6. Pesta

2535 Words
Sebetulnya Melvin sama sekali tidak suka datang ke sebuah pesta yang diadakan oleh kaum elite hanya untuk sekedar pamer, terutama jika yang diadakan di Indonesia. Entah itu perayaan ulang tahun, anniversary, atau pesta apapun itu yang hanya diperuntukkan untuk menghamburkan uang dan jadi ajang saling pamer. Karena selama ini dirinya bisa dikatakan berdomisili di Australia, jadi Melvin bisa dihitung jari berapa kali Melvin pernah menghadiri pesta semacam itu. Orangtuanya dan Abby lah yang sering menghadiri pesta-pesta tersebut untuk mewakilkan keluarga mereka. Dan dari semua pesta-pesta yang pernah Melvin datangi secara langsung, tidak ada satu pun yang membuat Melvin suka apalagi betah. Bagi Melvin, semuanya memuakkan. Jadi, tidak perlu ditanya lagi semuak apa Melvin karena harus menghadiri sebuah pesta sejenis itu malam ini. Tidak hanya Melvin saja, tapi satu keluarganya akan datang kesana karena pesta tersebut besar dan semua pebisnis hebat akan berkumpul disana, membuatnya jadi tempat yang tepat untuk bersosialisasi dan membangun relasi. Yang membuat Melvin muak, walau anggota keluarganya yang lain datang, namun Melvin akan pergi secara terpisah dengan mereka. Karena pada pesta yang diadakan oleh keluarga Danuarji untuk merayakan hari jadi perusahaan mereka itu, Melvin akan datang bersama tunangannya. Karena disana, secara tidak langsung mereka akan mengumumkan kepada semua orang tentang hubungan mereka, atau lebih tepatnya hubungan tidak terduga antara keluarga Wiratmaja dan Sadajiwa. Orangtuanya dan Abby sudah berangkat duluan ke lokasi pesta, ditambah dengan Savero yang sudah tiba di Indonesia dan turut serta datang ke pesta tersebut untuk menemani Abby. Sementara Melvin memisahkan diri karena ia harus menjemput Lea terlebih dahulu. Melvin sengaja mengendarai sendiri mobil Mercedes Benz C-Class Estate yang merupakan mobil yang biasa digunakannya ketika berada di Indonesia. Sengaja tidak ingin menyetir sendiri karena tidak mau diawasi oleh supir yang Melvin ketahui pasti akan memberitahu semua yang terjadi antara dirinya dan Lea kepada orangnya. Lea sendiri sudah tidak berada di rumah utama keluarganya lagi dan sudah kembali ke apartemen mewah yang ia tinggali bersama dua saudara perempuannya di Jakarta. Melvin akan menjemput Lea disana. Dan sejujurnya, di sepanjang perjalanan menjemput Lea, ia tidak merasa senang sama sekali. Pertemuan mereka saat acara makan siang keluarga waktu itu tidak berujung begitu baik. Ada kecurigaan besar yang dirasakan Melvin terhadap Lea setelah kejadian di balkon tempo hari. Ia yakin sekali melihat seorang pria yang berjalan terseok-seok berlumuran darah di kebun teh ketika Lea hendak menariknya pergi dari sana. Namun, ketika Melvin protes dan memberitahu Lea soal apa yang dilihatnya sehingga ia kembali membuka pintu balkon untuk memeriksa titik yang ia lihat sebelumnya, sosok pria itu sudah tidak terlihat lagi, menghilang begitu saja bagai ditelan udara. Lea bilang, Melvin hanya mengada-ada dan berhalusinasi. Tetapi Melvin sangat yakin dengan apa yang dilihatnya. Terlebih lagi, sikap Lea yang sebelumnya terlihat terkejut pun begitu mencurigakan. Sayangnya Melvin tidak bisa membuktikan omongan dan juga apa yang dia lihat, karena memang ia tidak bisa membuktikannya. Setelah itu, Lea mengajak Melvin kembali ke keluarga mereka dan di sisa waktunya di kediaman keluarga Sadajiwa, ia tertahan dan harus mengobrol bersama Hermadi dan juga orangtuanya. Sementara Lea dan satu saudaranya sempat menghilang dan tidak terlihat di ruang yang sama, sehingga Melvin kian curiga. Namun, Melvin memutuskan untuk menyimpan kecurigaan itu sendiri dan tidak memberitahukan keluarganya tentang apa yang dia lihat. Sebab Melvin tahu, keluarganya tidak akan percaya. Kemungkinan besar mereka hanya akan menganggap Melvin mengarang cerita sebagai alasan untuk membatalkan pertunangannya dengan Lea. "Tepat jam tujuh. You're so on time, Mr.Wiratmaja." sapaan itu didapat Melvin dari Lea begitu pintu apartemen Lea terbuka dan ia menyambut Melvin yang sudah berada di depan pintu dengan senyuman lebar. Lea terlihat cantik malam ini. Ia mengenakan dress hijau gelap dengan potongan off shoulder. Dress itu membalut pas tubuh ramping Lea. Dan walaupun desainnya simpel, namun Lea tetap terlihat elegan dalam balutan dress tersebut, ditambah lagi beberapa perhiasan yang menempel di tubuhnya. Hanya saja, Melvin tidak terpesona meski mengakui jika Lea cantik. Ia bahkan tidak tersenyum sama sekali. "Aku emang bukan tipikal orang yang suka datang terlambat," jawab Melvin dengan nada dingin. Meski mendapat sikap seperti itu dari Melvin, senyuman Lea tetap tidak luntur. "Berangkat sekarang kalau gitu?" Sebelah alis Melvin terbangkat. "Nggak mau nawarin mampir ke dalam dulu emangnya?" tanya Melvin. "Rasanya aku harus pamitan sama saudara-saudara kamu?" Melvin sebenarnya tidak benar-benar ingin mampir ke apartemen Lea, namun samar dirinya mendengar suara televisi dan orang-orang mengobrol dari dalam sana. Ketika Melvin sedikit melihat ke dalam pun, didapatinya ada Letta dan Ella yang duduk di depan televisi yang menyala, namun fokus mereka sama sekali tidak berada di layar televisi, melainkan pada laki-laki entah siapa yang sedang bersama mereka. Seharusnya, Melvin berpamitan dengan saudara-saudara Lea itu sebelum membawanya pergi. "Nggak usah, langsung aja. Mereka lagi sibuk." Tapi Lea menolak Melvin masuk ke apartemennya. Melvin pun mengerjap ketika Lea menutup pintu di apartemennya sehingga ia sudah benar-benar berada di luar apartemen sekarang. "Nanti aja pas pulang. Maybe we can share one kiss or two after that?" goda Lea. Melvin menggelengkan kepala. "No." Kali ini Lea tertawa. "Bercanda," ujarnya. "Kita harus berangkat sekarang supaya nggak telat." Diamitnya lengan Melvin, lantas ia menarik laki-laki itu untuk berjalan keluar dari gedung apartemennya. Tidak membiarkan Melvin untuk masuk ke apartemennya sama sekali. Bahkan, mengajak Melvin berpamitan dengan saudara-saudaranya pun tidak. Seolah Lea tidak mau Melvin mengganggu saudara-saudaranya yang entah sedang membicarakan hal serius apa. Tawa pun lolos dari bibir Melvin setelah beberapa langkah mereka berjalan menjauhi unit apartemen Lea. Perempuan itu mendongak untuk menatap Melvin dan memberinya tatapan penuh tanda tanya. "Kenapa ketawa tiba-tiba?" tanya Lea. Melvin masih tertawa ketika ia membalas, "Nggak apa-apa." "Kecuali orang gila, rasanya nggak mungkin ketawa tanpa alasan yang jelas." "Well...kalau gitu alasannya kamu. Aku ketawa karena kamu." "Kenapa?" "Lucu aja karena aku ngerasa semakin hari kamu makin mencurigakan." Lea tertegun sesaat dan hanya memandangi Melvin. Kemudian, sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum miring. Tenang Lea menjawab, "Itu memang salah satu daya tarikku, Mr.Wiratmaja. Jadi, terima aja ya?" *** Sesuai dugaan, kehadiran Melvin dan Lea di pesta itu berhasil mengundang perhatian banyak orang. Tentu saja mereka terkejut melihat Melvin Jatmika Wiratmaja, sang pewaris atau putra mahkota di keluarga Wiratmaja yang jarang terlihat menghadiri pesta-pesta semacam ini, tiba-tiba saja datang bersama Azalea Sadajiwa sebagai pasangannya. Kehadiran keduanya sebagai pasangan langsung menjadi tanda bahwa keluarga Wiratmaja dan Sadajiwa tidak akan hanya menjadi besan, tapi juga bersatu menggabungkan kekuatan bisnis mereka. "Wow. Melvin Wiratmaja dan Azalea Sadajiwa? Apa kami bakal dengar berita baik dari kalian sebentar lagi?" gurauan itu didapat Melvin dan Lea dari Darius Danuarji, sang tuan rumah dari pesta malam ini, ketika mereka menemuinya untuk menyapa. Melvin dan Lea tersenyum pada pria paruh baya itu. Tapi sejujurnya, Melvin tidak terlalu menyukai sosok Darius maupun keluarga Danuarji yang lain. Reputasi mereka tidak terlalu bagus di kalangan pebisnis. Sebagai keluarga yang memiliki perusahaan di bidang pangan, keluarga Danuarji terkenal tidak memperlakukan para buruhnya secara manusiawi karena jam kerja yang panjang tidak sebanding dengan upah mereka yang tidak sesuai standar. Bahkan, dikatakan bahwa setiap bulan ada buruh mereka yang sakit atau meninggal dunia karena overwork. Namun, semua berita itu tidak pernah terendus media karena tentu saja, ada uang tutup mulut yang berperan. "Doain yang terbaik aja ya, Om," balas Lea ramah. Melvin agak terkejut karena Lea terdengar cukup akrab dengan Darius hingga menyebutnya dengan sebutan 'om'. Darius tertawa dan menepuk-nepuk pundak Lea. "Pasti saya doakan yang terbaik untuk kalian." "Terima kasih," ujar Melvin. Sekali lagi ia tersenyum. "Selamat juga ya Pak atas ulang tahun perusahaan anda. Semoga ke depannya bisa tambah sukses." Darius tersenyum pada Melvin. "Terima kasih, Melvin. Yang terbaik juga untukmu dan Lea. Nanti saya mau ngobrol-ngobrol sama orangtua kalian, nggak sabar mau dengar cerita mereka yang sebentar lagi akan besanan. You guys really look good together." Lea tertawa. Dalam hati Melvin mengejek betapa palsunya tawa perempuan itu. "Thank you, Om. May you have a good night," ujar Lea manis. Ia melirik gelas wine yang dipegang Darius sedari tadi. "And don't forget to enjoy your wine." "Of course, Azalea. Of course. Kalian juga ya." Darius pun berlalu, beralih untuk menyapa tamu-tamu lain yang terus berdatangan. Sebagai tuan rumah dari pesta ini, tentu saja Darius harus menyapa mereka semua dengan baik. Tapi, Melvin agak heran karena Darius terlihat sendirian tapa ada istrinya yang menemani. Seolah bisa membaca pikiran Melvin, Lea berujar, "Istrinya lagi sakit, kanker darah stadium akhir, dan sekarang lagi kritis di rumah sakit. He's so disgusting, right? Bisa-bisanya masih ngadain pesta mewah begini, di saat istrinya aja belum tentu bisa hidup sampai besok." Lea bergidik begitu melihat Darius menyapa wanita-wanita muda dengan diiringi pelukan dan kecupan di pipi. Melvin juga jijik melihatnya, tapi ia justru tertarik pada satu hal dari apa yang disampaikan oleh Lea. "Kamu tau darimana?" "Aku cukup kenal keluarga mereka dengan baik. Leon, anak bungsunya Om Darius, teman kuliahku." "Mantan?" Lea terkekeh. "Kalau mantan memangnya kenapa? Mau cemburu?" Melvin mendengus dan akhirnya memilih untuk tidak membahas itu lagi. Mereka terus berjalan di ballroom, mencari orang-orang yang mereka kenal setelah bicara dengan Darius tadi. Banyak kaum elite yang datang ke pesta ini dan rata-rata Melvin mengenal mereka. Tidak sedikit yang menyapa, tapi ada pula yang hanya diam memerhatikan. Satu yang dilihat Melvin memandanginya tidak ramah adalah Brian Wangsa. Bahkan Lea pun sadar bagaimana pria yang juga merupakan pewaris di keluarganya itu memandangi Melvin tidak senang. "Dia benci banget pasti sama kamu," bisik Lea, membicarakan sosok Brian. "Apa urusannya? Aku bahkan nggak kenal sama dia dan cuma sekedar tau." "He loves Emily Darmono, and you hurt her. Jadi, tau sendiri kenapa." "What?" Lea hanya mengedikkan bahu, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. Padahal, Melvin kebingungan sendiri karena selama ini ia tidak pernah tahu adanya sejarah antara Emily Darmono dan Brian Wangsa. Tidak ada yang pernah membicarakan itu. Lagipula, mereka juga sudah punya pasangan masing-masing. Brian sudah menikah, sementara Emily baru saja bertunangan. Melvin heran dengan semua informasi yang diketahui oleh Lea. Darimana perempuan itu bisa tahu semuanya? Setelah berkeliling cukup lama, keduanya bertemu dengan orangtua mereka yang sedang berbicara dengan rekan-rekan bisnis mereka. Melvin dan Lea diajak bergabung, dikenalkan kepada orang-orang itu, dan mereka semua diberitahu bahwa Melvin dan Lea akan segera menikah. Tidak perlu ditanya, tentu saja Melvin muak karena harus pura-pura ramah pada rekan bisnis orangtuanya, juga pada calon mertuanya. Begitu matanya menangkap dua orang yang dikenalnya sedang berbincang tidak jauh dari sana, Melvin mengajak Lea untuk menghampiri dua orang itu. Satu laki-laki tinggi berambut cepak, satunya lagi laki-laki flamboyan yang selalu bisa menarik perhatian para perempuan. "Melvin!" Melvin tersenyum pada Darel Wiratmaja, sepupunya yang ternyata juga datang ke pesta ini. Ia pun memeluk Darel karena sudah cukup lama mereka tidak bertemu. "Gila, akhirnya ketemu juga!" ujar Darel setelah melepas pelukan mereka. "Gue baru aja balik dari Singapura, langsung kesini karena tau lo bakal dateng." Melvin tersenyum lebar. Senang karena bertemu dengan Darel, sepupu yang paling dekat dengannya. Darel merupakan anak dari adik bungsu Arthur Wiratmaja. Sudah sejak kecil, mereka sangat dekat karena memang seusia. Ketika ia baru pulang ke Indonesia, Melvin ingin langsung menemui Darel, namun laki-laki itu berada cukup lama di Singapura untuk urusan bisnis dan baru pulang sekarang. "Lo sendirian? Om Marcus nggak ikut?" Darel menggelengkan kepala. "Asal lo tau, mereka lagi liburan di Belanda sekarang buat ngerayain kelulusan Adsel." Darel menyebutkan adik bungsunya dan mendengus. "Gue yang ditumbalin kerja dan datang ngewakilin keluarga kesini." "Tristan ikut juga?" Melvin menanyakan adik tengah Darel. "Bahkan bawa pacarnya," jawab Darel sebal. Melvin tertawa saja. Lalu, ia beralih pada laki-laki yang tadi berbincang dengan Darel. Ia high five dengan laki-laki tinggi berambut cepak itu, lalu memeluknya seperti Darel tadi. Nama laki-laki itu Pandu Lakeswara, dari segelintir teman yang Melvin punya di Indonesia, Pandu adalah yang paling dekat dengannya. Kedekatan mereka pun sama sekali tidak terpengaruh oleh perusahaan mereka yang sebetulnya bersaing ketat dalam bidang real estate. Melvin juga sudah lama sekali tidak bertemu dengan Pandu. "Long time no see, Melv," ujar Pandu yang juga tersenyum lebar pada Melvin setelah pelukannya terlepas. Kini Pandu dan Darel melirik Lea yang sedari tadi hanya diam di sebelah Melvin. Perempuan itu mempertahankan senyum kecil. "So...the fiancèe?" tanya Pandu. Melvin mengangguk. "Kenalin, Azalea Sadajiwa," ujarnya pada Pandu dan Darel. "Lea, kenalin Darel Wiratmaja sepupuku dan Pandu Lakeswara, one of my bestfriend." Senyum Lea mengembang, lantas ia menyalami Pandu dan Darel satu per satu. "I know them," ujar Lea. "Siapa juga yang nggak tau Darel Wiratmaja sama Pandu Lakeswara? Mereka kan masuk dalam daftar most eligible bachelors in town," guraunya. Pandu dan Darel tertawa. Lalu, Darel meletakkan satu tangannya di samping bibir seolah ingin berbisik pada Lea. Ia balas bergurau, "Nah, calon suami kamu itu yang most eligible di antara most eligible in town. Congrats, Lea. Tapi sabar-sabar juga ya, soalnya saya tau kalau dia tuh orangnya nyebelin." Lea tertawa dan mengangguk. "Kalau itu saya setuju. Udah terbukti kok." Melvin hanya mendengus. "Jadi, kapan nih acara pertunangan resmi kalian?" tanya Pandu. "Belum tau, mungkin kisaran bulan depan," jawab Lea. "Kalau udah nikah nanti, Lea ngikut ke Aussie, atau Melvin yang jadi netap disini?" Lea melirik Melvin, membuat Melvin membuang napas dan akhirnya menjawab, "Gue yang netap disini." Pandu tersenyum lebar dan menepuk-nepuk bahu Melvin, begitu pun Darel. "Wow, bro. Welcome back to Indonesia then." Sambutan yang sejujurnya tidak Melvin senangi karena ia sama sekali tidak suka dengan gagasan bahwa dirinya akan kembali menetap di negara ini dan pindah dari Aussie yang sudah lebih dianggapnya sebagai rumah. Lalu, Melvin menyadari perubahan air muka Darel, yang semula tersenyum tengil padanya, tiba-tiba berubah menjadi dingin karena melihat pada satu arah. Darel berdeham. "Gue kesana dulu ya," pamitnya sebelum pergi begitu saja meninggalkan mereka, Begitu Melvin melihat ke arah yang tadi dilihat Darel, ternyata ada Abby dan Savero yang mendekat. Melvin jadi tahu bahwa alasan Darel menghindar adalah Savero. Hubungan mereka memang tidak terlalu baik. Diam-diam, Lea juga ikut memerhatikan apa yang disadari oleh Melvin tadi, namun ia tidak berkomentar apa-apa dan hanya mengobrol dengan Pandu. Abby dan Savero yang entah dari mana bergabung dengan mereka. "Abis ngobrolin apa nih? Seru banget kayak-" sapaan ramah Abby tidak sempat ia lanjutkan ketika tiba-tiba saja terdengar teriakan gaduh dari tengah ballroom. Mereka semua langsung menoleh ke sumber keributan, melihat beberapa tamu undangan yang heboh dan mengerubungi satu sisi. Abby tidak jadi menyapa, bersama Savero dan Pandu, ia malah mendekati kerumunan itu. Didorong rasa penasaran, Melvin pun melakukan hal yang sama, bersama Lea yang ditariknya untuk ikut menuju kerumunan itu. Betapa kagetnya mereka begitu melihat sosok Darius Danuarji sudah tergeletak di lantai ballroom yang berlapis karpet tebal. Pria itu tidak sadarkan diri, gelas wine di tangannya pecah, dan bagian depan kemeja dan jasnya terkena tumpahan wine dari gelas itu. Semua orang di ruangan panik dan terkejut, termasuk Melvin. Ia mendengar orang-orang bicara heboh. Ada yang menyuruh menelepon ambulans, memanggil anggota keluarga Danuarji yang lain, menghentikan pesta, dan mengatakan bahwa Darius Danuarji baru saja terkena serangan jantung. "What the hell is happening?" tanpa sadar Melvin bergumam, lalu ia menoleh pada Lea untuk melihat apakah perempuan itu sama shock-nya dengan yang lain. Di luar dugaan, Lea justru terlihat santai. Perempuan itu tenang, bahkan terlihat malas menatap pada Darius yang tergeletak di lantai. Sama sekali tidak terkejut, seolah perempuan itu tahu bahwa hal ini akan terjadi. Siapa pun yang jadi Melvin tentu akan semakin curiga pada Lea. Perempuan itu tahu banyak hal, dan sepertinya juga menyimpan banyak rahasia. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD