7. Open Marriage and Privacy

1969 Words
"Setelah kamu dan Lea nikah nanti, kamu sepenuhnya tinggal di Indonesia, dan Papi mau kamu langsung ambil alih jabatan Papi di perusahaan. Kamu boleh balik ke dulu ke Aussie setelah pesta pertunangan kamu, urus semua disana, dan pulang sebelum hari pernikahan kamu. And after that, you have to live permanently here." Setiap kali ayahnya mengatakan itu, rasanya Melvin mau tertawa saja. Bukan karena lucu, tapi karena miris dan merasa tidak mengerti. Di saat orang lain mungkin akan senang karena dihadiahi jabatan tertinggi di perusahaan saat seusia Melvin yang masih terbilang muda dan itu bisa menjadi pencapaian yang sangat baik untuknya, Melvin justru tidak terlalu senang. Melvin tahu, cepat atau lambat memang jabatan sebagai pimpinan perusahaan keluarga akan diwariskan padanya. Tapi, ia hanya tidak menyangka jika kejadiannya secepat ini. Di saat ayahnya yang sekarang menjabat masih dalam keadaan sehat dan masih lebih dari mampu untuk mengemban jabatan tersebut setidaknya sampai beberapa tahun ke depan. Tapi, tiba-tiba saja promosi itu akan didapat Melvin sebentar lagi. Membuatnya tidak hanya akan menjadi pimpinan perusahaan dan ahli waris, tapi juga menjadi kepala keluarga Wiratmaja di mata kamu elite. Yang mana tanggung jawab atas status itu cukup berat untuk dipikul. "Aku masih nggak ngerti deh, Pi," ungkap Melvin jujur. "Rasanya tiba-tiba banget. Aku pikir, seenggaknya masih sepuluh tahun lagi sampai aku harus gantiin Papi. But why now? Apa alasan Papi?" Sekarang ia sedang berada di ruang kerja ayahnya yang mewah, dan sebentar lagi ia yang akan menempati ruang kerja itu. Ditatapnya lurus Arthur yang duduk di depan meja kerjanya, sementara Melvin berdiri persis di depan meja Arthur. Decakan Arthur terdengar setelah Melvin bertanya begitu. "Udah berapa kali kamu tanya dan Papi jawab, Papi cuma mau pensiun lebih cepat. Papi capek, maunya liburan keliling dunia sama mami kamu. It's time for you and Abby to shine. Lagipula, Papi dulu juga mulai ambil alih perusahaan nggak jauh dari usia kamu sekarang." That's so bullshit, keluh Melvin dalam hati. "Come on, Pi, aku tau segila kerja apa Papi. Jadi, aku rasa itu bukan alasan utama Papi memilih pensiun dini kayak yang Papi bilang itu. Can you just tell me the truth?" "That's the truth, Melvin." Melvin berdecak. "Jangan bilang, alasan Papi yang sebenarnya berhubungan sama perjodohan aku dan Lea?" Air muka Arthur berubah tidak senang dan tatapannya pada Melvin pun menajam. He just hit the right spot. Tapi Melvin tahu, ayahnya pasti tidak akan bicara jujur. "Kamu masih aja berpikiran buruk tentang Lea dan keluarganya. Udah Papi bilang, mereka bukan orang jahat. Kalau pun memang mereka ada hubungannya sama alasan Papi, tetap Papi tahu apa yang terbaik untuk kamu dan keluarga kita." "Papi-" "I'm not arguing with you today," potong Arthur. Ia melihat jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Sebentar lagi rapat sama dewan direksi perusahaan mulai. Please behave yourself, karena hari ini Papi mau mulai membahas perihal transisi kepemimpinan antara kita berdua." Sekuat tenaga Melvin mencoba untuk tidak memutar bola mata di depan ayahnya sendiri, yang mana jika ia lakukan maka akan membuatnya terlihat sangat tidak sopan. Untungnya Melvin bisa menahan diri dan berujung hanya berujar, "Tetap aja aku nggak akan percaya sama keluarga Sadajiwa dan Lea yang jelas-jelas mencurigakan. Asal Papi tau, she didn't even flinch when she saw Darius Danuarji died in that party. Dan aku rasa, sikap begitu nggak manusiawi." Arthur memilih mengabaikan Melvin dan mengajaknya untuk segera ke ruangan rapat. Membuat Melvin kian kesal dan merasa berat hati menerima pertunangannya dengan Lea yang akan dilangsungkan satu minggu lagi. *** Setelah rapat, Melvin berekspektasi bisa langsung pulang ke rumah untuk istirahat atau mengajak Darel atau Pandu pergi ke suatu tempat yang bisa menghilangkan sejenak rasa muaknya terhadap urusan perusahaan serta pertunangannya dan Lea. Sayangnya, harapan sederhana Melvin hari itu juga harus pupus karena orangtuanya sudah mengatur sebuah makan siang bersama Lea. Kali ini, hanya akan ada mereka berdua saja. Alasannya tentu saja, lagi-lagi untuk membuat hubungan Melvin dan Lea semakin akrab. Melvin sendiri berpikir jika rencana orangtuanya itu percuma saja, tapi ia juga tidak bisa menolaknya. On a bright side, Melvin sebetulnya hendak menyampaikan sesuatu pada Lea mengenai hubungan perjodohan mereka. Dan agenda makan siang mereka ini adalah waktu yang tepat baginya untuk membahas tentang itu. Dari kantor pusat Rangkai Bumi, Melvin dibawa oleh supirnya menuju sebuah kafe yang alamatnya dikirimkan oleh Lea lewat pesan. Lea sudah sampai duluan disana. Walau yang merencanakan agenda makan siang ini adalah orangtua Melvin, namun Lea sendiri yang memilih tempatnya. Kafe bergaya vintage yang menjadi lokasi makan siang mereka hari ini bernama Printemps. Kafe tersebut bertingkat dua dan bergaya vintage yang didominasi oleh warna putih, sungguh kontras dengan ice cream parlor di sebelahnya yang mengusung tema colorful, sebagaimana umumnya tempat yang menjual es krim. Lea bilang dia ada di lantai dua kafe itu, tepatnya di bagian outdoor. Jadi, Melvin langsung pergi kesana setibanya ia di Printemps. Begitu sampai di lantai dua, Melvin bisa langsung melihat kalau bagian outdoor kafe ini sepi. Tidak heran, udara di luar sedang terik-teriknya. Meski bagian outdoor kafe dilingkupi oleh kanopi sehingga yang duduk disana tidak akan langsung terkena matahari, tetap saja orang-orang akan lebih memilih berada di dalam ruangan yang memiliki hembusan sejuk angin AC. Lea adalah satu-satunya yang berada disana. Dan Melvin agak kaget melihat penampilan perempuan itu hari ini. Di pertemuan-pertemuan mereka sebelum ini, Lea selalu berpenampilan seperti seorang perempuan manis dengan dress-dress berwarna cerah, make up tipis, dan rambut yang terurai dan ditata rapi dengan bandana atau hiasan kepala lainnya. Sekarang, di saat mereka hanya bertemu berdua saja, penampilan Lea justru sangat berbeda. Tidak ada dress manis berwarna cerah, Lea justru mengenakan sebuah crop tank top yang dilapisi jaket kulit, skinny jeans, sepatu boots, dan semuanya berwarna hitam. Rambut Lea juga hari ini tidak terurai melainkan digelungnya dalam ikatan yang berantakan, dan make up-nya terlihat lebih bold dengan lipstick berwarna brick red yang terpulas di bibirnya. Tapi yang paling mengejutkan Melvin adalah Lea yang dengan santainya sedang merokok begitu ia tiba di hadapan perempuan itu. Ada berapa banyak versi dari seorang Azalea Sadajiwa sebenarnya? tanya Melvin dalam hati. "Halo, Mr.Wiratmaja," sapa Lea santai dan ramah, seperti biasanya. "Kamu merokok?" Sebelah alis Melvin terangkat, tapi sedetik setelahnya ia menggelengkan kepala. "Not anymore," jawab Melvin. "Oke." Lea langsung mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah pada asbak yang ada di atas meja. Ketika Lea melakukan itu, Melvin yang sudah duduk di hadapannya memandangi Lea aneh. Lea pun tertawa menyadari tatapan Melvin itu. "Kenapa sih? Gitu banget ngeliatinnya?" "Pastinya karena penampilan kamu yang beda banget hari ini," ungkap Melvin jujur. "Aku tebak, aslinya memang kamu begini? The sweet Azalea yang kemarin itu cuma kamuflase di depan orangtua, right?" Lea bertopang dagu. Senyum manis masih menggantung di bibirnya dan pertanyaan Melvin hanya ia jawab dengan mengedikkan bahu. Memberi jawaban yang terkesan tidak pasti, padahal Melvin tahu jika tebakannya itu benar. Ternyata, Lea memang tidak semanis yang ditunjukkannya selama ini. Bahkan penampilannya saja menipu. Setelah ini apalagi yang akan Melvin ketahui? Perlu usaha keras bagi Melvin untuk tidak memutar bola mata di depan Lea dan menunjukkan rasa tidak sukanya. Jujur saja, semakin hari bukannya merasa bisa menerima Lea, yang terjadi justru kebalikannya. Semakin lama Melvin seolah semakin ditunjukkan sisi lain Lea yang menurutnya mencurigakan, penuh rahasia, dan tentu saja tidak disukainya. Melvin masih ingat sekali dengan ekspresi Lea minggu lalu ketika melihat Darius Danuarji yang tiba-tiba tumbang di pesta. Berbeda dengan orang-orang lain yang terlihat panik dan terkejut ketika melihat kepala keluarga Danuarji itu tergeletak di lantai, Lea justru santai dan tidak seperti terkejut maupun merasa panik sama sekali. Lea bahkan berujar dengan begitu santainya, "I think he's dead. Kemungkinan serangan jantung." Dan memang benar, dari kabar yang beredar, Darius Danuarji dinyatakan mengalami serangan jantung malam itu dan beliau meninggal. Menjadikan pesta yang diadakannya kacau dan terasa sangat ironis. Rasanya janggal sekali karena Lea bisa tahu. Walau hanya asal tebak saja, tapi anehnya tebakan tersebut begitu tepat. Ini mungkin terkesan konyol dan Melvin juga tidak tahu bagaimana menyambungkan teori ini, namun ia jadi curiga jika Lea terlibat dengan kematian Darius Danuarji. Such a wild fantasy, of course. Tapi mau bagaimana lagi, sekarang Melvin sudah menganggap jika semua tentang Lea selalu mencurigakan. "Harusnya kamu nggak perlu datang beneran, Melvin. Aku bisa kok diajak kongkalikong kalau mau." "Kok gitu? Emangnya kamu nggak mau ketemu aku?" "Ya...sebenernya emang males sih." Melvin mendengus, agak sebal dengan jawaban Lea yang entah serius atau hanya sekedar menggodanya. "Kebetulan aku emang mau ketemu kamu kok," ujar Melvin. "Ada yang mau aku omongin." "Oh ya? Soal apa? Curiga ke aku tentang hal apa lagi sekarang?" Kali ini Melvin sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mata. "Aku pesan makan dulu. I'm hungry, tadi abis rapat." "Silahkan, Mr.Wiratmaja. Just so you know, swedish meatballs disini enak banget. Very recommended." Akhirnya, Melvin memanggil pelayan untuk memesan makanan untuknya. Ia sengaja tidak memesan menu yang direkomendasikan Lea tadi, berharap perempuan itu akan sebal, tapi Lea tetap tenang dan tidak terlihat sebal sama sekali. Lea sendiri tidak memesan makanan karena katanya masih kenyang dan berujung hanya memesan americano dingin. Jika seorang perempuan tahan minum americano, itu artinya mereka pecinta kopi atau sudah akrab dengan kopi karena membutuhkannya. "Jadi, mau ngomongin apa?" tanya Lea setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi. "Tentang hubungan kita," ujar Melvin langsung ke inti. Ia tidak berniat untuk basa-basi. "Kamu tau kan, minggu depan kita tunangan. Dan satu atau dua bulan lagi, kita bakal nikah. I don't like you and you don't like me, kita sama-sama tau itu. Jadi, aku rasa pernikahan kita nanti nggak akan bisa berjalan normal kayak pernikahan orang-orang pada umumnya. Karena itu, aku mau kita bikin batasan-batasan dalam arranged marriage ini." Lea terlihat tertarik. Ia kembali bertopang dagu dan bertanya, "Batasan-batasan gimana?" "Aku mau kita nanti ngejalanin open marriage." "Oh, wow." Lea tertawa. "You're so wild, Melvin." Melvin mengedikkan bahu. "Kita sama-sama nggak mau pernikahan ini, kan? Jadi yaudah, open marriage solusinya. Tapi tentunya tanpa sepengetahuan orangtua kita. Di depan mereka, kita akting kayak pasangan yang sempurna, dan kasih apa yang mereka mau. Di luar itu, kita masih bebas. Terserah kamu mau jalin hubungan sama siapa, dan terserah aku juga mau jalin hubungan sama siapa. Kita masih jalanin hidup masing-masing terlepas dari status pernikahan kita nanti," jelas Melvin. Hal ini sudah dipikirkannya sejak kemarin-kemarin. Ia rasa hanya dengan menjalani open marriage lah ia bisa menerima pernikahan mereka. Karena dengan begini, Melvin masih akan memiliki kebebasannya, begitu pun dengan Lea. Melvin tidak mau terlalu dekat dengan Lea  ketika mereka sudah menikah nanti karena begitu banyaknya kecurigaan yang ia miliki pada perempuan itu. "Lagi pula, pernikahan ini juga cuma buat menuhin tujuan orangtua kita, kan? Aku nggak tau apa tujuan orangtua kamu, tapi orangtuaku jelas mau keturunan. Jadi, terlepas dari tujuan punya anak bersama, aku mau kita tetap menjalani kehidupan masing-masing. I'll give you privacy, and so do you to me. Untuk detail tentang batasan yang lain bisa kita bahas nanti, sesuai kesepakatan bersama. Gimana?" Melvin pikir, Lea akan meminta waktu untuk berpikir. Meski Melvin tahu banyak pasangan yang dijodohkan di kalangan mereka menjalani open marriage, tapi tetap saja hal tersebut tidak dapat dikatakan lumrah dan bisa dibilang tabu. Namun hanya butuh waktu kurang dari semenit--atau mungkin tiga puluh detik--bagi Lea untuk memberikan jawaban berupa anggukan kepala. "Cool," katanya. "Ide yang bagus." "Kamu setuju?" tanya Melvin agak tidak percaya. Karena memang Lea langsung mengiyakan tanpa bernegosiasi apa-apa dulu. Lea kembali menganggukkan kepala. "Privacy. Itu yang aku mau. Jadi, aku harap kamu pegang omongan kamu untuk saling menghormati privasi satu sama lain setelah kita nikah nanti." "Oke." Melvin mengulurkan tangannya pada Lea. Dengan senang hati Lea menerima uluran tangan Melvin, dan mereka pun berjabat tangan untuk meresmikan kesepakatan yang baru saja dibuat di antara mereka. Tapi, diam-diam Melvin jadi terpikir dengan perkataan Lea sebelumnya. Kelihatannya, Lea begitu menginginkan privasi, sehingga Melvin tanpa bisa dicegah jadi bertanya-tanya, rahasia apa yang ingin dilindungi Lea di balik privasi tersebut?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD