Tiga

3288 Words
September dan hujan sepertinya adalah dua hal tidak bisa di pisahkan. Seperti hari ini, seolah sudah menunggu, gerimis perlahan langsung turun saat aku keluar dari kelas. Sama halnya dengan hujan dan Denish. Setiap hujan mulai turun, ingatan tentang Denish langsung merasuk kepalaku tanpa diundang. Sangat menganggu. Walau waktu sudah dua tahun berlalu, tapi ingatan-ingatan itu masih terlalu nyata di otakku. Terlebih setelah bertemu di reuni waktu itu. Perasaan yang berusaha aku segel jauh dalam hatiku, perlahan kembali muncul ke permukaan. Seolah pertemuanku dengan Denish waktu itu menjadi memicu bangkitnya kembali perasaanku. Menepis bayangan Denish, aku bergabung dengan yang lainnya, memilih untuk berlari menerobos gerimis, sebelum mereka berubah pikiran untuk menjadi hujan lebat. Langit sudah mulai redup walaupun sekarang jam di pergelangan tanganku masih menunjuk ke angka setengah lima sore. Jam kuliahku sudah berakhir, tapi hari ini aku tidak bisa langsung pulang karena masih ada tugas kelompok yang harus aku kerjakan di perpustakaan kampus. Sebenarnya kami sudah berniat mengerjakannya kemarin. Tapi batal karena Seta, salah satu anggota kelompok kami sakit, dan Erin, pacarnya yang kebetulan juga satu kelompok dengan kami memutuskan untuk merawat pacarnya itu. Kebetulan yang sangat tidak menguntungkan. "Karisa!" Tania melambai, memanggilku dengan suara keras. Semua mata yang berada di perpustakaan, termasuk aku langsung menatap kearahnya yang duduk di meja pojok. Mata mereka berkilat tidak suka, merasa terganggu dengan suara Tania. Merasa menjadi pusat perhatian, Gadis itu langsung memasang wajah menyesal. Dia sangay sadar aka kesalahannya. Selain dilarang membawa makanan, hal yang tidak boleh dilakukan di perpustakaan adalah berbicara dengan keras. Jadi disini tidak ada yang berbicara lebih dari 45 desibel. "Mana yang lainnya?" Tanyaku sambil melepas mantelku yang sedikit basah karena hujan saat sudah sampai di mejanya yang hanya diisi oleh Tania seorang diri. Menatap sekeliling, dan mataku tidak menemukan keberadaan Seta dan Erin dimana-mana. Apa mereka belum datang? Atau terjebak hujan diluar sana? "Erin tertular Seta." Jawab Tania saat aku duduk di salah satu kursi. "Benarkah?" Aku terlunglai lemah di kursiku. "Sudah kubilang untuk jangan dekat-dekat dengan Seta, tapi Erin masih saja bersikeras untuk merawat pacarnya itu. Semua orang juga tahu kalau flu itu cepat sekali menyebar." Kata Tania lagi dengan nada kecewa. "Jadi hanya kita berdua sekarang?" Tanyaku menatap Tania yang langsung menganggukan kepala mengiyakan. Ini buruk sangat buruk. Dengan ketidak hadiran Erin dan Seta itu artinya hanya ada aku dan Tania. Dan Tania itu adalah ketidak beruntunganku yang lainnya. Otaknya sangat tidak bisa diandalkan. Satu-satunya alasan dia bisa berada di kelompokku adalah karena belas kasihanku. Aku merupakan satu-satunya harapan yang bisa dia andalakan untuk mendapat nilai bagus tanpa harus mengandalkan otak kopongnya. "Erin bilang dia dan Seta akan mengerjakan bagiannya di rumah dan mengirimnya setelah selesai, jadi kita hanya perlu mengerjakan bagian kita sendiri." Terang Tania lagi dengan mata berbinar, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang. Kita yang dia maksud adalah aku seorang. Karena yang bisa Tania lakukan hanyalah mengoceh tidak jelas kesana kemari, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas kelompok kami. Ya, paling tidak ocehannya bisa membantuku mengusir rasa kantuk, membuatku tetap membuka mata sampai menyelesaikan bagianku. Tapi kalau semua mengerjakan bagiannya sendiri-sendiri, kenapa aku harus tetap mengerjakannya disini? Bukankah lebih enak jika aku mengerjakannya di rumah? "Jangan berpikir untuk pulang." Kata Tania cepat memotong bayanganku. Membuatku menatapnya dengan pandangan dari mana kau bisa membaca pikiranku? "Aku sudah membatalkan kencanku demi ini, kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja." Lanjutnya lagi sebelum aku sempat menyanggah perkataannya. "Kenapa aku harus pulang?" Sahutku pura-pura membantah ucapannya. "Lagi pula kau juga harus mengerjakan bagianmu." Aku buka tas ranselku, dan mengeluarkan laptopku dari sana, lalu meletakannya di meja. "Aku mempercayakan bagianku kepadamu sepenuhnya, Karisa." Tania meraih satu tanganku dan mengenggamnya erat. "Aku yang akan mengeprint tugasnya besok, dan mentlaktirmu makan siang enak." "Aku tidak semiskin itu, tahu?" Gumamku malas menanggapi Tania yang selalu berusaha menyuapku dengan harta orangtuanya. Ku lepaskan diri dari tangan Tania dan mulai menyalakan laptopku. "Sesuatu terjadi? Ku rasa suasana hatimu sangat buruk akhir-akhir ini." Tania menopang dagunya, menatapku dengan pandangan tidak bersemangat. "Aku tidak membawa mobil dan sekarang turun hujan. Haruskah aku senyum penuh kebahagiaan sekarang?" Jawabku tanpa menatap kearahnya, mataku fokus ke layar laptopku, memutuskan untuk ulai mengerjakan tugas kuliah kami tanpa membuang-buang waktu dengan Tania. "Kalau begitu kau bisa mengandalkanku, Karisa. Aku akan mengantarmu pulang, sampai depan rumah. Janji." Dia kembali meraih lengan ku, bertingkah seperti anak anjing disana. Dia selalu bersikap manis, saat membutuhkan bantuanku. Cih! "Haruskah?" Aku pura-pura jual mahal. "Apa kau punya pilihan lain?" "Oke. Jika itu maumu." Aku mengangguk menyetujuinya. "Tapi ingat, jangan bersikap seolah aku yang meminta bantuanmu. Dan bertingkah seolah aku memiliki hutang dan harus membalas budi suatu saat nanti." "Tidak. Aku tidak seperti itu." Tania terlihat tidak terima dengan ucapanku. "Kapan aku bertingkah seperti itu?" Protesnya dengan wajah cemberut. "Kau selalu bertingkah seperti itu." Aku mengingatkan masih dengan mata fokus ke layar laptopku sementara jemariku menari cepat diatas keyboard, menghadiahinya dengan sebuah senyum di sudut bibir, membuat Tania menghentakan kakinya ke lantai. "Ngomong-ngomong, kenapa lagi dengan mobilmu? Kau tidak membawanya sejak kemarin." Tania kembali bersuara setelah diam beberapa saat, dia memang selalu menemukan bahan pembicaraan dengan mudah. "Masuk bengkel. Bumper depanku hampir lepas." "Lagi?!" "Sstt!" Desisku memperingatkan dengan nada rendah, membuat gadis itu spontan menutup bibirnya dengan tangan. "Lagii??" Tanya dia lagi setengah berbisik, setelah menatap kesekeliling dengan hati-hati. "Kau baru menghancurkan bumpermu bulan lalu." Aku mengangkat bahu acuh menanggapinya. Terlalu malas untuk meladeni Tania. "Sudah sering ku bilang jangan menyetir ugal-ugalan. Kau pikir kau itu Valentino Rossi?" "Apa hubungannya?" Tanyaku kali ini melirik sekilas kearah Tania. "Kau tidak tahu? Valentino Rosii suka mengebut." "Dia tidak mengebut mengunakan mobil." "Tetap saja dia suka mengebut." Sahut Tania tidak mau kalah seperti biasa. Membuatku hanya bisa menghela napas, memilih untuk tidak menanggapinya, lagi dan fokus ke tugas kelompok yang tengah aku kerjakan. Langit sudah sepenuhnya gelap. Jam besar yang menempel di dinding perpustakaan sudah menunjuk ke angka tujuh lewat. Gemuruh hujan terdengar begitu hebat, menandakan hujan lebat masih turun diluar sana. Tugasku hampir selesai, mungkin aku sudah mengerjakannya sekitar 80%. Cukup cepat, mengingat aku hanya mengerjakannya seorang diri. Mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan menemukan beberapa orang masih mengisi bangku perpustakaan, sibuk dengan urusan masing-masing. Sementara Tania. Dia sudah tertidur dengan posisi kepala diatas meja sejak satu jam yang lalu setelah membuatku pusing dengan ocehannya yang panjang kali lebar kali tinggi. Dia pasti kelelahan berbicara, ditambah dengan suasana hujan dan juga ac ruangan yang memang sangat cocok untuk pergi tidur. Huh! Membuatku iri saja. "Mmmm.. nyam.. nyam.. nyamm.." aku melirik kearah Tania yang bergumam tidak jelas. Matanya masih terpejam, menandakan jika dia berbicara dalam tidurnya. Tangannya mengosok-gosok bagian bahunya yang terbuka. Entah apa yang dia pikirkan. Memakai dress tanpa lengan di musim hujan. Dia benar-benar tidak mengunakan otaknya dengan benar. Menghela napas panjang, Ku raih mantelku yang tersampir di kursi, dan menyelimuti tubuh Tania yang masih tidur dengan hati-hati. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Beeb.. beeb..beebb... Itu suara ponselku. Berbunyi dari dalam tas, tanda menerima pesan masuk. Aku memilih tidak mengubrisnya, mengingat banyak pesan spam yang selalu aku terima akhir-akhir ini. Tentang pemberitahuan diskon besar-besaran akhir tahun dan juga beberapa nomor asing yang mengaku sebagai anggota keluargaku yang meminta kiriman pulsa. Apa yang bisa diharapkan dari seorang jomblo? Tidak ada yang peduli dengan bagaimana aku menjalani hari. Paling hanya ibu dan ayahku yang sesekali menelepon atau mengirim pesan, mengingatkan aku agar tidak telat makan atau tidur terlambat. Beeb.. beeb.. beeb.. Beeb.. beeb.. beeb.. Ponselku kembali berbunyi, kali ini tidak hanya sekal, menandakan aku menerima pesan beruntun. Siapa sih? Dengan enggan ku rogoh tasku dan mengeluarkan ponselku dari sana, lalu membuka kunci layarnya. Alisku naik saat menatap tiga pesan yang baru saja aku terima, pesan dari nomor yang tidak aku kenal. From : 089874564234 Kau dimana? 19:12 Hari ini hujan 19:13 Dahiku mengerut dalam, membaca ulang pesan yang baru saja aku baca, lalu mengamati nomornya sekali lagi. Siapa ya? Nomornya terlalu asing, sepertinya aku belum pernah melihatnya. Bukan nomor Evan juga, walau aku sudah menghapus kontaknya minggu lalu, tapi aku sedikit hafal dengan nomornya. Dan aku pastikan ini bukan dia. Apa ayah? Atau ibu? Tengah berpikir keras, ponselku kembali berbunyi. Beeb.. beeb.. Ku buka pesan yang baru saja aku terima. Masih dari nomor yang sama. Aku mendapatkan nomormu dari Tania 19:16 Apa kau masih mengerjakan tugas. 19:16 Ku dengar dari Tania kau tidak membawa mobil. Butuh tumpangan untuk pulang? 19:17 Saat nama Tania disebut, otakku melayang ke belakang. Aku rasa gadis itu sempat berbicara tentang ini diantara banyaknya ocehan yang dia keluarkan. "Woo, Karisa. Ku rasa kau menpunyai pengagum rahasia.." gumam Tania tersenyum, menatapku dengan pandanhan penuh arti dengan ponsel di tangannya. "Apa maksudmu?" Aku tidak paham dengan arah pembicaraannya. Tiba-tiba membicarakan hal seperti itu, padahal beberapa saat yang lalu dia tengah mengocehkan tentang penjual es boba di depan kampus yang menurutnya cukup tampan. "Dia meminta nomormu.." lanjutnya lagi membuat jariku berhenti bergerak diatas keyboard. "Jangan memberikan nomorku ke orang sembarangan." Aku memperingatkan. "Tapi ini bukan sembarang orang.." kata Tania tanpa menatapku, sibuk mengetikan sesuatu di ponselnya. Dan aku memilih untuk bersikap bodo amat. Tania memang seperti itu. Sangat suka berbicara ngawur dan hal tidak penting dan melebih-lebihkannya. Ditengah lamunanku, ternyata aku sudah menerima satu pesan baru lagi. Ku tekan tanda open untuk membacanya. Dan mataku membelalak lebar saat membaca tiga kata yang tertera disana. Ini aku, Denish 19:18 Refleks ku lempar ponsel ditanganku ke meja, saking kagetnya. Menimbulkan suara keras yang membuat Tania melonjak kaget. Wajahnya kusut yang masih terlihat cantik itu menatapku bingung. "Apa itu tadi?" Tania menguap lebar, lalu mengusap wajahnya beberapa kali. Matanya menatap sekeliling, sebelum akhirnya kembali menatapku. "Kasar sekali caramu membangunkanku." Omelnya kembali menjatuhkan kepalanya keatas meja. "Sudah selesai?" Tanya dia kembali menguap. "Bagaimana bisa kau bertanya sudah selesai apa belum saat yang kau lakukan hanya tidur." Omelku setengah kesal, menatap Tania yang kini sudah memejamkan mata. "Maaf.." gumamnya setengah sadar, membuatku hanya bisa mengelengkan kepala dengan tingkahnya. Ku lirik ponselku yang masih tergeletak du meja, dan meraihnya. Tidak ingin diganggu, aku memutuskan untuk mematikan ponselku sebelum  memasukannya kembali kedalam tas. Menarik napas panjang, ku menghembuskanya keras-keras. Berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayap kedalam otakku. Tidak ingin pesan-pesan yang baru saja ku terima mengalihkan fokus, aku kembali menatap layar laptop. Ingin cepat-cepat menyeselesaikan tugasku lalu pulang. Ku melanjutkan mengetik huruf demi huruf di keyboard. Mencoba merangkai kata-kata untuk menyelesaikan tugas milik Tania. Tapi otakku sama sekali tidak mau diajak bekerja sama. Perlahan fokusku teralihkan. Kalimat-kalimat dari pesan yang aku terima kembali tergiang. Butuh tumpangan untuk pulang? Ini aku, Denish. Denish.. Denish.. Denish.. Denish.. Dan tanpa aku sadari, otakku sudah kembali berlayar ke kenangan masa lalu. Teet! Teet! Teet! Teet! "Yeey!" Suara bel tanda istirahat berbunyi, disambut dengan teriakan suka cita dari penghuni kelas XIIA. Mereka semua memang sudah SMA, tapi kelakuan masih seperti anak TK. "Harap tenang! Harap tenang!" Suara Mr. Kellan sukses membuat seisi kelas diam. Duduk rapi di meja masing-masing, walaupun ada satu dua murid yang mengabaikan dan masih asik mengobrol sendiri. Setelah merasa semua sudah memperhatikan, Mr. Kellan kembali berbicara. "Berhubung besok sudah mulai libur natal dan tahun baru..," "Yeey!!!" Suara teriakan heboh kembali menginterupsi Mr. Kellan yang tengah memberi pengumuman. Ada yang memukul-mukul meja, ada yang jejingkrakan dan kebanyakan berbicara sendiri-sendiri. Suasana kelas kembali bising. Mungkin aku hanya aku satu-satunya yang duduk diam. Tidak-tidak, aku dan Annie, teman sekelasku yang tunawicara. Tania yang duduk di sampingku juga tidak mau kalah, menarik-narik lenganku dan mengguncangnya dengan keras. Melihat reaksiku tidak seperti yang dia inginkan, dia melepaskanku, berbalik dan berteriak bersama Clara, gadis yang duduk di bangku belakang. Aku menatap ke depan, kearah Denish yang hari ini mengenakan kemeja putih panjang yang bagian legannya sudah di gulung sampai siku, celana bahan hitam, dan sepatu warna senada, tampan seperti biasanya. Matanya yang tajam berkilat kesal karena tingkah seisi kelas. Saat mata pandangan kami bertemu, dia memutar irisnya, menunjukan kegusarannya kepadaku, dan aku hanya bisa tersenyum simpul sebagai balasan. Aku melihatnya mengambil penggaris kayu dari meja, lalu melangkah menuju papan tulis. "Harap diam!" Brak! Brak! Brak! Dia memukul papan tulis dengan penggaris di tangannya. Membuat kelas hening dalam hitungan detik. "Tidak bisakah kalian memberiku waktu untuk bicara sebentar? Kalian bisa berbicara sepuasnya setelah aku keluar." Ucapnya tegas membuat semuanya terdiam. "Baiklah." Suaranya kembali melunak setelah meletakan penggaris ditangannya di bawah papan tulis. Lalu melangkah maju ke tengah. "Karena besok sudah mulai libur natal dan tahun baru." Dia mengulangi kata-katanya lagi, dan kali ini tidak ada lagi teriakan heboh sebagai sambutan. "Mengingat sekarang sudah mendekati waktu ujian, aku harap kalian bisa mengunakan waktu libur kalian sebaik-baiknya.." "Baik, Mr. Kellan.." balas satu kelas serentak. "Bagus. Jangan terlalu keras belajar, tapi jangan terlalu malas juga." Katanya lagi disambut gelak tawa seisi kelas. "Tanpa aku jelaskan tentu kalian semua juga sudah paham bagaimana harus membagi waktu kalian sendiri untuk belajar dan bersenang-senang. Kalian mengerti kan maksudku?" Tanya sang wali kelas dengan senyuman. "Mengerti, Mr. Kellan.." kami kembali menjawab bersama-sama. "Baiklah, aku mempercayai kalian. Jadi, aku harap kalian juga tidak mengecewakanku." Katanya lagi dan kami kembali mengiyakan perkataannya. Denish melangkah kembali ke mejanya untuk membereskan buku-bukunya disana. "Ah, dan untuk tugas akhir yang aku berikan minggu lalu, kalian bisa mengumpulkannya sekarang." Ucapnya setelah selesai membereskan buku-bukunya, dan membawanya di bawah bahu. Selesai sang guru berbicara, satu persatu murid kelas mulai maju ke depan untuk mengumpulkan buku tugas mereka. "Sudah semua?" Tanya Denish saat seisi kelas sudah kembali duduk di kursi masing-masing. "Sudah, Mr. Kellan.." "Bagus. Kalau begitu kita sudahi kelas kita hari ini. Merry christmas and Happy new year untuk kalian semua." "Merry christmas and Happy new year, Mr. Kellan.." Dia tersenyum mendengar jawaban kami langsung melangkah keluar kelas. Tapi dua langkah menuju pintu dia kembali berbalik, menatap kearahku. "Karisa, bisa kau bantu aku membawakan buku tugas itu ke ruanganku?" Pintanya membuatku cukup terkejut. "Aku?" Aku tergugup, menatap Denish tidak percaya. "Ah, iya, Mr. Kellan. Aku akan membawanya." Lanjutku kemudian setelah menyadari jika perintahnya itu cukup masuk akal. "Terimakasih." Ucapnya lalu melenggang keluar dari kelas. "Kenapa dia memintamu? Bukankah hal seperti itu adalah tugas ketua kelas?" Tanya Tania setelah Mr. Kellan sudah keluar dari kelas dan aku hanya bisa menggangkat bahu sebagai jawaban. "Kau bisa bertanya sendiri ke Mr. Kellan jika penasaran, Tania." Kataku sambil membereskan buku dan memasukannya ke dalam tas. "Apa kau ingin membantuku mengumpulkan tugas?" Dia mengelengkan kepala cepat tanda menolak. "Aku sudah sangat lapar dan tidak memiliki tenaga sisa untuk itu." Alasan yang membuatku memutar iris jengah. "Kau lebih kuat dari pada aku, Karisa." Dia bangkit dari kursi dengan kantung bekal ditangannya. "Aku menunggumu di taman belakang." Ucapnya bersemangat dan melesat keluar dari kelas. "Cih! Sangat tidak setia kawan." Gerutuku sendirian lalu bangun setelah selesai membereskan barang-barangku. Menuju meja guru. "Sudah semuanya ya?" Tanyaku kepada teman-temanku yang masih tersisa didalam kelas karena sebagian besar sudah keluar untuk menikmati jam istirahat. "Aku sudah." Jawab Veena yang duduk di bangku paling belakang. "Aku juga sudah." Kata yang lainnya. "Baiklah, kalau begitu aku akan membawanya sekarang." Kataku sambil merapikan susunan buku tugas itu lalu mengangkatnya. Ternyata cukup berat. Aku melangkah keluar kelas, menyusuri lorong depan kelas dengan setumpuk buku di tanganku. "Kenapa dia menyuruhku untuk melakukan hal yang seharusnya bukan tugasku?" Runtukku sendirian menyusuri lorong sambil memikirkan alasan tepat kenapa Mr. Kellan memintaku untuk mengumpulkan buku tugas. "Apa dia kesal karena aku menertawakannya tadi? Lalu menghukumku dengan ini?" Aku menerka-nerka. "Ck! Sangat kekanakan!" "Siapa yang kekanakan?" Suara berat itu itu sukses membuatku melompat kaget. Menoleh dan menemukan pria berkemeja putih sudah berdiri disana. "Astaga! Anda membuatku terkejut." Protesku di sambut dengan seringai puas di bibir tipisnya, membuatku kesal setengah mati. "Maaf." Dia melangkah maju, jelas tidak ada penyesalan dari nada suaranya. "Apa itu berat?" Tanya dia saat sudah sampai di hadapanku. "Biar aku yang membawanya." Dan aku tidak menolak saat dia mengambil alih tumpukan buku ditanganku. "Kenapa memintaku, jika anda bisa membawanya sendiri, Mr. Kellan." Aku mengerutu membuatnya terkekeh saat menatapku. "Aku tetap butuh bantuanmu. Kau bisa membawakan ini untukku." Dia menunjuk kearah beberapa buku cetak yang selalu dia bawa dengan matanya. "Bantu aku membawa itu." Katanya lagi, dan sekali lagi aku hanya bisa menurut. Dengan buku di tangan masing-masing kami berjalan berdampingan menyusuri lorong panjang menuju ruang guru. Lengannya sesekali menyentuh bahuku saat berjalan, entah sengaja atau tidak. Sedikit sentuhan yang membuat perutku terasa kaku. Dan aromanya, aku suka aromanya yang khas menguar dari tubuhnya yang menjulang, membayangkan saja membuat wajahku berwarna merah muda. Berusaha mengusir pikiran aneh dari otak, aku memutuskan untuk mulai berbicara. "Apa maksud anda memintaku melakukan ini, Mr. Kellan?" "Hm?" Denish memiringkan wajahnya untuk menatapku. "Menyuruhku mengumpulkan tugas, anda tahu itu tugas Steve, kan" Aku menyebut nama ketua kelas kami yang biasa  mengumpulkan tugas. Denish menatapku beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat bahunya enteng lalu menjawab. "Karena aku bisa, Karisa." "Anda terbiasa menyalah gunakan kekuasaan, ya?" Sindirku membuatnya tertawa. "Kalau boleh jujur, aku melakukannya karena merindukanmu." Ucapnya lebih mirip sebuah gumaman, tapi sukses menghentikan langkahku, langkah kami. "Anda tidak boleh mengatakan hal seperti itu disini, Mr. Kellan." Protesku menatapnya tidak percaya. "Kenapa tidak?" Jelas dia hanya pura-pura bodoh. "Maka mulai sekarang jangan menghindariku lagi." "Aku tidak menghindar!" Matanya menyipit saat menatapku. "Lalu kenapa kau berlari seperti melihat hantu setiap kali berpas-pasan dengan ku?" "Itu.." "Itu menghindar." "Terserah lah!" Sahutku gusar dan melangkah cepat meninggalkan Denish di belakang, dan pria itu malah tertawa sebagai tanggapan. "Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Ajaknya setelah berhasil menyamakan langkahnya denganku. "Jelas aku tidak bisa." "Kenapa?" Suaranya terdengar tidak suka. "Aku harus makan siang bersama Tania. Dia akan curiga jika aku terus menghilang di jam istirahat." "Selalu saja gadis itu masalahnya." Runtuk Denish kesal, kali ini aku yang tersenyum. "Tidak bisakah mau berterus terang dengannya tentang kita?" "Bagaimana dengan anda, Mr. Kellan. Apa anda bisa memberitahu Mr. Martin atau Miss Fani tentang kita?" Balasku masih dengan senyum di bibirku. "Jelas itu hal yang berbeda. Kami tidak cukup dekat untuk membicarakan hal itu." "Sama halnya denganku. Aku juga tidak cukup dekat untuk membicarakan ini dengan Tania." "Kalau tidak dekat, kenapa kau selalu makan siang bersamanya?" "Kau bahkan memeluk wanita yang tidak cukup dekat dengan mu." "Yak! Karisa!" Teriaknya cukup kencang hingga tingkat hampir mengumpat, dia meraih pergelangan tanganku dan menarikku untuk menghadap kearahnya. "Aku tidak pernah memeluknya, dia yang memelukku." Desisnya dengan nada rendah dengan penuh penekanan. Dan aku tersenyum puas saat melihat wajahnya yang tampak sangat kesal. "Kendalikan diri anda, Mr. Kellan. Kita sudah sampai." Aku tersenyum geli, menunjuk kearah ruang guru yang sudah berada di hadapan kami dengan dagu. "Aku akan meletakan ini di meja anda. " lanjutku lagi menunjukkan bukunya yang berada di tanganku. "Bagaimana dengan pulang bersama?" "Ha?" Aku menatapnya tidak paham. "Kalau tidak bisa makan siang, bagaimana kalo kita pulang bersama." "Berdua?" "Bertiga, dengan Mr. Martin juga." Mataku melebar, menatapnya tidak percaya. "Tentu berdua, bodoh." Dia kembali berbicara sebelum aku sempat menemukan suara. "Bagaimana?" Mataku mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya mengangguk. "Boleh." Kedua sudut bibir tipis naik saat mendengar jawabanku, membentuk sebuah senyuman manis yang membuat lututku terasa seperti jelly. Aku sama sekali belum terbiasa dengan semua ini. Senyumannya, atau sikap manis saat dia bersamaku. Selama hampir setahun ini aku mengenalnya sebagai wali kelasku yang cukup dingin dan guru yang sangat disiplin. Dan sekarang, selama beberapa minggu ini semenjak insiden payung dan makan siang waktu itu sikapnya kepadaku berubah sangat banyak. Walaupun masih tetap menyebalkan, tapi dia menjadi lebih manis dan terkadang cukup aneh. "Good." Dia menggulurkan jemarinya ke rambutku, lalu mengusapnya lembut. Aku masih terpaku di tempatku saat dia sudah kembali bersuara."Berikan saja padaku, aku akan membawanya sendiri." Pintanya meraih buku di tanganku dan mengambil alihnya. "Kembalilah ke kelas dan makan siang, kau akan kehabisan waktu." Aku mengangguk, lalu berbalik. Melangkah cepat ninggalkan Denish tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku. Dan wajahku, wajahku terasa sangat  panas sekarang! Apa itu tadi? Bagaimana dia bisa menyentuhku seperti itu disana? TBC Note: mungkin kalian menemukan typo. maaf yaa..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD