Empat

3445 Words
Cuaca siang hari ini cukup cerah, tapi saat menjelang sore, gumpalan awan hitam mulai menjajah langit, mengantikan langit cerah menjadi muram, diiringi oleh suara petir di kejauhan. Hujan sedang turun deras-derasnya saat bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, disambut tidak begitu antusias seperti biasa oleh seisi kelas. Selain energi sebagian besar dari kami sudah habis untuk pelajaran tambahan yang kami lewati selama satu jam terakhir, tidak ada alasan untuk tergesa-gesa saat hujan turun begitu deras. Kami membereskan peralatan sekolah dengan santai, lalu satu persatu meninggalkan meja masing-masing dengan tenang. "Merry christmas and happy new year!" Kami saling melempar ucapan itu sebagai salam perpisahan. Libur panjang membuat kami tidak bertemu saat natal dan tahun baru, jadi tidak ada waktu lain mengucapkannya selain sekarang. "Liburan kali ini kau pergi kemana?" Tanya Tania disela kesibukannya memasukan bukunya ke tas. Aku berpikir sebentar, memikirkan rencana liburanku, sebelum akhirnya menggeleng. "Aku tidak begitu yakin. Mungkin mengunjungi paman Jeff." Aku menyebut nama saudara ayahku yang tinggal di luar kota. Keluargaku biasa mengunjunginya saat natal, berkumpul di rumahnya dengan kerabat yang lain. "Tahun ini mungkin aku tidak kemana-mana." Tania menghela napas, matanya menerawang ke depan. "Ayahmu baik-baik saja?" Ayah Tania terlibat kecelakaan beruntun di tol bulan lalu, walau tidak begitu parah, tapi tulang kakinya retak membuatnya harus beristirahat cukup lama. "Dia baik-baik saja. Tapi aku rasa kondisinya tidak cukup bagus untuk berpergian." Terang Tania tampak tidak bersemangat, memasukan buku-bukunya kedalam tas dengan gerakan lesum "Natal tetap natal di manapun kau berada, Tania. Menghabiskan waktu bersama di rumah juga tidak buruk." Tania tersenyum, lalu mengangguk. "Kau benar, jika bosan, aku kan bisa pergi ke rumahmu." Dia menatapku dengan matanya yang lebar. Sepertinya Tania yang menyebalkan sudah kembali sekarang. Tapi aku segera mengalah, tidak ingin wajahnya yang muram kembali terpasang di wajah cantiknya. "Ya, ya. Tentu kau bisa." Dia tersenyum lebar saat mendengar jawabanku. Lalu kembali membuka mulutnya. "Ayam kalkun masakan ibumu sangat enak, aku tidak sabar ingin memakannya saat Natal." Ocehnya tidak tahu diri seperti biasa. "Ya, ya. Jangan lupa untuk membawa kado yang besar sebagai gantinya nanti." Gurauku dan kami tertawa bersama. "Hari ini kau membawa payung kan?" Tanya Tania menatapku, dan Aku mengangguk. "Tentu saja. Aku tidak sebodoh itu untuk mengulang kesalahan untuk kedua kalinya." "Benarkah? Aku rasa waktu itu adalah kali ke lima atau ke enamnya kau tidak membawa payung, Karisa." Tania mencibir, dan aku hanya bisa tertawa menanggapinya. "Benarkah?" Ku tutup tas ranselku, lalu menyandangnya. "Ayo pulang." Ajakku menatap Tania yang juga sudah melakukan hal yang sama denganku. "Ayo.." Lorong sudah sepi, mengingat hanya tersisa kami murid kelas tiga yang masih berada di sekolah. Kelas-kelas yang aku lewati juga sebagian besar sudah kosong, menyisakan satu dua penghuninya yang juga terlihat mencatat tulisan dari papan tulis atau membereskan barang-barangnya kedalam tas. "Hujan lagi, hujan lagi.." runtuk Tania yang berjalan di sampingku. Dan aku memilih untuk mengangguk sebagai tanggapan, walaupun aku tidak yakin gadis itu melihatnya atau tidak. Tania langsung membuka payungnya saat kami sudah sampai di ujung lorong utama yang menghadap langsung ke halaman depan sekolahan yang terbuka, sementara aku merogoh saku blazer saat merasakan ponselku bergetar disana. "Ada apa?" Tania menghentikan langkahnya lalu berbalik untuk menatapku yang masih berdiri di ujung lorong. "Bukan apa-apa.." jawabku masih menatap layar ponsel. "Duluan saja, aku akan pulang sebentar lagi." Kali ini aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya. Lagi pula kami tidak bisa pulang bersama karena rumah kami tidak searah. Mata Tania menyipit saat menatapku, namun hanya sebentar. Karena di detik selanjutnya dia sudah menganggukan kepala mengiyakan. "Oke. Bye, Karisa." Pamitnya sebelum berbalik, melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. "Bye, Tania." Balasku lalu kembali fokus ke ponsel di tanganku. From : Mr. Kellan Tunggu aku di depan, aku akan keluar sebentar lagi. Aku menghela napas saat membaca pesan yang baru saja aku terima dari Denish. Ku kira kami tidak jadi pulang bersama karena hujan. Ku masukan kembali ponselku kedalam saku blazer, lalu menatap ke depan, Tania sudah menghilang dari pandangan. Sementara hujan masih turun dengan intensitas yang sama. Kembali menghela napas panjang, aku merentangkan tanganku kedepan, kearah hujan. Rasa dingin yang menguar dari telapak tanganku yang basah membuatku sedikit tenang. Tidak ada yang perlu di risaukan, Karisa. Pulang bersama bukan berarti apa-apa. Lagi pula sekarang hujan, dan masing-masing dari kami.., Aku yang berusaha menenangkan diriku sendiri di kejutkan oleh tangan lain yang ikut terulur kearah hujan. "Hujannya sangat deras, ya?" Dua kali, kemunculannya yang terkesan tiba-tiba selalu berhasil membuatku hampir melonjak kaget. Denish sudah berdiri disampingku, dengan mantel hitam melapisi kemeja putihnya. Belum sempat aku membalas ucapannya yang pertama, dia sudah kembali berbicara. "Kau membawa payung hari ini?" "Tentu saja.." aku berhasil bergumam, menunjukan payung di tanganku kepadanya dan dia menghadiahiku dengan senyum kalem di bibirnya. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Tidak lama kemudian dia kembali menatapku, lalu tersenyum. Meraih payung ditanganku, dan mengambilnya. "Tidak membawa payung, Tony?" Dia bertanya kepada salah satu murid laki-laki yang berjalan lesu menyusuri lorong. Murid yang di panggil Tony itu hanya tersenyum kecut, lalu mengangguk malu-malu. "Aku.. lupa..," Alasan klasik yang sering digunakan untuk menutupi alasan yang sebenarnya. Aku hanya bisa mengamati interaksi antara guru dan murid tersebut. Dan saat Tony sudah sampai di hadapannya, Denish mengulurkan payung di tangannya. "Kalau begitu kau bisa mengunakan ini." "Benarkah?" Mata Tony menatap Denish tidak percaya, begitu pula dengan aku. Karena setelah aku perhatikan, payung yang diberikan Denish kepada Tony adalah milikku. Aku sudah akan protes saat, namun dipotong oleh suara Denish. "Tentu, kau bisa pulang sekarang." Denish mempersilahkan, dan Tony tersenyum semakin lebar. "Terimakasih, Mr. Kellan." "Sama-sama." Tony membungkuk sopan, lalu membuka payungku, dan menerobos hujan yang masih turun dengan deras. Sementara Denish mengamati kepergiannya dengan senyum berkembang di bibirnya. "Bagaimana bisa anda memberikan payungku kepada orang lain, Mr. Kellan!" Protesku menatap pria disampingku itu tidak percaya. Denish memiringkan wajahnya untuk menatapku, lalu tersenyum tanpa dosa. "Karena dia lebih membutuhkannya, Karisa." "Lalu bagaimana aku harus pulang?" Aku menatapnya tidak percaya. "Kalau kau begitu peduli dengan muridmu, seharusnya kau memberikan payungmu untuknya!" Hilang sudah kesabaranku, menatapnya dengan napas tersenggal, kesal setengah mati. "Astaga, karisa. Orang lain akan salah paham saat mendengar suaramu. Mereka mengira aku mungkin merampokmu atau apa." Dia menatapku dengan ekspresi geli di wajahnya, membuatku semakin kesal karenanya. Dia bahkan lebih dari sekedar merampokku! "Kau sangat tidak peka ya?" Denish membuka payung ditangannya. Apa dia berniat meninggalkanku disini sendirian? Ditengah hujan. Ini yang sebenarnya dia rencanakan? "Saat ku bilang kita pulang bersama.." dia berjalan mendekat. Aku mengawasi setiap gerak geriknya, gelagatnya terlihat cukup aneh, dengan tatapan matanya yang tajam, membuatku secara refleks beringsut mudur saat dia melangkah maju kearahku. "Tentu memakai satu payung yang sama." Aku terpekik kaget saat Denish meraih pingangku kearahnya. Dia tersenyum miring saat melihat reaksiku, dan bergumam. "Ayo.." Aku ingin sekali memakinya, tapi suaraku mendadak hilang. Dan aku hanya terdiam saat dia menuntunku menerobos hujan dengan payung miliknya. Berjalan kaku disampingnya, dan merasakan tangannya yang masih membayang di punggungku, menyusup diantara tas ranselku. Melewati halaman sekolah yang luas, lalu menyusuri jalanan depan sekolah yang akan membawaku pulang. "Seharusnya kau lihat ekpresi wajahmu tadi, kau terlihat sangat menyeramkan saat marah.." "Itu karena anda sangat menyebalkan." Aku merengut protes dan Denish tertawa menanggapinya, membuatku ingin sekali mencekik lehernya, atau menculupkan kepalanya ke kubangan air hujan untuk menghentikan tawanya. "Dasar remaja." Dia bergumam saat tawanya reda. "Dan kau pria tua yang menyebalkan." Dia menoleh cepat untuk menatapku lalu berseru. "Kau sangat kasar, Karisa. Dari mana kau belajar kata-kata seperti itu?" Kali ini aku yang tertawa, dengan Denish yang masih menatapku tidak percaya. "Aku kan berbicara yang sebenarnya.." "Hey, aku tidak setua itu.." "Anda memang setua ituu.. ku rasa anda seumuran dengan ayahku." "Tidak mungkin. Memang berapa umur ayahmu?" "43." "Yaak, aku baru 31 tahun." "Dan aku 18 tahun. Yaaa, anda sangat tua, Mr. Kellan." "Berhenti membicarakan umur, itu pembicaraan yang sangat sensitiv." Dia merajuk seperti anak kecil. "Tapi aku suka pria tua." Aku memeluk lengan yang tadi berada di pingangku, membuat langkah kami terhenti dan berdiri berhadapan. Denish cukup tinggi, entah lah, apa kata cukup cocok untuk mengambarkan. Saat kami berdiri berhadapan seperti ini tinggiku hanya sebatas dadanya, sehinga aku harus mendongak keatas untuk menatap wajahnya. Dan sekarang matanya yang tajam berkilat saat menatapku. "Tapi aku tidak suka gadis remaja." Suaranya yang berat membuatku hampir kehilangan napas, perutku terasa seperti di cubit saat mendengar suaranya yang bercampur dengan deru hujan, membuatku melepaskan lengannya dan menundukan kepala cepat. "Aku hanya menyukai Karisa." Dia meraih wajahku. Menariknya keatas hingga mata kami kembali bertemu. "Karisa Evanders." Mr. Kellan..." aku bergumam tidak jelas, menatapnya tidak percaya. Jantungku berdegup sangat kencang saat dia menyebutkan namaku dengan suaranya yang rendah, otot perutku menegang, dan wajahku terasa sangat panas walaupun sekarang tengah hujan. Dia mengusap pipiku dengan ibu jarinya, jarinya yang keras, terasa lembut dikulitku. Sudut bibirya saat mengamati wajahku, mungkin dia menemukan rona merah muda disana, membuatku cepat-cepat kembali menundukan kepala. "Lalu siapa pria tua yang kau maksud, Karisa?" Aku yang tengah menatap aspal tersirap dengan pertanyaan tidak terduga darinya. Tersenyum simpul sebelum akhirnya kembali mengangkat kepala. "Mr. Martin." Matanya melebar, lalu dia memiringkan kepalanya sebentar sebelum akhirnya kembali menatapku. "Oke." Dia berbalik, berjalan meninggalkanku di tengah hujan. "Yaaak!" Aku menutupi kepalaku dengan telapak tangan, lalu berlari mengejarnya. "Kau bisa pulang bersama Edgar, Karisa." Dia sedikit berteriak untuk mengalahkan suara hujan, tidak berniat untuk meperlambat langkahnya. "Anda sangat mudah marah, Mr. Kellan." Godaku setelah sudah kembali ke sisinya, tapi pria itu tampak enggan untuk berbagi payung denganku, memakainya sendiri hingga aku harus menarik diri sedekat mungkin kearahnya untuk berlindung. "Namanya Denish." Aku kembali menyusupkan tanganku ke lengannya, lalu memeluknya lagi. "Apa?" Dia menyahut dengan malas. "Pria yang aku suka. Namanya Denish, Denish Kellan." "Hmm.." "Hanya itu? Hmm saja?" Tanyaku mengoyang-goyangkan lengannya tidak percaya. "Kau ingin aku bagaimana? Toh aku sudah tahu sejak lama.." "Ya, kau memang pria tua menyebalkan!" Aku melepaskan pelukanku, lalu menyilangkan tangan di d**a. "Tapi kau menyukai pria tua itu, kan?" "Aku tidak!" "Kau baru saja mengakuinya, Nona Evanders." "Kau menyebalkan!!" Denish tertawa saat melihatku kesal, meraih kembali pinggangku dan menariknya mendekat. "Aku hanya belajar sedikit darimu, Karisa" tangannya bergerak ke belakang kepalaku, mengacak rambutku gemas, membuatku merengut. "Ngomong-ngomong, dimana rumahmu?" Dia menoleh untuk bertanya kepadaku. Jadi dia tidak tahu rumahku? "Tentu saja aku tahu rumahmu." Potongnya cepat seolah mengetahui isi pikiranku. "Di Palm street kan?" Dia menebak. "Aku membacanya data pribadi milikmu di sekolah." Jawabnya jujur membuatku terkekeh pelan. "Aku hanya ingin memastikan.." "Blok M12, Palm Street." Aku memberitahu, dan dia mengangguk-anggukan kepala sebagai tangapan. "Itu cukup dekat." Dia berkomentar. "Bagaimana dengan anda? Dimana anda tinggal?" Sebenarnya aku juga tidak tahu di mana dia tinggal, aku saja baru tahu jika ternyata rumah kami searah. "Paradise Tower." Aku terkejut dan menatapnya tidak percaya saat Denish menyebutkan sebuah nama yang aku ketahui sebuah apartemen mewah di pusat kota. "Lalu apa yang anda lakukan disini, Mr. Kellam?" "Mengantarmu pulang." Dia tampak sangat santai, kembali memiringkan wajahnya untuk menunjukan senyuman di bibirnya. "Kau tadi bilang kita pulang bersama." "Jika kau suka, kau bisa menyebutnya pulang bersama." "Kita tidak pulang bersama, rumahmu disanaa!" Aku menunjuk arah yang berlawanan di belakangku dengan kesal, dan dia kembali tertawa. "Kenapa kau sangat marah, hm? Kau tidak suka aku mengantarmu pulang?" "Suka..." aku mengatakan yang sejujurnya. "Hanya saja, kau tidak perlu melakukannya. Ku pikir kita searah jadi aku menyetujuinya." "Aku juga suka. Aku melakukannya karena aku menyukainya.." Aku kembali menatapnya tidak percaya, apa sebenarnya yang dipikirkan oleh pria tua ini? "Lalu bagaimana anda pulang?" Mengalihkan pembicaraan, aku memilih untuk bertanya hal lain kepadanya. "Mobilku di sekolah." "Anda membawa mobil?" "Apa aku harus jalan kaki pulang?" Dia balik bertanya seolah aku memberinya sebuah pertanyaan konyol. "Lalu kenapa kita jalan kaki sekarang? Kita bisa memakai mobilmu." "Itu terlalu biasa, aku tidak suka." "Tapi itu lebih praktis, Mr. Kellan." "Aku tidak menyukai sesuatu yang praktis." "Tetap saja, kita tidak perlu basah-basahan jika mengunakan mobil." "Kau tidak basah, aku memayungimu." "Lihat sepatuku basah, kakiku juga." Aku menunjuk kearah bawah. "Pundakku." "Maka mendekatlah." Dia menarik pinggangku semakin merapat kearahnya. "Anda sangat aneh, Mr. Kellan." "Dan kau menyukai pria aneh ini.." "Kau sangat percaya dirii." "Tapi kau menyukainya, kan?" "Aku tidak!" "Wajahmu mengatakan iya." "Kau menyebalkan!" Perjalanan pulangku kali ini sangat berbeda, wali kelasku yang merupakan pria yang aku suka mengantarku pulang. Dia juga membuatku hampir selalu berteriak di sepajang jalan karena tingkahnya yang sangat menyebalkan. Sepatu kami yang basah karena percikan air hujan berjalan berdampingan. Dan langkah kakiku sudah tidak sekaku tadi saat pertama kali berjalan disisinya. Hari ini hujan, tapi ini adalah kali pertamanya aku tidak begitu membenci hujan. Tidak, tidak, aku sama sekali tidak membencinya. Aku... sangat menyukai hujan hari ini. Entah sudah berapa lama aku termenung. jemari tanganku mematung diatas keyboard, sementara otakku berpetualang kemana-mana. Aku menghela napas panjang begitu tersadar. Mengusap wajahku kasar, frustrasi dengan apa yang baru saja aku pikirkan. Orang itu sangat berbahaya, entah apa yang sudah dia lakukan kepadaku, hingga memberi efek yang begitu besar terhadap hidupku sekarang. Atau disini aku yang salah? Apa yang sudah aku lakukan, hingga membuatku tidak pernah bisa lepas dari memori tentang dia? Menatap layar terang dihadapanku sebentar, aku memilih untuk menutup laptop. Memberes-bereskan barang-barangku dari atas meja dan memasukannya kedalam tas dengan cepat. Mengerjakan tugas dengan konsentrasiku yang terpecah seperti ini tentu bukan ide yang bagus. Aku tidak akan bisa menyelesaikan tugas ku dengan kondisiku sekarang. Dan deru hujan di luar sana sudah tidak terdengar lagi, membuatku semakin yakin bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untukku keluar dari perpustakaan. "Aku akan menyelesaikan tugasnya di rumah, ku kirim nanti kepadamu setelah selesai." Suaraku membuat tubuh Tania sedikit bergerak, mengeliat, lalu meregangkan otot tangannya keatas. "Aku mengantuk sekali.." gumamnya sambil menguap lebar. Mengucek kedua matanya, lalu menatapku yang tengah membereskan barang-barangku. "Kau akan pulang sekarang?" Dia bertanya sebelum meletakan kembali kepalanya ke meja. Aku bergumam pelan sebagai jawaban. Menatap gadis yang kini sudah kembali menutup matanya itu dengan gusar. "Apa kau berniat menginap disini?" Mood ku sedang tidak bagus, dan melihat kelakuan Tania membuatnya semakin buruk. "Aku akan tidur lagi sebentar." "Lalu bagaimana denganku?" Aku mengingatkan tentang janjinya untuk mengantarku pulang. "Aku terlalu mengantuk untuk membawa mobil." Jawabnya dengan mata terpejam. "Lagi pula kau juga tidak membutuhkanku." Aku hanya bisa menghela napas kasar menatap tidak percaya kearah gadis yang kini sudah kembali memejamkan mata. Ya, seharusnya aku menyadaringa sejak awal, Tania itu sama sekali tidak bisa diandalkan. "Cepat pulang setelah rasa kantukmu hilang." Pesanku sembari menyandang tas ranselku. "Aku akan pulang naik bus" terangku lagi walau aku tidak yakin dia mendengarkanku, melangkah meninggalkan Tania, keluar dari perpustakaan. Hujan belum sepenuhnya reda, menyisakan rintik-rintik lembut yang bisa aku lihat dari kilauan lampu penerang yang memancar. Berbekal map plastik ditanganku sebagai penutup kepala, aku mulai berlari menerobos hujan, menjauh dari perpustakaan, menyusuri area kampus yang sudah sangat sepi. Hawa dingin dari angin malam yang berhembus bercampur dengan rintik hujan menusuk kulitku yang tengah berlari. Membuatku sedikit menyesal telah meninggalkan mantelku untuk Tania. Seharusnya kau memikirkan dirimu sendiri saja, Karisa. Runtukku dalam hati dan terus berlari menuju gerbang kampusku. Tiba-tiba rintik hujan berubah cukup deras saat aku hampir sampai di pintu gerbang. Ku percepat langkah kakiku, berlari menuju halte bus, satu-satunya tempat berteduh yang letaknya paling dekat dengan kampus. Setengah basah, ku kibas-kibaskan bajuku yang terkena air hujan dengan tangan. Rambutku juga, lembab dan basah karena map yang kugunakan sebagai pelindung kepala tidak cukup membantu menghalau hujan yang tiba-tiba turun cukup deras itu. Sedikit meruntuk, aku memutuskan untuk duduk di bangku panjang yang tersedia di halte. Aku tidak sendirian di halte. Ada empat orang disana, dua diantaranya terlihat seperti mahasiswa dari kampusku, satu wanita cukup dewasa dengan setelan kantoran dan satu lagi pria paruh baya. Huh! Andai saja aku tidak menabrakan mobilku ke beton pembatas parkiran hingga bumper depanku remuk, aku tidak akan terjebak hujan seperti ini. Sepertinya aku dan hujan bukan kombinasi yang bisa di satukan, kami sama sekali tidak bisa berteman. Aku membenci hujan tanpa alasan, begitu pula sebaliknya. Menyebalkan. Ku lirik jam di pergelangan tanganku. Pukul tujuh lewat empat puluh lima menit. Seharusnya masih ada bus terakhir jurusan tempat tinggalku yang akan membawaku pulang. Hujan turun semakin deras, saking derasnya sampai halte yang tidak dilengkapi dengan dinding itu tidak bisa melindungi kami sepenuhnya dari air hujan yang terhembus oleh angin kencang. Aku memeluk ranselku erat, berusaha mengusir hawa dingin yang menerpa kulitku yang terbuka. Mataku terus menatap ke jalanan yang ramai kendaraan, berharap bus yang akan membawaku pulang cepat datang saat suara seseorang memecah keheningan. "Ku dengar ada kecelakaan di depan sana." Aku menoleh dan menemukan pria paruh baya itu yang tengah berbicara, nadanya sedikit berteriak, mencoba mengalahkan deru hujan yang sangat bising. "Benarkah?" Sahut si wanita tampak terkejut. Sementara aku dan dua mahasiswa lainnya hanya menyimak. "Benar, anakku yang pulang kerja baru saja mengirimiku pesan. Menyuruhku untuk pulang naik taksi karena mungkin bus akan datang terlambat, dia bilang lalu lintas sangat kacau disana." "Aa.. semoga mereka baik-baik saja." Kata wanita itu dengan nada prihatin. "Yaa, semoga saja." Pria paruh baya itu mengangguk setuju, mengakhiri pembicaraan mereka. Aku menegakan tubuhku saat melihat bus muncul di ujung jalan, berjalan pelan dan berhenti di depan halte. Namun aku kembali tertunduk lesu saat menyadari kalau itu bukan bus yang bisa membawaku pulang, bus itu memiliki rute perjalanan yang tidak mengarah ke tempat tinggalku. Berbeda denganku, dua mahasiswa yang tadi duduk langsung bangkit dan berlari untuk naik ke bus tersebut. Ya, Sepertinya mereka yang beruntung, bukan aku. Menghela napas panjang, menatap bus yang kini sudah kembali berjalan dan menghilang di persimpangan. Ku peluk tas ransel di pangkuanku dengan erat, berusaha menyalurkan hawa dingin yang aku rasakan akibat hembusan angin dan hujan yang belum ada tanda-tanda untuk reda. Sepertinya aku akan terjebak disini semalaman. Kulirik jam di pergelanngan tanganku. Sekarang jarum panjang sudah menunjuk ke angka delapan lebih, dan bus yang akan membawaku pulang belum nampak juga, sepertinya kecelakaan yang dibicarakan oleh pria paruh baya tadi benar-benar berimbas parah pada kemacetan. Tidak ada yang berbicara, hanya ada suara hujan dan kendaraan yang berlalu dari jalan raya di hadapanku. Sebuah taksi berhenti di depan halte, membuatku sedikit bereaksi. "Apa kau ingin mengunakan taksinya dulu?" Tawar pria paruh baya itu kepada si wanita, menunjuk kearah taksi yang berhenti di depan sana. "Ah, terimakasih, anda bisa menggunakannya. Saya sudah menelepon teman saya untuk menjemput." Jawab wanita itu sopan, dan pria itu menganggukan kepala, lalu beralih menatapku. "Kau bisa mengunakannya lebih dulu." Tawarnya kepadaku dan aku langsung mengelengka kepala cepat. "Terimakasih, Tuan. Anda bisa mengunakannya, aku akan pulang naik bus." Tolakku sopan, merasa tidak enak. Usianya sudah lebih setengah abad, dan terlihat letih, tentu aku yang masih sangat muda yang harusnya mengalah. "Kalian benar-benar tidak ingin mengunakannya?" Tanya pria paruh baya itu sekali lagi, dan kami berdua serempak mengelengkan kepala. "Baiklah, kalau begitu aku akan mengunakannya." "Silahkan, silahkan." Si wanita mempersilahkan, dan pria itu tersenyum lalu berlari menerobos hujan menuju taksi. Susana kembali hening, dan hujan masih turun dengan intensitas yang sama bercampur angin kencang. Bus yang akan membawaku pulang tidak kunjung datang. Dan hujan tidak memungkinkan aku untuk mencegat taksi di pinggir jalan seperti biasa. Aku hanya bisa pasrah sekarang. Aku menghela napas lagi, meruntuki nasib burukku dalam hati. Mobil rusak, hujan, tugas, dan Tania. Semuanya menyebalkan, tidak berguna! Teringat akan Tania, apa gadis itu sudah pulang? Jika belum, aku bisa memintanya untuk mengantarku pulang seperti yang dia janjikan. Kubuka tas ransel yang berada di pangkuanku. Aku tengah mengacak isinya untuk mencari ponselku saat terdengar suara klakson mobil berbunyi dua kali. Kuangkat kepalaku sebentar, dan menemukan Audi hitam berhenti di depan halte. Ah, itu teman wanita disampingku yang dia bilang akan menjemputnya. Menyenangkan sekali memiliki seseorang untuk diandalkan disaat seperti ini. Aku merasa sedikit iri. Aku kembali fokus ke isi tasku, mencari ponselku dengan pencahayaan yang minim membuatku sedikit kesulitan. Berbagai macam barang yang aku masukan secara asal ke dalam tas tadilah yang memperburuk semuanya. Note, charger ponsel, kotak pensil, charger laptop, harddisk, kalkulator, headset, kabel usb, dan.. ponsel! Akhirnya tanganku menemukan benda berbahan metal tersebut. Ku hidupkan kembali daya ponselku, sembari menutup ranselku. Menegakan tubuhku dan kembali menatap ke depan. Mataku menemukan sosok pria turun dari Audi hitam yang berhenti di depan halte tadi. Pria ity mengunakan pakaian serba hitam, lengkap dengan mantel warna senada. Saat melihat penampilannya, otakku secara otomatis memutar satu nama. Tapi payung hitam yang dia gunakan menutupi separuh wajah, menghambatku untuk mengenali identitasnya. Jantungku berdebar saat melihatnya semakin dekat, berjalan seperti gerakan lambat di mataku. Dan bibir tipis yang kini hanya membentuk garis lurus tanpa ekspresi, satu-satunya bagian wajah yang tidak tertutup oleh payung hitamnya. Aku mengenalinya, bibir itu, aku mengenalinya. Dia berhenti melangkah, menurunkan payungnya saat sudah sampai di area halte. Mataku melebar saat mengenali siapa pria yang kini berdiri di hadapanku itu. Pria itu..., Denish Kellan. TBC haiii.. kalian yang mau membaca cerita ini.. terimakasih banyakk ❤❤❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD