Rasa kesal

1753 Words
Devan memanggil Olivia untuk datang ke ruangannya, membuat Olivia merasa curiga. Apalagi Devan selalu bersikap semena-mena padanya. “Ada apa ya? Sepertinya hari ini gak ada meeting. Kenapa Pak Devan memanggil gue ke ruangannya?” Olivia tidak ingin sampai atasannya itu menunggu lama. Ia lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju ruangan atasannya itu. Olivia berdiri tepat di depan pintu ruangan atasannya itu. Ia mengambil nafas dan membuangnya secara perlahan. Dengan perlahan, Olivia menggerakkan tangan kanannya untuk mengetuk pintu. Setelah mendengar sahutan dari dalam, ia lalu membuka pintu ruangan itu. Olivia melihat atasannya yang tengah duduk di kursi kerjanya. Ia lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Olivia saat sudah berdiri tepat di depan meja kerja atasannya. Devan mengalihkan tatapannya, ia tatap wajah cantik sekretarisnya. Ia tidak akan pernah memungkiri, jika sekretarisnya itu memang mempunyai wajah yang cantik dan juga tubuh yang indah. Seperti kehilangan akal, Devan terus menatap Olivia yang terlihat salah tingkah. Ia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya, terus menikmati wajah cantik Olivia. Devan mulai tersadar dari lamunannya saat Olivia menarik salah satu kursi yang ada di depan meja kerjanya. Devan tersenyum. “Apa saya sudah meminta kamu untuk duduk?” sindirnya. Olivia yang hendak mendaratkan tubuhnya di kursi itu pun mengurungkan niatnya. Ia mencoba untuk menahan amarahnya. “Apa ada yang bisa saya bantu, Pak Devan yang terhormat?” tanya Olivia lagi sambil menekankan kata yang terhormat agar terdengar lebih jelas. “Duduklah.” Olivia membulatkan kedua matanya. Apa dia sengaja mempermainkan gue! Devan yang melihat Olivia masih tetap tak bergeming dan terus berdiri di depannya, mulai melipat kedua tangannya di d**a. “Kenapa kamu masih berdiri? Apa kamu tidak mendengar apa yang tadi saya katakan?” Olivia menghela nafas, ia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi yang tadi sempat ia tarik untuk didudukinya. Devan lalu memberikan berkas yang tadi ia baca dan cermati kepada Olivia. “Selesaikan itu sekarang juga,” titahnya. “Tapi, Pak. Sebentar lagi sudah waktunya untuk makan siang.” Apa gue harus menahan lapar? Mana tadi gue belum sempat sarapan lagi. Dasar! Bos yang gak punya hati! “Selesaikan itu sekarang juga! Aku butuh berkas itu hari ini!” tegas Devan sambil menatap tajam Olivia. Olivia sama sekali tidak bisa membantah perintah atasannya, kecuali dirinya mau dipecat saat ini juga. “Baik, Pak.” Olivia lalu beranjak dari duduknya. “Kalau begitu saya permisi.” “Siapa yang mengizinkan kamu pergi? Kerjakan disini sekarang juga!” Kedua mata Olivia membulat dengan sempurna. “Ta—tapi, Pak!” Devan hanya diam, ia memilih untuk menyalakan laptopnya dan mulai mengecek file-file yang ada di laptopnya. Dengan tubuh lemas, Olivia akhirnya kembali mendudukkan tubuhnya. Devan tersenyum tipis. Olivia sama sekali tidak bisa fokus dengan berkas yang ada di depan kedua matanya saat ini. Apalagi sejak tadi cacing di dalam perutnya sudah mulai berdemo. Kapan ini akan selesai? Kalau seperti ini, gue bisa pingsan nie karena menahan lapar. Terdengar suara pintu diketuk. “Masuk,” sahut Devan sambil menatap ke arah pintu. Pintu itu terbuka dengan perlahan. Olivia terkejut saat melihat Ardi muncul dari balik pintu itu. Begitupun dengan Ardi, ia juga terkejut saat melihat Olivia ada di dalam ruangan Bos nya. Pantesan tadi di luar Olivia gak ada. “Pak, ini makanan yang tadi anda pesan,” ucapnya dan lalu ia berikan kepada Olivia. “Hem, kamu boleh keluar sekarang,” ucap Devan lalu beranjak dari duduknya. Ardi mengangguk, ia lalu menatap Olivia sekilas, membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari ruangan itu. “Kenapa masih melihat ke arah pintu? Apa kamu tidak rela kalau saya meminta dia untuk pergi dari ruangan saya?” sindir Devan lalu mengambil paper bag yang ada di tangan Olivia. “Kenapa Anda meminta Ardi untuk membeli makanan? bukannya sudah ada karyawan yang bertugas....” Devan tersenyum sinis. “Kenapa? saya bebas menyuruh siapapun untuk membelikan saya makanan, apa kamu merasa keberatan untuk itu?” Olivia hanya diam. Ia memilih untuk melanjutkan pekerjaannya, meskipun sebenarnya perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Devan mendudukkan tubuhnya di sofa. Ia melihat Olivia yang masih duduk di tempatnya sambil memeriksa berkas yang tadi diberikan padanya. “Apa kamu tidak lapar?” tanyanya sambil mengeluarkan makanan yang tadi dipesannya. Olivia beranjak dari duduknya, ia lalu menatap ke arah Devan. “Apa saya sudah boleh makan? Tapi, ini belum selesai.” Devan mengangguk kan kepalanya. “Saya bukan atasan yang kejam, hingga membiarkan karyawan saya kelaparan.” Olivia tersenyum. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi. Saya akan melanjutkan pekerjaan saya di meja kerja saya.” Olivia mengambil berkas dari atas meja, ia lalu melangkahkan kakinya menuju pintu. “Siapa yang mengizinkan kamu untuk keluar dari ruangan ini?” Olivia mengernyitkan dahinya, ia lalu menghentikan langkahnya, membalikkan tubuhnya menatap ke arah Devan. “Bukankah tadi anda mengizinkan saya untuk makan siang?” “Hem, tapi saya juga tidak bilang kalau kamu boleh keluar dari ruangan saya.” “Kalau saya tidak keluar dari ruangan ini, bagaimana saya bisa makan Pak Devan yang terhormat!” Olivia mencoba untuk menahan rasa kesalnya. Sepertinya sejak tadi ia tengah di permainkan oleh atasannya itu. “Kemarilah.” Olivia melangkahkan kakinya mendekati Devan. “Duduklah.” “Apa Anda meminta saya untuk melihat anda makan? Begitu?” Jahat sekali. Devan menghela nafas. Ia lalu mendongakkan wajahnya. “Saya bilang duduk! Apa kamu mau melawan perintah saya!” Olivia mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. Sudah! Apa anda puas! umpat Olivia dalam hati. “Makanlah.” Olivia mengernyitkan dahinya. Apa ia salah dengar? Apa gue salah denger ya? Ni orang menyuruh gue makan? Dia membelikan gue makanan juga? Tumben. “Kenapa hanya diam? Bukannya tadi kamu bilang lapar?” tanya Devan saat melihat Olivia hanya diam. “Tapi, saya....” “Kenapa? apa kamu tidak suka dengan makanannya?” “Bukan begitu. Hanya saja ini serius? Anda membelikan saya makan siang?” “Hem, tapi jangan senang dulu. Ini semua tidak gratis.” Baru juga mau gue puji baik, ternyata ada udang dibalik rempeyek. “Apa saya juga harus membayar makanan yang saya makan?” “Makanlah dulu.” Olivia menggelengkan kepalanya. “Saya tidak bisa memakan makanan ini.” Olivia lalu beranjak dari duduknya. “Saya akan segera menyelesaikan pekerjaan saya. Permisi.” Devan menarik tangan Olivia saat gadis itu ingin melangkah kembali menuju meja kerjanya. “Saya bilang makan, ya makan!” Devan lalu mendudukkan tubuh Olivia di sampingnya. Dan itu membuat Olivia terlihat sangat gugup, karena ini pertama kalinya ia duduk di samping atasannya itu. Devan mengambil makanan dari atas meja lalu ia berikan kepada Olivia. “Apa perlu saya suapin?” sindirnya. Olivia sontak langsung menggelengkan kepalanya. “Saya bisa makan sendiri.” Devan tersenyum. “Kenapa tidak dari tadi? Kenapa harus malu, saat perut kamu merasa lapar? Apa gengsi kamu itu bisa membuat perut kamu kenyang? gak 'kan?” Olivia hanya diam. “Makanlah, setelah ini kamu ikut saya.” Olivia mengernyitkan dahinya. “Kemana, Pak? Hari ini tidak....” Olivia menghentikan ucapannya saat Devan menatapnya dengan tajam. Apalagi jarak mereka yang terlalu dekat. Ia pun memilih untuk menggeser duduknya. Devan hanya tersenyum melihat tingkah sekretarisnya itu. Apalagi saat melihat kedua pipi Olivia yang sudah mulai bersemu merah, membuatnya wajahnya semakin terlihat menggemaskan di mata Devan. “Selamat makan, Pak.” Olivia pun mulai menyuapkan sesuap demi sesuap makanan ke dalam mulutnya. Ia merasa salah tingkah saat Devan yang terus menatapnya saat ini. “Kenapa anda melihat saya terus? Apa ada yang aneh dengan wajah saya?” tanyanya penasaran. “Kamu makan dengan begitu lahapnya, itu membuktikan kalau kamu sangat kelaparan,” sindirnya. Olivia menggertakan gigi-giginya. Ia lalu meletakkan kembali makanan itu ke atas meja. “Maaf, saya sudah kenyang,” ucapnya berbohong. Olivia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. Ia lalu beranjak dari duduknya. “Maaf, saya permisi ke toilet sebentar,” pamit Olivia lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Devan tersenyum. “Kenapa aku merasa senang ya melihatnya kesal seperti itu?” Sementara di dalam toilet, Olivia terus mengumpat, meluapkan kekesalannya. Rena yang berada di dalam toilet pun begitu terkejut saat mendengar suara yang ia yakini suara sahabatnya—Olivia. Rena mengetuk pintu toilet yang dipakai Olivia. “Vi, lo di dalam?” Olivia membuka pintu toilet. “Na...” rengeknya lalu memeluk sahabatnya itu. “Vi, lo kenapa? apa lo sedang ada masalah?” tanya Rena cemas. Olivia melepaskan pelukannya. “Na, gue gak betah kerja sama Pak Devan. Gue ingin berhenti aja,” sahutnya sambil menundukkan wajahnya. Kedua mata Rena membulat dengan sempurna. “Apa?” Rena lalu mengajak Olivia untuk keluar dari dalam toilet. Ia mengajak sahabatnya itu ke tempat yang sepi dan jarang di lewati oleh siapapun selain OB. “Sekarang ceritakan semuanya sama gue. Kenapa lo tiba-tiba ingin berhenti? Bukankah lo sangat menyukai pekerjaan lo ini?” “Apa semua ini gara-gara Pak Devan?” lanjutnya. Olivia menganggukkan kepalanya. “Sepertinya gue memang gak cocok menjadi sekretarisnya. Setiap hari ada aja kesalahan gue.” “Vi, lo jangan nyerah gitu aja dong. Lo buktikan sama Pak Devan, kalau lo itu pantas menjadi sekretarisnya.” “Tapi, gimana caranya. Semua yang gue lakukan selama ini sepertinya selalu salah di mata dia.” Rena lalu membisikkan sesuatu di telinga Olivia. Kedua mata Olivia membulat dengan sempurna. “Apa? ogah! Bagaimana bisa gue melakukan semua itu? melihat tingkahnya aja gue kesel!” “Mungkin sikap lo itu yang membuat Pak Devan bersikap kayak gini sama lo. Gue pernah mendengar, kalau orang yang keras kepala itu jangan dilawan dengan keras kepala juga. Tapi lo harus bersikap lembut padanya, dengan cara lo turutin apapun yang Pak Devan perintahkan, tanpa ada bantahan.” “Tapi apa itu akan berhasil?” tanya Olivia yang tidak begitu yakin dengan rencana sahabatnya. “Lo akan tau setelah lo mencobanya. Gue tau lo itu seperti apa. Sifat keras kepala lo itu dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah. Lo ingin menang sendiri.” Olivia tersenyum tipis. “Tapi gue bisa lunak kok.” “Hanya saja pada orang yang salah!” “Itulah kebodohan yang pernah gue lakukan yang akan gue sesali seumur hidup gue.” Rena lalu merangkul bahu Olivia. “Lupakan Rian, dia hanyalah masa lalu. Mendingan sekarang lo pikirkan masa depan lo, atau mau gue carikan cowok?” Olivia menggelengkan kepalanya. “Gue lagi gak mau berpacaran dengan siapapun. Meskipun kelak ada cowok yang membuat gue jatuh cinta, gue ingin langsung memintanya untuk menikahi gue. Tapi, jika cowok itu menolak, itu artinya dia gak ingin menjalin hubungan yang serius sama gue.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD