“Papa,” ucap Stefanie yang merasa ketakutan dan Tristan langsung berdiri tegap di samping ranjang kekasihnya.
“Buat lamarannya secepat mungkin dan jangan ditunda lagi sebelum saya berubah pikiran,” ucap Steve dengan tatapan dingin dan Tristan langsung mengangguk.
“Baik Om, saya juga sudah melaksanakannya,” ucap Tristan dan Stefanie tidak berani menatap wajah Papanya sedangkan Steve masih memandang putri kecilnya yang kini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa.
Sebagai seorang Ayah, ia memang sangat menyayanginya dan juga mencemaskannya jika terjadi sesuatu dengan putrinya. Melihat keadaaan ini ia memang sangat kecewa sekali dan marah sudah pasti. Tetapi yang Steve tak bisa bayangkan bagaimana jika princesnya ini pergi dari rumah ini nanti. Selama ini hanya Stefanie seorang yang meramaikan rumahnya. Kedua anak kembarnya berada di luar negeri melanjutkan study-nya dan Steffan juga sudah bersama dengan istrinya.
Steve keluar dari dalam kamar Stefanie begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata. Hatinya begitu terluka. Sama seperti yang dirasakan Stefanie saat ini, ia juga cukup terluka. Terluka karena telah mengecewakan banyak pihak. Terluka karena telah berbuat kesalahan yang sangat besar.
Stefanie mencoba memejamkan kedua matanya sambil mengatur nafasnya.
“Sudah jangan menangis lagi. Papa kamu sangat menyayangi kamu dan dia pasti juga merasa sedih. Kalau kamu sedih seperti ini, itu akan membuat Papa kamu semakin merasa sedih juga. Jadi kamu harus kuat dan kita akan melewatinya bersama,” ucap Tristan meyakinkan.
Tapi Tristan masih melihat kekasihnya yang terus menitikan air matanya. Tristan menghembuskan nafasnya. Ia mencoba menenangkan kekasihnya kembali.
“Kalau kamu terus menangis, sedih dan sampai tidak mau makan juga bagaimana dengan keadaan bayi di dalam kandungan kamu nanti? Dia juga pasti sangat sedih sekali. Apa kamu ingin membuat aku juga sedih? Apa kamu sekarang menyesalinya? Apa kamu tidak ingin menikah dengan aku?” semua pertanyaan Tristan lontarkan. Ia ingin tahu bagaimana perasaan kekasihnya ini.
“A-aku… Aku tidak tahu, aku hanya merasa bersalah dengan semua ini. Aku benar-benar takut,” ucap Stefanie lirih.
“Apa yang membuat kamu takut? Papa kamu baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja kan tadi aku sudah bilang juga,” ucap Tristan lalu mengetuk kening Stefanie dengan jari telunjuknya.
“Huuhhh sakit Tristan,” ucap Stefanie lalu menggigit lengan kekar Tristan.
“Aaaaa… Hahahaha.”
“Rasakan gigitan maut drakula Stefanie.”
Tristan tersenyum, ia senang bisa melihat kembali senyuman manis di wajah kekasihnya itu. Senyuman yang sulit untuk di tebak entah itu senyuman mencurigakan atau senyuman tulus karena Stefanie sering sekali berbuat usil.
“Aku pulang dulu ya. Kamu istirahat dan sampai bertemu besok sayang,” ucap Tristan.
Stefanie sudah mengerucutkan bibirnya dengan manja sekali dan Tristan langsung mengecupnya berkali-kali.
“Besok aku kesini lagi setelah pulang dari Hotel,” ucap Tristan.
“Hotel? Mau apa kamu ke sana?” tanya Stefanie sambil memicingkan kedua matanya.
“Mau lihat sudah sampai mana mereka mengerjakan dekorasi untuk pertunangan kita sayang, memangnya apa yang kamu pikirkan hmmm?” ucap Tristan sambil menarik kedua pipi Stefanie.
“Sakiiiiittt,” ucap Stefanie lalu memukul kekasihnya dengan bantal.
Tristan tertawa lalu ia mengacak rambut kekasihnya. “Sudah ya, aku mau pulang dulu,” ucap Tristan dan Stefanie menganggguk lalu ia turun dari tempat tidur.
“Biar aku antar kamu sampai depan,” ucap Stefanie lalu memeluk manja lengan kekar kekasihnya ini.
“Hmmm boleh,” jawab Tristan lalu mereka berdua keluar bersama.
Di ruang tamu sudah terlihat ada Steve di sana yang sedang duduk santai sambil menonton televisi. Dan Stefanie sudah menarik-narik kaos milik kekasihnya.
“Tidak apa-apa,” bisik Tristan.
“Om, saya mau permisi pulang dulu,” ucap Tristan dan Steve tidak menanggapinya sama sekali.
“Lho sudah mau pulang? Tidak makan kue dulu?” tanya Shasha yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa secangkir kopi untuk suaminya.
“Tidak usah Tante, sudah malam juga. Saya pulang dulu ya,” ucap Tristan.
“Ya sudah hati-hati di jalan,” ucap Shasha ramah dan Steve yang melihatnya jelas tidak senang jika istrinya menghumbar-humbar senyumannya untuk lelaki lain.
Stefanie tetap mengantarkan kekasihnya sampai depan rumahnya.
“Hati-hati ya, pelan-pelan saja bawa mobilnya,” ucap Stefanie dan Tristan mengangguk.
“Iyaaa bawel. Kamu masuk sana. Jangan lupa makan yang banyak dan tidur yang nyenyak. Wajah kamu masih pucat. Besok harus sudah sembuh ya,” ucap Tristan dan Stefanie mengangguk.
Tristan masuk ke dalam mobil dan membuka kaca mobilnya lalu ia tersenyum sambil melambaikan tangan ke kekasihnya.
“Bye sayang…” ucap Tristan.
“Bye, jangan lupa kabari aku,” ucap Stefanie dan Tristan mengangguk lalu membunyikan klakson mobilnya dan berlalu dari rumah mewah milik Stefanie.
Stefanie kembali masuk kek dalam rumah. Ia masih takut melihat Papanya yang sangat emosi tadi siang dan semua itu menjadi trauma tersendiri bagi Stefanie. Karena selama ini ia tidak pernah melihat Papanya semarah itu.
Steve melirik putrinya yang menunduk lalu melewatinya begitu saja. Tidak seperti Fanie sebelumnya yang biasanya selalu saja manja terhadap sang Papa. Rasa bersalah juga terus menghantui hatinya saat ini.
“Mau ke mana?” tanya Steve tanpa melihat wajah putrinya.
“Istirahat,” jawab Stefanie sambil menghentikan langkahnya tanpa melihat wajah Papanya juga.
“Sayang makan dulu, sudah malam,” ucap Shasha sambil menata makanannya di atas meja makan, memecahkan suasana dingin yang terjadi antara anak dan Ayah itu.
“Makan dulu baru istirahat,” ucap Steve lalu ia mematikan televisinya dan berdiri meninggalkan putrinya untuk menuju ruang makan.
Stefanie menatap punggung Papanya. Punggung yang biasa ia peluk, punggung yang biasa ia pukul-pukul jika sedang bercanda dengan Papanya. Rasanya Fanie sangat merindukan masa-masa itu.
Stefanie akhirnya mengikuti langkah kaki Papanya dan duduk di kursi makan bersama dengan kedua orang tuanya.
Shasha mengambilkan makanan untuk suaminya dan Stefanie mengambil sedikit makanan. Entah kenapa perutnya benar-benar mual sekali dan ia beursaha menahannya.
“Apa seperti ini rasanya jadi wanita hamil?” ucap Stefanie di dalam hatinya.
Stefanie mencoba memakan makanannya. Ia sama sekali tidak berselera makan dan benar saja baru saja ingin menyendokan makanannya ia sudah merasa mual dan berlari meninggalkan ruang makan. Stefanie menuju dapur lalu memuntahkan cairan bening.
Shasha mengikuti putrinya lalu ia mengambilkan air hangat untuk putrinya.
“Minum dulu. Kamu harus tetap makan walau sedikit. Kalau tiidak kasihan nanti bayi kamu sayang. Kalau tidak mau makan nasi makan cake-nya saja ya. Nanti Mama ambilkan,” ucap Shasha.
“Fanie tidak lapar Ma. Fanie mau ke kamar saja ya,” ucap Stefanie.
“Ya sudah kalau mau kamu seperti itu. Mama tidak akan memaksa. Nanti malam kalau lapar kamu harus makan ya, Mama akan siapkan makanan untuk kamu nanti,” ucap Shasha dan Stefanie mengangguk.
“Fanie ke kamar ya,” ucap Stefanie lalu ia keluar dari dapur dan melewati Papanya tanpa ada percakapan.
Di sisi lain.
Tristan baru saja tiba di rumah dan ia melihat jika kedua orang tuanya sudah datang.
“Mama, Papa… Kapan kalian sampai?” ucap Tristan yang langsung memeluk kedua orang tuanya secara bergantian.
“Baru saja sayang,” ucap Letysia Corner (Mamanya Tristan.)
“Tristan rindu sekali dengan Mama,” ucap Tristan lalu kembali memeluk Mamanya.
“Hanya Mama kamu saja? Papa tidak?” tanya Jacob Corner (Papanya Tristan.)
“Tentu saja aku juga rindu,” ucap Tristan lalu memeluk Papanya.
“Bagaimana Perusahaan?” tanya Jacob.
“Ya seperti biasa, tidak ada yang tidak mungkin untuk seorang Tristan,” ucapnya bangga.
“Kamu memang hebat. Tidak sia-sia Papa menyekolahkan kamu tinggi-tinggi,” ucap Jacob.
“Iya, terima kasih ya Papa,” ucap Tristan lalu memeluk lagi Papanya.
“Jadi kamu benar mau menikah?” tanya Jacob.
“Iya Papa, aku sudah siapkan pesta lamarannya. Papa pasti sangat suka dengan wanita pilihan aku,” ucap Tristan.
“Papa jadi penasaran seperti apa pilihan kamu?” ucap Jacob yang memang belum tahu siapa calon dari anak lelakinya.
“Yang jelas, dia cantik dan baik sama seperti Mama,” ucap Tristan.
“Kapan acara lamarannya?” tanya Letysia.
“Lusa Mamaku sayang,” ucap Tristan.
“Mama harus ke Mall kalau gitu besok,” ucap Letysia.
“Boleh, nanti aku temani ya,” ucap Tristan dan Letysia mengangguk lalu mereka bertiga berbincang bersama hingga larut malam.
Esok hari.
Tristan menghubungi kekasihnya lebih dulu. Sehari tidak mendengar suara manjanya jelas membut dirinya merasa sangat rindu.
On phone call.
Tristan – Stefanie.
“Hai sayang. Sudah bangun?” tanya Tristan saat panggilan teleponnya terhubung.
“Hmmm, baru bangun ini. Ada apa? Memangnya sudah jam berapa?”
“Jam depalan sayang. Bangun, terus mandi sana. Aku nanti mau pergi sama Mama dulu ya. Habis itu baru ke rumah kamu.”
“Mama kamu sudah datang?”
“Hmmm, tadi malam mereka datang. Aku jadi semakin tidak sabar ingin tinggal berdua bersama dengan kamu!”
Stefanie tersenyum. “Sebentar lagi. Enggak sabaran banget sih!”
“Iya, aku memang sudah tidak sabar. Sudah lama aku memimpikan hidup bersama dengan kamu.”
“Gombal, pagi-pagi sudah ngegombal!”
Tristan tertawa. “Tidak masalah. Lagi pula sama calon istri sendiri.”
“Tristan, apa kamu sudah bangun?” panggil seseorang dari balik pintu kamar Tristan.
“Sayang, sudah dulu ya. Mama sudah panggil aku untuk sarapan. Sampai jumpa nanti sayang.”
“Hmmm, sampai jumpa sayang.”
Tristan mematikan sambungan teleponnya dan ia melihat jam yang benar sudah menunjukkan pukul delapan lewat.
Fanie bangun lalu ia meregangkan otot-otot di tubuhnya.
Fanie merasa mual. Ia bergegas berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan bening dan ia merasa sangat tidak enak sama sekali.
“Panpan sayang, apa kamu sudah bangun?” panggil Shasha sambil mengetuk pintu kamar putrinya.
Stefanie keluar dari dalam kamar mandi. Ia mendengar suara ketukan pintu lalu membukanya.
“Mama.”
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Shasha cemas karena melihat wajah putrinya yang terlihat sangat pucat sekali.
“Aku baik-baik saja. Tadi hanya mual saja Ma.”
“Ayo sarapan dulu. Mama sudah buatkan makanan kesukaan kamu.”
Fanie menganggukan kepalanya. Ia pun melangkahkan kedua kakinya dengan ragu-ragu.
Shasha tahu apa yang dipikirkan putrinya. “Papa sudah pergi ke kantor. Dia mau bertemu dengan kakak kamu.”
Fanie mengangguk dan ia jadi merasa lega. Rasa bersalah yang begitu mendalam, masih menghabtui pikiran Fanie. Ia masih berharap jika keadaan bisa membaik. Dengan begitu ia dan papanya bisa saling bercanda seperti dulu kala.
Fanie melihat banyak makanan. Tapi ia tidak berselera sama sekali. Fanie melamun dan hanya memerhatikan makanan yang ada di atas meja makan.
Shasha menghembuskan nafasnya. Ia mengambilkan makanan kesukaan putrinya lalu duduk di samping putrinya.
“Ayo buka mulutnya,” ucap Shasha sambil menyuapi putri kesayangannya.
Fanie membuyarkan lamunannya. Ia melihat senyum di wajah mamanya yang begitu tulus. Fanie pun membuka mulutnya dan menerima suapan dari sang Mama.
“Pasti rasanya tidak enak kan? Mama juga sudah pernah rasain dulu. Tapi walau sedikit, kamu harus tetap makan. Jangan sampai perut kamu kosong. Nanti kasihan anak kamu tidak berkembang di dalam sana.”
Fanie mengangguk. Jika sang Mama sudah bicara, ia akan mendengarkannya. Apa lagi mamanya tidak pernah memarahinya. Jadi semua anak-anaknya juga tidak pernah ada yang aneh-aneh.
Memiliki seorang Ibu seperti Shasha jelas membuat Fanie merasa beruntung. Ia sedang berpikir, bagaimana jika mamanya bukan Shasha? Apa mereka juga akan menyayanginya dan memanjakannya seperti ini, walau ia sudah menyakiti hati kedua orang tuanya?
Fanie menghabiskan makanannya. Mamanya selalu saja bisa membuat anak-anaknya menghabiskan makanan yang sangat banyak.
“Kamu mau makan apa lagi? Biar nanti Mama buatkan.”
Fanie berpikir. Ia menggelengkan kepalanya. “Aku belum tahu Ma, sekarang masih kenyang. Nanti saja.”
Shasha mengangguk lalu ia juga mengambilkan minuman untuk putrinya.
“Terima kasih Ma,” ucap Fanie sambil tersenyum dan Shasaha menganggukkan kepalanya.
“Mandi sana, atau berjemur di taman. Biar tubuhnya jadi hangat.”
Fanie mengangguk. Ia memilih menuju taman. Di sana ada kolam ikan, Fanie bisa menenangkan hatinya sambil menatap ikan-ikan yang ada di sana.
Bersambung