Rasa penasaran

1733 Words
“Arrrgghhhhh!” Olivia berteriak dengan sangat keras. Saat ini Olivia sedang berada di rooftop kantornya. Ia memang mempunyai kunci pintu menuju atap gedung kantornya itu, karena atasannya yang terdahulu yang memberikannya. Setiap kali Olivia sedang ada masalah, ia selalu pergi ke rooftop untuk melampiaskan kemarahannya. Bahkan, dulu, atasannya pernah memergoki dirinya yang tengah menangis sambil menekuk kedua lututnya di atas rooftop. Sejak saat itu, Farhan memberikan Olivia kunci pintu menuju rooftop. “Kenapa hidup gue selalu sial. Baru juga 3 bulan, gue terlepas dari jerat Rian. Sekarang gue malah masuk dalam permainan Pak Devan. Bagaimana kalau ternyata wanita itu benar-benar dendam sama gue?” Olivia mengacak-acak rambutnya karena frustasi. “Astaga! Lama-lama gue bisa jadi gila beneran ini!” umpatnya. “Apa gue memang nggak pantas untuk bahagia? apa gue memang nggak bisa mendapatkan hari-hari yang tenang dalam hidup gue?” Olivia menghela nafas panjang. “Gue nggak boleh mengeluh. Gue nggak akan menjadi Olivia yang lemah dan gampang untuk di tindas. Gue nggak akan pernah tinggal diam, jika Pak Devan bersikap melebihi batas seperti tadi.” “Enak aja, dia main peluk-peluk gue. Emangnya gue cewek gampangan dan bisa dia peluk seenaknya! Gue nggak peduli jika dia atasan gue. Gue akan tetap melawan jika dia berbuat macam-macam lagi sama gue!” Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Olivia melangkah pergi dari tempat itu. Ia lalu kembali mengunci pintu yang menuju ke atas gedung itu. Olivia berpapasan dengan Ardi saat keluar dari lift. “Vi, lo dari mana aja? Dari tadi gue sama Rena nyariin lo untuk makan siang.” Ardi memegang kedua bahu Olivia. “Lo nggak sedang ada masalahkan?” tanyanya kemudian. Olivia menggelengkan kepalanya. Ia lalu menyingkirkan kedua tangan Ardi dari bahunya. “Sorry, gue sedang nggak selera makan,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. “Vi, lo masih nganggep gue sahabat lo kan? Apa lo nggak bisa membagi masalah lo ke gue?” “Ar, bukan seperti itu, hanya saja....” Olivia menghentikan ucapannya saat melihat Devan yang sedang berjalan ke arah mereka berdua. Ardi yang menyadari jika Olivia tidak melanjutkan ucapannya pun membalikkan tubuhnya. “Pak Devan,” sapanya saat melihat Devan yang sudah berdiri di depannya dan juga Olivia. “Apa yang kalian lakukan disini? Apa kalian hanya akan terus mengobrol disini? Bahkan jam istirahat sudah berlalu 5 menit yang lalu.” Devan baru saja kembali dari makan siang dan ingin kembali ke ruangannya. Tapi, saat ia keluar dari dalam lift, ia justru melihat Olivia yang tengah mengobrol dengan salah satu karyawannya—yang tak lain adalah Ardi. “Maafkan saya, Pak. Saya akan kembali ke ruangan saya.” Ardi lalu pamit undur diri. Kini tinggal Olivia dan Devan. “Apa kamu akan tetap berdiri disini? Apa kamu tidak akan kembali ke meja kerjamu?” tanya Devan sambil memasukkan kedua telapak tangannya di kedua saku celananya. Olivia hanya diam. Ia menjawab pertanyaan Devan dengan membungkukkan sedikit tubuhnya, lalu berlalu meninggalkan atasannya itu. Entah mengapa Olivia masih begitu enggan untuk berbicara dengan Devan. Devan menghela nafas kasar. “Apa-apaan dia! Apa dia sudah berani mengacuhkanku!” geramnya. Olivia berpura-pura sedang memeriksa berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya saat melihat Devan yang tengah berjalan melewati meja kerjanya. Olivia bahkan tidak berdiri ataupun mendongakkan wajahnya untuk sekedar menyapa atasannya itu. Devan mengepalkan kedua tangannya. Ini pertama kalinya ada seorang wanita yang berani mengacuhkannya. Apalagi wanita itu hanya sekretarisnya. Tapi, Devan malah semakin merasa tertantang dengan sikap yang ditunjukkan Olivia padanya. Devan melenggang begitu saja melewati meja kerja Olivia. Ia menjadi ingin lebih mengenal siapa itu Olivia. Olivia mendongakkan wajahnya, menatap punggung Devan yang bahkan sudah mulai masuk ke dalam ruangannya. Olivia menghela nafas lega. “Semoga sikap gue ini nggak akan menambah masalah baru buat gue nanti.” Ardi sengaja menunggu Olivia di depan kantor. Ia ingin mengajak Olivia untuk pulang bersama, setelah sang kekasih menolak untuk diantar pulang dengan alasan ada urusan penting. Ardi memang tidak selalu memaksa Rena untuk menuruti keinginannya, karena ia sadar, ia sendiri belum bisa menyerahkan cintanya untuk sang kekasih. Ardi melambaikan tangannya saat melihat Olivia keluar dari lobby kantor. “Ardi! Ngapain lo disini? Mana Rena?” tanya Olivia sambil mencari keberadaan sahabatnya yang satu lagi. “Rena udah balik dari tadi.” “Hah! La terus ngapain lo masih disini? Lo nggak nganterin dia pulang gitu?” Ardi menggelengkan kepalanya. “Dia nggak mau gue anter pulang. Katanya dia masih ada urusan.” Olivia memukul lengan Ardi, hingga membuat pria itu meringis menahan sakit. “Dasar lo ya! Nggak peka banget sih jadi cowok!” seru Olivia. “Sakit tau! Terus gue harus gimana? Lo kan tau, sekali Rena bilang nggak, ya nggak. Terus gue harus maksa dia gitu!” Olivia menghela nafas. “Ar. Rena seperti itu, karena dia berharap lo memohon sama dia untuk mau ikut sama lo. Apa lo nggak sadar itu?” “Bukannya gue nggak sadar. Hanya saja, lo ‘kan tau kalau gue....” “Masih suka sama gue gitu?” tebak Olivia dan langsung mendapat anggukkan kepala dari Ardi. “Gue cuma nggak mau memaksa Rena untuk terus bersama gue, disaat gue sendiri belum bisa menyerahkan seluruh hati dan cinta gue untuknya.” “Ar... gue....” Ardi tersenyum. “Lo kenapa? lo mau minta maaf sama gue, karena nggak bisa membalas perasaan gue gitu?” tebaknya. Olivia menganggukkan kepalanya. Ardi merangkul bahu Olivia. “Gue nggak pernah meminta lo untuk membalas perasaan gue. Lo masih mau berteman sama gue aja, gue udah bahagia,” lanjutnya dengan senyuman di wajahnya. “Tapi, lo jangan pernah menyakiti Rena hanya karena gue. Gue nggak mau menyakiti Rena. Gue tau bagaimana sakitnya di khianati,” pinta Olivia sambil menundukkan wajahnya. Ardi mengusap puncak kepala Olivia. “Ayo, udah malam. Gue antar lo pulang.” Ardi lalu membuka pintu penumpang depan dan menyuruh Olivia untuk masuk ke dalam mobil. Olivia masuk ke dalam mobil. Ardi menutup pintu mobil, ia lalu melangkah menuju pintu pengemudi dan masuk kedalam mobil. Olivia dan Ardi tidak menyadari, jika sejak tadi interaksi mereka di lihat oleh Devan dari dalam mobilnya. “Sebenarnya apa hubungan Olivia dengan lelaki itu? apa mereka sepasang kekasih?” Setelah mobil Ardi melaju, Devan pun mulai melajukan mobilnya. Karena rasa penasarannya, Devan pun diam-diam mengikuti mobil Ardi. Astaga! Apa yang sebenarnya sedang gue lakukan? Kenapa gue begitu penasaran dengan hubungan mereka? Devan melihat mobil Ardi memasuki area restoran. “Apa mereka mampir untuk makan malam?” Devan, kenapa kamu sekarang malah seperti penguntit seperti ini sih? Devan memilih untuk melanjutkan perjalanannya. Ia tidak ingin melihat Olivia yang sedang berduaan dengan Ardi. “Lo mau makan apa?” tanya Ardi sambil membaca buku menu. “Terserah lo aja. Kenapa lo maksa gue untuk menemani lo makan malam? Bagaimana kalau sampai Rena tau? Dia pasti akan salah paham sama gue.” Ardi memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman. Setelah mencatat pesanan Ardi, pelayan itu pamit undur diri. “Lo tenang aja. Rena nggak akan marah ataupun salah paham sama lo. Dia sebenarnya tau kok, kalau gue masih sayang sama lo.” Olivia membulatkan kedua matanya. “Apa?” “Tapi lo tenang aja. Dia nggak akan mempermasalahkan itu kok, karena dia juga tau, kalau lo nolak gue dan nggak akan pernah membalas perasaan gue,” ucap Ardi sambil menepiskan senyumannya. Ar, maafin gue. Sejak awal, gue hanya menganggap lo sebagai sahabat gue. Andai waktu bisa gue putar kembali, gue akan memilih untuk jatuh cinta sama lo, ketimbang sama pria b******k seperti Rian. Seorang pelayan datang sambil membawa troli yang di atasnya terdapat makanan dan minuman yang dipesan oleh Ardi. Pelayan itu lalu meletakkan makanan dan minuman itu ke atas meja. Setelah mempersilahkan Ardi dan Olivia untuk menikmati hidangan yang sudah tertata dengan rapi di atas meja, pelayan itu pamit undur diri. “Ar, kenapa kamu pesan makanan ini? ini kan harganya mahal!” Ardi tersenyum. “Gak apa-apa kali. Sekali-sekali makan makanan mahal,” candanya. “Lain kali, gue nggak akan mau lo ajak makan, kalau caranya kayak gini. Lo ‘kan lagi butuh duit banyak untuk pengobatan ibu lo. Tapi, lo malah mentraktir gue makanan mahal kayak gini.” “Udah makan aja. Keburu dingin, nanti nggak enak lagi.” Ardi lalu mengambil satu sendok makanan lalu ia memasukkan kedalam mulutnya. Olivia menghela nafas, ia tidak punya pilihan lain selain memakan makanan itu. Tak baik juga menyia-nyiakan makanan—mubazir nanti. Setelah selesai makan, Ardi mengantar Olivia sampai ke rumahnya. Ardi menghentikan Olivia saat dia ingin membuka pintu mobilnya. Olivia menatap ke arah Ardi. “Ada apalagi? Apa lo nggak akan membiarkan gue pulang?” “Bukan gitu. Ada yang ingin gue katakan sama lo.” “Apa itu?” “Kemarin, ibu minta gue untuk mengajak lo ke rumah. Katanya ibu kangen sama lo. Apa lo bisa datang ke rumah gue untuk ketemu sama ibu gue?” Olivia dulu memang sering datang ke rumah Ardi. Tapi, semenjak ia menikah dengan Rian, Olivia sudah jarang datang ke rumah Ardi. Olivia tersenyum. “Ok,” sahutnya. Ardi tersenyum. “Terima kasih.” “Tapi....” “Kok ada tapinya?” “Gue akan ke rumah lo sama Rena. Gue tau, kalau lo belum pernah mengajak Rena ke rumah lo. Apalagi mengenalkan Rena sama tante.” Ardi menyengir kuda. “Gue belum siap aja ngenalin Rena sama Ibu. Lo kan tau, gimana hubungan gue sama Rena. Belum tau mau dimana kemana. Gue hanya nggak ingin membuat ibu kembali kecewa untuk kedua kalinya.” Dulu, Ardi pernah mengatakan kepada ibunya, kalau ia akan menjadikan Olivia sebagai menantu di rumahnya. Ibu Ardi pun senang mendengarnya. Tapi, wanita paruh baya itu harus menelan kekecewaan saat mendengar Olivia—wanita yang sangat dia sayangi menikah dengan pria lain. “Tapi, gue akan tetap datang sama Rena. Gue nggak ingin sampai Rena mikir yang nggak-nggak sama gue.” Ardi pun tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. “Ya udah, gue turun dulu.” Olivia lalu membuka pintu mobil dan keluar dari mobil Ardi. Ardi mencondongkan tubuhnya. “Besok gue jemput.” Belum juga Olivia menjawab, Ardi sudah keburu melajukan mobilnya. Olivia menghela nafas. “Lo pria yang baik, Ar. Tapi, maaf. Gue nggak bisa membalas perasaan lo. Selama ini, lo hanya gue anggap sebagai sahabat. Apalagi ibu lo yang sangat baik sama gue selama ini.” Olivia menghela nafas panjang, ia lalu melangkah menuju pintu rumahnya. Hari ini ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD