1. Perjalanan

1106 Words
Hari ini, Gia dan keempat temannya sedang berada di depan pintu masuk perijinan di gunung Aconcagua (6.962 Mdpl). Mereka sudah mempersiapkan semuanya sejak beberapa bulan lalu. Mulai dari fisik, perlengkapan pendakian, juga bahan makanan. “Apa yang lain sudah siap?” tanya Gia pada temannya. “Sepertinya Carmen masih berada di toilet,” ujar Louis. “Baiklah, kita tunggu Carmen,” sahut Gia yang kemudian duduk. Tidak ada orang lain yang mendaki selain mereka, bahkan penjaga pintu masuk juga mengatakan jika mereka hanya diizinkan sampai ketinggian kurang lebih 3000 Mdpl. Karena gunung ini adalah yang tertinggi di Amerika, mereka tidak diizinkan untuk mencapai puncak jika tidak ada seorang pemandu yang pernah sampai di atas sana. “Hai, aku sudah siap,” ujar Carmen dengan senyum yang menunjukkan jika dirinya sangat bersemangat kali ini. “Baiklah, ayo, kita pergi teman-teman!” seru Gia. Semua bersorak dan mulai melangkah, tidak ada perasaan takut di dalam diri mereka. Karena sudah terbiasa melakukan pendakian bersama-sama, hari ini pun tidak ada rasa curiga sama sekali jika aka nada masalah yang menimpa mereka di atas sana. Dengan langkah perlahan mereka berjalan dengan berbaris kebelakang, karena jalanan di sana hanya bisa di lewati perorangan. Lima orang dengan tiga wanita dan dua pria, dan mereka saling berpasangan kecuali Gia. Ya, hanya Gia saja yang masih bertahan dengan kesendirian. “Gia, jangan terlalu cepat. Kau tahu jika Carmen selalu berada di belakang!” teriak Louis yang merupakan kekasih Carmen. "Baiklah, aku akan memperlambat kecepatan langkahku. Apa yang lain bisa melanjutkan perjalanan? Kita sudah satu jam mendaki,"ujar Gia. “Kami masih bisa melanjutkan perjalanan ini, Gia. Jangan remehkan teman-temanmu ini, kita sudah beberapa kali mendaki, jadi jangan pernah berpikir jika kami akan mengeluh,” sahut Rebecca. Gia tersenyum mendengar semangat teman-temannya itu. Kini ia kembali menatap jalanan setapak yang ada di hadapannya, lalu kembali melangkah. Hingga akhirnya Carmen mengatakan jika dirinya sangat haus dan ingin beristirahat sejenak. Akhirnya mereka berhenti dan beristirahat untuk beberapa menit. Carmen mengeluarkan botol air minum miliknya dari dalam tas, begitu juga dengan keempat orang lainnya. Saat itu … mereka sungguh menikmati udara sejuk di sana, udara yang sangat jarang di dapatkan pada kota besar. Ya, mereka berasal dari Amerika Serikat, tepatnya mereka tinggal di kota Chicago, IL. Kelima orang itu awalnya saling mengenal karena mereka berkuliah di dalam satu kampus. Meski mereka dari jurusan yang berbeda, tetapi pertemanan itu terjalin saat kelimanya bertemu di depan ruang sekretariat untuk Pecinta Alam. “Gia, kau terlihat masih segar. Kenapa hanya kami berempat yang terlihat sangat kelelahan?” tanya Rebecca yang saat ini napasnya terengah-engah. “Entahlah … jika berada di dalam hutan, aku merasa seperti … memang di sinilah tempatku berasal, aku … sangat menyukai hutan,” jawab Gia. “Dasar wanita aneh,” celetuk Carmen. “Ayolah! Waktu kita sudah terbuang lima menit hanya untuk duduk di sini,” ujar Gia. “Kau selalu begitu, pikirkan kondisi yang lain!” sahut King. "Akhirnya, kau mengeluarkan suaramu, King!" celetuk Gia dengan terkekeh. Setelah selama hampir dua puluh menit mereka duduk dan beradu argumen, akhirnya kelimanya beranjak dari tempat masing-masing. Kembali melangkah sebelum hari gelap adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan saat ini. Ya, karena kondisi hutan itu masih terdapat beberapa hewan buas, maka mereka akan terancam bahaya saat hari sudah mulai gelap. Sampai di ketinggian sekitar 2.000 Mdpl, mereka salah mengambil jalan. Dan akhirnya sampai di sebuah ujung jurang dengan kedalaman yang bisa membuat nyawa mereka tidak selamat. Gia berdecak kesal, karena ia yang berada di barisan paling depan. Keempat temannya sedikit menyalahkan dirinya kali ini. Bagaimana bisa ia begitu ceroboh dengan mengambil langkah yang tidak biasa di lakukan. “Bagaimana ini?” tanya Louis. "Hari mulai gelap, sebaiknya kita mendirikan tenda di sini," ujar Rebecca. "Setuju! Aku pun sudah kelelahan," sahut Carmen. “Gia, bagaimana?” tanya King. "Besok kita akan melanjutkan perjalanan," jelas Gia. Ada dua tenda yang mereka dirikan. Satu tenda yang berukuran lebih besar karena untuk ketiga wanita yang ikut, sementara tenda lainnya cukup untuk dua pria itu. Tas dan perlengkapan mereka masukkan ke dalam tenda, lalu mereka mulai memasak bahan makanan yang sudah mereka bawa dari bawah. Udara malam itu begitu dingin, para pria yang sedang kedinginan itu kini mengeluarkan lima botol minuman ber-alkohol. Mereka berhasil melewati pemeriksaan penjaga dengan mengganti botol minuman itu. “Ayo kita minum untuk menghangatkan diri,” ujar Louis. “Kalian benar-benar membawanya?” tanya Rebecca. “Ya, tentu saja kami berhasil membawa minuman ini. Udara begitu dingin, aku tidak ingin mati kedinginan di sini,” ujar Louis. Akhirnya mereka mulai meminum minuman itu hingga tidak tersisa. Entah apa yang mereka pikirkan, sementara Gia tidak meminum sama sekali minuman itu. Namun, tidak ada yang tahu jika hanya Gia yang tidak mabuk saat itu. Gia memilih masuk terlebih dahulu ke dalam tenda dan memejamkan matanya. Wanita itu menutup telinga dengan penutup yang berbentuk seperti headphone, tetapi berbulu lembut. Gia juga mengenakan penutup mata bermotif polkadot. "Terserah apa yang akan kalian lakukan, aku akan tidur saja," gumam Gia. Sementara itu, di luar tenda. Keempat teman Gia bersenandung dan tertawa bersama. Mereka tidak merasakan kehadiran seekor binatang buas di sana. Dan hingga kesialan menimpa ke empatnya. Gia baru saja terbangun dari tidurnya, dan ia tidak menemukan dua teman lainnya. Gia teru memanggil, tetapi tidak ada jawaban dari mereka. Hingga akhirnya, Gia memutuskan untuk keluar dari tenda. “ARGH!” teriakan Gia menggema di sana. Wanita itu melihat tubuh Carmen yang sudah hilang organ dalamnya karena sebuah gigitan, sementara King kehilangan tangan dan kakinya. Detak jantung Gia berdetak begitu kencang, dan ia memutuskan untuk mengambil tas dan perlengkapan lainnya yang bisa ia bawa. Gia berjalan menyusuri jalanan yang terdapat bercak darah di sana. Air matanya terus mengalir, dan ia mencoba untuk tetap tenang. Saat dalam perjalanan itu, gia menemukan sebuah tangan yang terpisah dari tubuhnya. Tangan seorang wanita, dan Gia sangat mengenali tangan itu. “Re-rebecca … tidak mungkin,” gumam Gia. Gia mecium bau anyir dari kumbangan darah yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri. Darah itu berasal dari tubuh Rebecca dan juga Louis. Tubuh keduanya tercabik-cabik , mereka seperti di serang seekor serigala atau harimau. “Tidak … ini tidak mungkin terjadi,” gumam Gia sekali lagi. Wanita itu akhirnya berlari turun untuk menuju perijinan dengan segera. Tetapi langkahnya terhalang karena sebuah batu yang akhirnya membuat kaki  Gia terpeleset dan terjatuh. Gia terluka pada bagian kaki dan juga kepala yang terbentur pohon. Kesadarannya menghilang dan akhirnya ia memejamkan mata. Meski matanya terpejam, wanita itu masih dapat mendengarkan sesuatu mendekatinya. Entah apakah itu? Jika yang mendekatinya adalah binatang buas yang menyerang keempat temannya, maka dirinya hanya bisa berdiam diri dan menyerahkan sisa hidupnya pada takdir.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD