Pria itu

1761 Words
Hari yang telah ditentukan telah tiba. Dimana CEO perusahaan itu akan digantikan dengan orang lain—yang tak lain anak dari pemilik perusahaan itu. Bukan hanya Olivia, tapi semua karyawan perusahaan itu begitu penasaran dengan wajah pemimpin mereka yang baru. Farhan sengaja meminta seluruh karyawannya untuk berkumpul di ruang meeting. Ia ingin memperkenalkan Devan sebagai pemimpin baru perusahaannya. Olivia kini tengah berdiri disamping Rena dan Ardi. Bahkan para karyawan di perusahaan itu memberikan julukan trio kwek-kwek kepada mereka, hanya karena mereka lebih sering menghabiskan waktu istirahat mereka bertiga, dan tidak pernah bergabung dengan karyawan yang lainnya. “Vi, kira-kira anaknya Pak Farhan itu ganteng nggak ya? Mengingat wajah Pak Farhan kan ganteng, siapa tau anaknya bisa lebih ganteng, apalagi dia masih muda,” ucap Rena sambil mengkhayal. “Ar, lo nggak marah, melihat pacar lo selalu memuji cowok lain di depan lo gitu?” tanya Olivia sambil menatap Ardi yang terlihat cuek. Ardi mengedikkan kedua bahunya. “Terserah Rena mau muji siapa aja, asal dia nggak bikin ulah aja,” sahutnya. “Kalian ini memang pasangan yang aneh!” seru Olivia. Rena menarik-narik lengan kemeja Olivia saat melihat atasannya masuk ke dalam ruangan bersama dengan seorang pria muda. “Ra, bukankah pria itu, cowok yang lo tabrak waktu itu?” tanya Rena lirih. Olivia membulatkan kedua matanya. "Astaga! Mati gue!" umpatnya dalam hati. Kedua mata Olivia dan Devan saling bertemu tatap. Mereka sama-sama terkejut bisa bertemu lagi di waktu dan situasi yang tak terduga sama sekali. “Iya, Vi. Itu cowok yang lo tabrak waktu di mall,” bisik Ardi. “Ren, gimana ini? mati gue. Apa dia masih ingat sama gue ya?” takut Olivia. “Dari cara dia menatap lo, sepertinya dia ingat deh,” tebak Rena malah semakin memperkeruh suasana hati Olivia. Farhan berdehem. “Selamat siang semuanya,” sapanya. “Selamat siang, Pak,” sahut semua karyawan yang ada di ruangan itu. “Seperti yang saya katakan pada kalian minggu lalu, tentang siapa yang akan menggantikan saya untuk memimpin perusahaan ini. Saya ingin mengenalkan pemimpin baru kalian.” Farhan menatap Devan. “Pria yang berada di samping saya ini, dia adalah putra saya satu-satunya. Namanya Devan. Dia akan menjadi atasan baru kalian.” Devan hanya diam, ia terus menatap gadis yang telah menabraknya waktu itu. Ada rasa penasaran di otaknya. Kenapa gadis itu ada di perusahaannya, dan dia bekerja sebagai apa di perusahaannya itu. Apalagi saat melihat penampilan Olivia yang begitu seksi menurutnya. Olivia hanya mampu menundukkan wajahnya, ia tidak berani menatap ke arah Devan. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam hal yang mungkin akan terjadi padanya setelah ini. Pemecatan mungkin. Rena menyenggol lengan Olivia. “Hai, lo kenapa diam aja? Apa lo nggak denger sejak tadi Pak Farhan memanggil lo?” “Hah!” kedua mata Olivia membulat dengan sempurna. "Ada apa ya?" gumam Olivia dalam hati. “Cepetan kesana,” suruh Ardi. Olivia lalu melangkahkan kakinya menghampiri Farhan dan Devan. “Devan, ini adalah Olivia. Dia adalah sekretaris Papa, dan mulai sekarang, dia akan menjadi sekretaris kamu. Olivia ini sangat cekatan, dan bertanggung jawab dengan pekerjaannya selama ini,” jelas Farhan mencoba memperkenalkan Olivia. “Selamat datang di kantor, Pak Devan. Di mohon kerjasamanya,” ucap Olivia dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. "Menarik," batin Devan. Setelah acara perkenalan selesai, semua karyawan di persilahkan untuk kembali bekerja. Tapi tidak dengan Olivia. Devan meminta Olivia untuk tetap tinggal di ruang meeting bersama dengan dirinya dan ayahnya. Tapi, itu hanya sesaat, sebelum akhirnya Farhan pamit dan keluar dari ruangan itu. “A—apa ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Olivia sambil menundukkan wajahnya. Olivia tidak menyangka, jika pria yang ia tabrak waktu itu adalah atasan barunya. Jika ia bisa memutar waktu dan kembali ke masa lalu. Ia akan memilih untuk bersimpuh di depan pria itu dan memohon ampun. “O... li... via, nama yang bagus,” ucap Devan sambil melipat kedua tangannya di dadanya, menyilang kan salah satu kakinya, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Apa kamu masih ingat siapa saya? Apa kamu ingat kalau kita pernah bertemu sebelumnya?” lanjutnya. “Ma—maafkan saya, Pak. Waktu itu saya benar-benar tidak sengaja. Saya....” “Sssttt....” Devan menempelkan jari telunjuknya di depan mulutnya. Ia menyuruh Olivia untuk menutup mulutnya. Olivia pun menutup mulutnya rapat-rapat. Sepertinya mulai hari ini dan seterusnya, ia harus bersabar dalam menghadapi sikap dan sifat atasan barunya, yang ternyata memang berbanding terbalik dengan ayahnya. “Apa saya meminta kamu untuk meminta maaf? Bukankah kamu waktu itu sudah meminta maaf kepada saya?” Olivia hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia tidak berani untuk mengeluarkan suaranya. “Kenapa kamu diam dan hanya mengangguk? Apa kamu tidak punya mulut untuk menjawab pertanyaan saya?” "Astaga! Kenapa gue jadi serba salah gini sih! Sabar Olivia... lo harus sabar," gumam Olivia dalam hati. “Iya, Pak,” sahutnya kemudian. “Iya apa? apa kamu mengakui kalau kamu tidak punya mulut?” Astaga! Sabar-sabar. “Iya, saya waktu sudah meminta maaf kepada anda. Tapi, apa salahnya kalau saya kembali meminta maaf kepada anda, karena waktu itu murni kesalahan saya.” Devan tersenyum. “Baru kali ini ada seseorang yang berani berbicara seperti itu kepada saya. Sungguh menarik.” Olivia membulatkan kedua matanya. Ia merutuki kelancangan mulutnya yang sama sekali tidak bisa ia rem. “Ma—maafkan saya,” pintanya sambil menundukkan wajahnya. Devan lalu beranjak dari duduknya. “Buatkan saya kopi. Bawa keruangan saya.” Devan lalu melangkah keluar dari ruangan meeting itu. Setelah memastikan Devan benar-benar sudah pergi. Olivia mengepalkan kedua tangannya. “Astaga! Mimpi apa gue semalem? Kenapa hari ini gue sial banget!” Rena dan Ardi masuk ke dalam ruang meeting. “Vi, lo nggak apa-apa kan? Lo nggak di apa-apain sama Pak Devan kan?” tanya Ardi cemas. Olivia mendudukkan tubuhnya di kursi. “Na, Di, kayaknya gue sedang dalam masalah besar deh,” ucapnya dengan tubuh lemas. “Apa maksud lo? Apa Pak Devan benar-benar ingat sama lo?” tanya Rena terkejut. Olivia menganggukkan kepalanya. “Sepertinya, gue selalu salah di matanya. Apa gue akan kuat kerja sama pria dingin dan angkuh kayak dia?” Rena menepuk bahu Olivia. “Olivia yang gue kenal nggak akan mudah menyerah seperti ini. Gue yakin, lo pasti bisa,” ucapnya mencoba memberikan semangat kepada sahabatnya. “Gue juga yakin, lo pasti bisa menghadapi semua ini,” imbuh Ardi. Olivia menganggukkan kepalanya. Ia lalu beranjak dari duduknya. “Gue pergi dulu. Bos besar minta dibikinin kopi. Gue nggak mau kalau dia sampai marah-marah hanya karena gue telat bawa kopi pesanannya.” Rena dan Ardi menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga lalu keluar dari ruangan meeting itu. Olivia mengetuk pintu ruangan atasannya. Di tangannya sudah ada nampan yang di atasnya ada secangkir kopi pesanan Devan. “Masuk,” sahut Devan dari dalam ruangannya. Dengan perlahan Olivia membuka pintu ruangan itu. Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan atasannya itu. “Ini kopi pesanan Bapak,” ucap Olivia lalu meletakkan secangkir kopi di depan Devan. “Duduk!” “Hah! tapi....” “Saya bilang duduk! Apa kamu juga tidak punya telinga!” Olivia tidak mau memperkeruh suasana, ia akhirnya memilih untuk menarik salah satu kursi yang berada di depan meja kerja Devan. “Apa ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?” Devan lalu mengambil berkas dari atas meja, dan ia lemparkan di depan Olivia, hingga membuat Olivia terkejut. “Kamu teliti ulang berkas itu. Jangan sampai kamu berikan berkas itu kepada saya dengan hasil yang masih sama!” Olivia mengernyitkan dahinya. “Tapi, Pak. Ini kan bukan wewenang saya. Ini adalah tugas bagian keuangan.” “Terserah kamu, yang penting hari ini juga, saya ingin laporan itu ada di atas meja kerja saya tanpa ada kesalahan sedikitpun!” Devan lalu mengambil secangkir kopi yang tadi diletakkan Olivia di depannya. Dengan perlahan Devan meniupnya sebelum menyeruputnya. Devan terdiam, ia lalu kembali menyeruput kopi buatan Olivia itu. "Hem... baru kali ini gue minum kopi seenak ini," gumam Devan dengan mengulum senyum. “Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Olivia lalu mengambil berkas yang tadi di lempar Devan. Olivia lalu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari ruangan atasannya. “Sungguh wanita yang menarik,” ucap Devan sambil menyunggingkan senyumannya. Saat Devan tengah menikmati kopi buatan Olivia, tiba-tiba ia mendengar suara dering ponselnya. Devan lalu meletakkan secangkir kopi itu ke atas meja. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam tas kerjanya. “Halo,” sahutnya setelah panggilan itu tersambung. “Sayang, aku kangen. Kapan kamu datang ke apartemen aku lagi?” Devan menghela nafas kasar. “Ayo kita putus!” “Apa? kamu jangan bercanda ya? Nggak! Aku nggak mau kita putus!” “Terserah! Hari ini juga hubungan kita berakhir. Jangan pernah kamu muncul di depanku lagi!” “Devan! Kamu memang b******k!” Devan tidak mau mendengar makian wanita yang kini sudah berstatus mantan pacarnya itu. Ia pun memilih untuk mengakhiri panggilan itu, dan kembali menikmati kopi buatan Olivia. Olivia baru saja menyerahkan berkas yang tadi diberikan oleh Devan kebagian keuangan. Ia lalu mendudukkan tubuhnya ke kursi kerjanya. “Apa gue bisa menjalani semua ini? ini aja belum ada sehari, tapi gue berasa udah nggak sanggup.” Olivia lalu melipat kedua tangannya ke meja, ia lalu menempelkan keningnya ke kedua lengannya itu. Ia tidak menyangka, hari-harinya akan mulai berubah mulai hari ini. Terdengar suara ketukan di meja. Olivia lalu mendongakkan wajahnya. Kedua matanya sontak langsung membulat dengan sempurna saat melihat siapa sosok yang saat ini tengah berdiri di depan meja kerjanya. "Mati gue! Kenapa sih dia selalu muncul di depan gue!" umpat Olivia dalam hati. “Apa saya menggaji kamu hanya untuk bermalas-malasan seperti ini?” Devan berdiri di depan meja kerja Olivia dengan kedua telapak tangan yang ia masukkan kedalam saku celana kerjanya. Bahkan sorot matanya begitu tajam. Olivia sontak langsung berdiri dari duduknya. “Maafkan saya, Pak,” ucapnya sambil menundukkan wajahnya. “Belum ada sehari saya berada di kantor ini. Tapi, kamu sudah berkali-kali mengucapkan kata maaf kepada saya. Apa itu memang hobi kamu?” Olivia menggelengkan kepalanya sambil menundukkan wajahnya. “Sekarang kamu ikut saya.” Olivia mendongakkan kepalanya. “Kemana, Pak? Hari ini tidak ada jadwal meeting sama sekali.” “Makan siang. Saya lapar.” Tanpa mendengar persetujuan dari Olivia, Devan sudah terlebih dulu melangkahkan kakinya menuju lift. “Dasar! Wajah ganteng, tapi sifatnya... kalau bukan bos gue, udah gue maki-maki tu orang!” Olivia dengan terpaksa mengikuti langkah kaki Devan. Ia tidak ingin memperbanyak catatan kesalahannya hari ini. Apalagi hari ini adalah hari pertamanya bekerja dengan atasan barunya. "Gue sumpahin lo kena sial hari ini! Devan, sialan! Sungguh menyebalkan!" umpat Olivia dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD