Bab 3. Harga Diri

1278 Words
Alena menatap ke arah Rafli yang saat ini terlihat sangat menyebalkan dimatanya. Bisa-bisanya dia berkata dia harus tidur dengannya. Dia pikir dirinya siapa. "Lebih baik saya berhenti dari pekerjaan ini dari pada menyerahkan harga diri saya ke Anda. Apa Anda pikir, semua wanita bisa diperlakukan seperti itu? Jawabanya, tidak! Saya masih mempunyai harga diri yang tinggi, mungkin sebagai orang mau melakukannya demi uang dan sebagainya, tapi saya tidak. Sampai di sini Anda paham, Tuan Rafli yang terhormat!" Alena tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut pria yang ada di depannya ini. Bisa-bisanya, CEO yang baru saja menggantikan posisi CEO yang lama meminta dirinya untuk tidur dengannya jika mau bekerja dengan dirinya. Rafli menatap ke arah Alena yang pergi begitu saja. Tatapan mata Rafli begitu tajam ke Alena, dia tidak terima Alena pergi begitu saja. "Kamu tidak akan bisa kembali lagi ke sini, ingat itu!" teriak Rafli. Alena yang berada di depan pintu berhenti dan dia menyunggingkan bibirnya. Kembali lagi, katanya? "Anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan kembali lagi, walaupun Anda meminta saya dengan mengemis sekalipun saya tidak akan kembali lagi," jawab Alena dengan tegas dan yakin kalau dia tidak mau diperlakukan buruk dengan CEO muda yang arogan itu. Alena keluar dari ruangan tersebut dan menutup pintu dengan cukup kencang hingga membuat Rafli terkejut. "Akh, dasar tidak tahu diri, munafik! Awas kamu, wanita arogan," geram Rafli yang mengepalkan tangannya dengan kencang. Alena sudah bertekad akan pergi dari kantor ini. Dia tidak sudi lagi untuk berada di kantor ini. Terlebih lagi, menjadi sekretaris sang CEO muda itu, bisa mati muda dia menghadapi pria itu. Alena duduk kembali di mejanya dan merapikan kembali barangnya. Arvin yang kembali lagi ke ruangan CEO dan berjalan mendekati meja Alena, dia lagi-lagi terkejut karena Alena kembali menyusun barang-barangnya lagi. "Mau kemana lagi?" tanya Arvin. "Ke neraka!" ketus Alena. Arvin menaikkan alisnya, dia tidak mengerti dengan Alena. Karena tidak mau banyak bicara Arvin menyerahkan map ke Alena. Alena yang melihat map di depannya, langsung memandang ke arah Arvin. "Apa ini?" tanya Alena. Rafli keluar melihat keduanya berbicara. Dia juga melihat Alena memegang map. "Itu berkas untuk meeting, apa kamu lupa kalau hari ini ada meeting, apa kamu amnesia, sekretaris Alena?" tanya Arvin. "Dia bukan amnesia, tapi dia sudah mengundurkan diri. Bukan saya yang memintanya, tapi dia sendiri," jawab Rafli kembali. "Apa? Mengundurkan diri sendiri? Tapi, Tuan Abraham mengatakan kalau sekretaris Alena tidak boleh berhenti, Tuan," protes Arvin yang panik karena Alena berhenti. Alena hanya menatap sekilas Rafli, dia benar-benar tidak menyangka kalau pria ini adalah pria yang manipulatif, bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Tanpa menunggu lama, Alena pergi dari hadapan keduanya yang menatap dia dengan tatapan penuh arti. Alena menemui HRD untuk membicarakan masalah pesangonnya dan setelah itu, dia akan mencari pekerjaan lain. Kalau tidak ada, seperti rencana awal, dia akan berjualan seperti yang dia impikan yaitu membuka toko kuenya sendiri. Melihat Alena pergi, Rafli cuek dan dia masuk kembali ke ruangan meninggalkan Arvin yang masih terpaku di tempatnya. "Arvin, kamu mau saya pecat juga?" tanya Rafli dengan suara kencang hingga menyadarkan Arvin dari lamunannya. Alena yang sampai di depan lift menekan tombol dimana ruangan HRD berada. Pintu lift terbuka, Alena masuk. "Kenapa bisa berbeda sekali tingkah laku antara Tuan Abraham dan anaknya itu. Dia sama sekali tidak seperti ayahnya yang menghargai pekerja, sepertinya aku harus benar-benar berdiri sendiri, mungkin ini sudah takdirku harus diposisi seperti ini. Dan pernikahanku dengan Aldo juga sudah batal, aku harus bertemu keluarganya, paling tidak aku harus menjelaskan ini semuanya. Aku tidak mau disalahkan oleh mereka," ujarnya. Alena keluar lift dan bertemu dengan HRD. Di ruangan tersebut Alena tidak terlalu banyak bicara dan HRD juga melakukan hal sama. Akan tetapi, HRD menawarkan pekerjaan di tempat lain, tapi Alena menolak. Dan kini, dia berada di luar kantor. Alena memandang kantor yang sudah memberikan dia banyak suka dan duka. "Anak yatim piatu seperti aku beruntung bisa kerja di sini. Aku bisa beli rumah walaupun kecil dan motor ini juga jadi satu-satunya hadiah dari kerja kerasku. Ayo semangat Alena, kamu pasti bisa," ucap Alena yang berbalik dan langsung meninggalkan perusahaan yang sudah menerimanya bekerja hampir enam tahun lamanya. Alena kembali ke rumah mungilnya, dia bersiap akan ke rumah mantan mertuanya untuk memberitahukan kalau dia dan Aldo sudah tidak bersama lagi. Malam harinya, Alena sudah rapi dengan pakaian yang cukup sederhana, dia segera naik motor kesayangannya dan melaju menuju rumah Aldo. Dalam perjalanan, dia berharap agar keluarga Aldo tidak syok atau menyalahkan dirinya. Sampai di depan pagar, Alena dihentikan oleh satpam. "Nona Alena, mau apa ke sini?" tanya Pak satpam. "Mau ketemu dengan yang punya rumah, apakah Mom dan Dad ada di rumah?" tanya Alena kembali. Alena celingak celinguk untuk melihat rumah Aldo yang terlihat ramai. Dia tidak mengerti kenapa bisa ramai dan kenapa dia tidak diberitahukan. Tapi, Alena mulai sadar diri, kalau dia bukan lagi tunangan Aldo, dia sudah memutuskan hubungannya dengan Aldo karena Aldo selingkuh dengan sahabatnya, Luna. "Maaf, kami tidak bisa mengizinkan Nona masuk. Karena di dalam mereka lagi ada acara," jawabnya. "Acara? Acara apa?" tanya Alena yang penasaran. "Hmm, itu Nona... Aduh, gimana ya, saya mengatakannya. Jadi, begini, di dalam Tuan Aldo tunangan dan besok mereka akan menikah," jawab satpam yang merasa tidak enak hati untuk mengatakannya. Alena terpaku sesaat mendengar apa yang dikatakan oleh satpam. Dirinya tidak percaya, bagaimana bisa Aldo lakukan ini. Baru tadi pagi dia putus karena perselingkuhan, sekarang sudah tunangan dan besok menikah. "Secepat itu dia menikah. Sedangkan aku, butuh waktu yang lama dan saat hari itu tiba, aku malah dikhianati oleh dia, kenapa bisa seperti ini," ucap Alena dengan suara lirih. Satpam yang mendengar perkataan Alena ikut sedih. Dia tahu Alena itu baik dan lembut juga tidak sombong dan menghargai mereka, tapi setelah mendengar perkataan dari Alena tadi membuat mereka sedih. "Nona sabar, ya," ucap Pak satpam yang satunya. Alena hanya tersenyum kecil. Perasaan dirinya saat ini campur aduk. Antara marah, senang pokoknya campur jadi satu. Alena pun membalikkan badannya dan pergi dari rumah Aldo. Sudah tidak ada lagi yang bisa dia perbuat saat ini. Karena, waktu bersama Aldo dulu, dia selalu dihina sebagai perawan tua oleh orang tuanya Aldo. Sekarang, dia sudah lepas dari Aldo dan orang tuanya Aldo. "Kamu kuat Alena, jangan sedih. Masih ada hari esok. Jodoh tidak akan tertukar. Pasti ada yang mencintaimu. Yakinlah," ucap Alena yang meyakinkan dirinya kalau dia kuat. Tapi, sekuatnya Alena dia hanya seorang wanita yang penuh luka. Saat ini, dia ingin menangis karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Alena kembali ke rumah dan akan memulai hidup barunya. Dan, dia menjadi pengangguran abadi mulai besok. Sesampainya di rumah, Alena yang kelelahan karena menangis dan meratapi nasibnya langsung tertidur. Esok paginya, suara dering ponsel terdengar. Alena benar-benar enggan untuk menjawab panggilan tersebut. "Siapa yang menghubungi aku pagi-pagi, apa nggak tahu aku sudah jadi pengangguran," ucap Alena yang masih bergelung dengan selimut. Alena mengabaikan panggilan telpon berkali-kali. Hingga akhirnya, suara gedoran pintu terdengar cukup kencang hingga Alena terduduk dan matanya melotot karena suara gedoran tersebut menganggu dirinya. "Tamu tidak ada sopan santunnya. Berani-beraninya, membangunkan aku di pagi-pagi buta seperti ini. Awas, kamu! Aku akan usir tamu tidak tahu diri itu. Tunggu, di sana," ucap Alena yang segera bangun dan dia berjalan ke arah kamar mandi. Alena ingin menyiram air ke tamunya. Karena saat ini pintu terus digedor dengan cukup kencang hingga tetangga Alena yang ada di sisi kanan dan kiri berteriak memanggil dirinya. Alena yang kesal dan emosi dan juga malu karena teriakkan tetangga tanpa menunggu lama dan melihat siapa tamunya langsung membuka pintu dan menyiram air tersebut. Tamu Alena basah, tentu. Alena terpaku sesaat di depan pintu, dirinya terkejut melihat siapa yang di depannya. "Mati aku!" seru Alena saat dirinya menatap tamu yang kini basah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD