahkan menemukan beberapa bintang bersinar disana. "Ya, semoga saja.." "Apa kembang apinya akan gagal jika turun hujan?" Aku menoleh untuk menatap Denish. "Aku rasa tidak.." Denish menjawab kalem. "Hujan tidak berpengaruh pada kembang api, kan?" Aku mengangguk setuju, lalu memasukan potongan terakhir burgerku kedalam mulut. "Hey, selesai ini kau ingin kemana? aku rasa masih banyak waktu sebelum kembang apinya mulai.." dia meraih satu helai tisu, dan mengulurkan tangannya kearahku. "Diam sebentar.." dia memerintah. Dan aku yang masih bingung, hanya diam sesuai permintaannya. Dengan tisu di tangannya, dia menyeka bibirku lembut. Astaga! Apa aku sangat berantakan saat makan? Ini memalukan!! "Sudah." Dia menarik kembali tangannya. Dan aku rasa sekarang wajahku sudah berwarna merah jambu. "Jadi kita mau kemana?" Dia mengulang kembali pertanyaannya. "Terserahmu saja." Aku pura-pura menyesap lemon tea ku dengan seksama untuk menutupi rasa maluku. Ku lirik kearah jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sekarang baru pukul 22:15, itu artinya masih ada waktu kurang lebih dua jam sebelum kembang apinya mulai. "Tidak, hari ini kau yang menentukan. Apapun yang kau inginkan, aku ikut." Mungkin dia takut jika dia yang memilih, aku akan berubah pikiran di menit-menit terakhir seperti tadi. "Baiklah." Aku mengalah. "Aku rasa lebih baik kita masuk ke dalam. Pasti ada banyak event tahun baru disana." Aku menunjuk kearah mall, dan Denish mengangguk setuju. Membereskan sampah sisa makan malam kami dengan cepat, setelah selesai, kami bergegas menuju pintu masuk mall yang malam ini sangat ramai oleh pengunjung. Huh, aku sangat benci keramaian. Tapi fakta sekarang aku bersama Denish, itu menyenangkan. Seperti dugaanku, banyak sekali acara bertema natal dan tahun baru di dalam pusat perbelanjaan tersebut. Mulai dari pameran, sampai aksi akrobat. Waktu cepat berlalu saat kami berada di dalam mall. Setelah menikmati beberapa acara, kencan kami berakhir di toko buku. Aku menikmati semua, tapi aku lebih menikmati saat kami berada di toko buku. Mungkin karena aku seorang kutu buku, buku-buku yang berjejer rapi, aromanya yang khas, itu terlihat lebih menarik di mataku di banding yang lainnya. Aku memilih beberapa buku persiapan ujian yang memang sudah ingin aku beli tapi belum sempat ke toko buku. Kebetulan sekali hari ini Denish mengajakku ke sini. "Tetap memikirkan sekolah walau kita sedang berkencan, Karisa?" "Astaga! Kau mengagetkanku." Aku mengelus dadaku, terkejut dengan Denish yang sepertinya sangat senang muncul dengan cara tiba-tiba. Dia tertawa, mengacak rambutku gemas. "Kau sangat mudah terkejut." "Itu karena kau muncul tiba-tiba." "Baiklah, baiklah. Itu salahku." Dia tersenyum, mengalah seperti biasa. "Sudah semua?" Dia mengambil alih tiga buku ditanganku. Dan aku mengangguk. "Aku rasa kembang apinya akan mulai sebentar lagi." Ucapnya sambil berjalan menuju meja kasir. Selain buku milikku ternyata dia juga membeli beberpa buku untuk dirinya sendiri. "Tolong dipisah." Pinta Denish ramah kepada wanita yang dia temui di bagian kasir. "Aku akan membayar milikku." Kataku kepada Denish, membuat pria itu menoleh kearahku. Tersenyum. "Kau tidak perlu memikirkan itu." Denish mengeluarkan dompetnya lalu membayar sesuai nominal yang dikatakan oleh kasir. "Tapi..," "Tidak perlu dipikirkan." Potong Denish kalem, berbalik menatapku setelah menerima dua paperbag dari kasir. "Ayo. Atau kita akan terlambat untuk kembang apinya." Dia meraih tanganku, membawanya ke gengamannya, dan aku hanya pasrah saat Denish menuntunku keluar dari toko buku. TBC suka nggak? suka nggak? hehehe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD