50. It Could be Anoter Attack

2082 Words
"It's confirmed. Mereka bener-bener dari Noir, salah satu dari mereka ngaku waktu dibuat mabuk." "Dibuat mabuk dan dipukulin sampai nyaris mati maksudnya?" "Well yeah, something like that." Melvin merasa kalau dirinya telah sedikit berubah menjadi psikopat, karena bukannya meringis tidak tega mendengar ada orang yang dipukuli habis-habisan dan dibuat mabuk agar bisa membocorkan informasi, ia justru terkekeh usai Lea mengakui dugaannya itu. Kalau mau jujur, Melvin bahkan tidak merasa iba sama sekali dengan nasib para komplotan Noir yang tertangkap oleh Kahraman. Bukannya kejam dan tidak ingin bersikap manusiawi dengan membiarkan orang-orang itu disekap selama berhari-hari, tetapi Melvin juga merasa dendam pada mereka yang sudah menyakiti keluarganya. Memang, mereka bukan dalangnya, dan mereka pun hanya melakukan itu semua untuk bekerja demi mendapatkan uang. Tapi bukan berarti mereka tidak salah dan patut untuk diberi rasa iba. Mereka sendiri yang telah memilih pekerjaan sebagai anggota Noir dan menerima perintah untuk menyakiti keluarga Wiratmaja, jadi hal itu sudah jadi resiko yang harus mereka tanggung. "Terus, Savero gimana?" "Sejauh ini, belum ada yang aneh. Rutinitasnya masih seperti biasa, cuma sebatas kerja, terus langsung pulang ke apartemennya." "Oke." Melvin mengangguk paham, lalu sibuk berkutat dengan ponselnya untuk membalas pesan dari orang yang baru saja dibahasnya dengan Lea. Untuk yang ke sekian kalinya dalam minggu ini, Melvin menolak tawaran Savero untuk pergi ke kantor bersama. Padahal, sebelumnya Savero hampir selalu datang ke rumah Melvin dulu, lalu mereka pergi bersama ke kantor, dan dalam perjalanan mereka akan membahas banyak hal perihal pekerjaan. Baik itu pekerjaan yang berhubungan dengan perusahaan, mau pun pekerjaan khusus Savero untuk menyelidiki keluarga Sadajiwa dan sebagainya. Namun, sekarang Savero sudah tidak memiliki pekerjaan khusus dari Melvin lagi. Ia sudah berhenti menyuruh Savero untuk menyelidiki keluarga Sadajiwa serta menyelidiki kasus-kasus yang terjadi pada keluarganya. Yang Savero tahu, Melvin kini sudah berdamai dengan keluarga Sadajiwa dan ingin melanjutkan pernikahannya bersama Lea, serta mempercayakan kembali The K untuk menjaga keamanan keluarganya. Padahal, semuanya lebih dari itu.   Lea ikut berdiri dari tempat duduknya di ruang makan ketika Melvin melakukan hal yang sama. Suaminya itu baru saja selesai sarapan dan sudah hendak berangkat ke kantor. Lea pun mengikuti Melvin berjalan ke luar rumah untuk mengantarkannya ke mobil. "Aku hari ini mau mampir ke rumah Mami, karena ada yang mau aku omongin ke Abby perihal kapan dia mau balik ke Melbourne," ujar Melvin pada Lea sebelum dirinya masuk ke dalam mobil yang di dalamnya sudah ada supir dan anggota Kahraman yang akan menjaganya. "Kalau kamu mau nyusul, langsung ke sana aja." "Aku ada janji sama Kak Letta. She kinda needs my help for her work." "Kahraman?" Lea memilih untuk tidak menjawabnya, namun diamnya Lea itu sudah cukup untuk mengonfirmasi sesuatu bagi Melvin. Ia pun menghela napas dan memberikan that look yang tidak terlalu Lea suka. Sebab tatapan Melvin itu dapat diartikan jika ia tidak terlalu suka mendengar tentang Lea yang masih belum mau melepas pekerjaannya di Kahraman, yang menurut Melvin berbahaya. "Untuk yang ke sekian kalinya, Lea, aku masih nunggu kamu untuk berhenti dari sana." Lea mengangkat bahu saja sebagai respon. "Hati-hati di jalan, Melvin baby," ujarnya. Dan ia tidak mengatakan apa-apa lagi hingga Melvin masuk ke dalam mobil, kemudian mobil itu meninggalkan pekarangan rumah mereka. *** Seperti yang dikatakan oleh Melvin pada Lea tadi pagi, ia akan mampir ke rumah orang tuanya hari ini. Di jam makan siang, Melvin sengaja bilang pada Savero bahwa ia akan makan siang bersama Lea, di saat sebenarnya ia ingin pergi ke rumah orang tuanya untuk bicara dengan Abby. Sebab jika Melvin jujur pada Savero, kemungkinan besarnya Savero akan ikut. Sedangkan Melvin ingin membicarakan sesuatu pada Abby yang tidak seharusnya diketahui oleh Savero. "Sejak Lea hamil, kayaknya lo jadi a loving husband banget ya?" Melvin tertawa menanggapi omongan Savero ketika ia bilang hendak makan siang dengan Lea hari ini. "Can't help it, Ro. Dia emang jadi clingy semenjak hamil." Sungguh kebohongan busuk yang Melvin sampaikan pada Savero itu, di saat kenyataannya ia bahkan hampir lupa kalau Lea sedang 'hamil'. Tapi untungnya, Savero terlihat percaya saja pada Melvin dan membiarkannya pergi makan siang ke luar kantor, tanpa bilang apa-apa lagi. Hingga sekarang, Melvin masih merasa tidak nyaman karena telah menjadikan Savero sebagai suspect dan membuat para anggota Kahraman diam-diam menyelidikinya. Tapi di sisi lain, Melvin juga tidak bisa menatap Savero dengan cara yang sama lagi, karena ia terus terngiang dengan rekaman CCTV yang menunjukkan Savero bicara dengan Brian Wangsa. Rasanya Melvin ingin sekali menanyakan langsung pada Savero sejak kapan ia mengenal Brian dan apa urusan mereka, padahal selama ini Savero tidak pernah bilang kalau dirinya mengenal Brian. Namun, Lea bilang kalau Melvin sebaiknya tidak boleh menunjukkan pada Savero bahwa ia mengetahui soal Brian Wangsa dan Noir. Dan tentu saja, sangat sulit bagi Melvin untuk melakukan itu. Begitu Melvin sampai di rumah orang tuanya, Abby yang baru selesai berolahraga sedang bersantai di halaman belakang rumah yang luas. Adik perempuan Melvin itu tengah duduk di ayunan rotan yang ada di sana, sementara di dekat ayunan tersebut terdapat sebuah matras yoga yang sudah basah oleh keringat Abby. Melvin pun menghampiri Abby yang juga berkeringat, dan tengah meminum minuman isotonik dari botolnya. "Mami Mana? Kok nggak keliatan?" Tanya Melvin setelah Abby selesai dengan minumannya. "Lagi grocery shopping." Melihat raut wajah Melvin yang sudah hendak protes pada Abby karena telah sembarangan membiarkan ibu mereka pergi pun buru-buru menambahkan, "Sama dua bibi, satu supir, lima bodyguard yang ngintilin Mami, dan lima lagi nunggu di luar. Jadi, nggak perlu khawatir dan ngomel-ngomel, oke? We are not stupid. Kita sekarang juga maunya aman terus." Melvin menghembuskan napas, dan akhirnya menganggukkan kepala mengerti. Cukup lega karena tahu ibunya pergi dengan aman bersama orang-orang yang bisa menjaganya. Abby pun beranjak dari duduknya di ayunan rotan itu, lalu masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Melvin. Keduanya duduk di sofa kulit victorian style yang ada di sana. Meski datang ke sini di jam makan siang, tujuan utama Melvin bukan untuk itu. Bahkan, ia tidak peduli jika nantinya berujung tidak jadi makan siang di sini, karena sepertinya Abby hanya ingin makan siang salad untuknya hari ini. Melvin menebak, adiknya itu sedang diet. "Jadi, apa yang mau kamu omongin ke aku?" Bahkan Abby pun sudah bisa menebak tujuan Melvin sebenarnya datang ke sini. Tidak mau basa-basi karena waktu makan siangnya yang tidak lama, Melvin pun langsung bicara to the point. "Aku mau bahas tentang perkembangan rencana kita kemarin, dan tentang kepulangan kamu ke Melbourne." Abby mengerang. "Aku dengan senang hati mau bahas yang pertama, tapi untuk yang satunya, aku udah bilang kalau aku belum siap untuk balik ke sana. I'm scared." "Tapi, kamu harus balik ke sana, Abby. Kamu udah punya tanggung jawab untuk jadi pimpinan perusahaan di sana, dan kamu nggak bisa lari dari tanggung jawab itu. Kalau kamu nggak balik-balik lagi, apa kata karyawan kamu?" "Aku masih bisa handle semuanya dari sini. Kamu pikir aku nggak kerja apa walaupun ada di rumah?" "Aku tau kamu tetap kerja, tapi tetap aja kamu juga harus physically ada di sana." Abby berdecak tidak suka dengan gagasan itu. Setelah terror yang didapatnya waktu itu, Abby memang masih sangat trauma. Karena itu lah, hingga sekarang ia masih menolak untuk kembali ke Melbourne, padahal seharusnya Abby sudah kembali ke sana karena kini ia memegang status sebagai pimpinan perusahaan Rangkai Bumi yang ada di sana. Setelah apa yang terjadi, Abby merasa tidak sanggup jika harus berada jauh dari keluarganya. Dia juga takut merasa sendirian dan tidak aman, karena terror itu bisa saja datang lagi. "Aku nggak sanggup, Melv. Setiap hari aja aku masih mimpi buruk, gimana bisa aku balik ke sana sendiri? Gimana kalau nanti terornya datang lagi?" "Aku pastikan itu nggak akan terjadi. Dan kamu nggak akan pergi ke sana sendiri, beberapa orang dari Kahraman juga akan ikut ke sana sama kamu. To protect you." Abby menggelengkan kepala. "Aku nggak mau bahas itu dulu," ujarnya. "Bisa nggak nanti aja? Sekarang, mending kamu kasih tau ke aku tentang progress dari rencana kemarin." Melvin menghela napas. Abby bisa sama keras kepalanya dengan dia, dan jika ia sudah bicara begitu, maka tidak ada yang bisa Melvin lakukan kecuali menurutinya. Jika Melvin sampai memaksa, mereka hanya akan berujung ribut. "Fine." Melvin pun menyerahnya, dan akhirnya menjelaskan mengenai apa yang terjadi beberapa hari lalu. Mulai dari serangan yang terjadi pada Lea, tentang Noir, Brian Wangsa, hingga Savero yang kini dianggap sebagai suspect pertama oleh Kahraman, sehingga mereka sedang mengawasi gerak-gerik Savero sekarang. Tentu saja Abby begitu terkejut mendengar cerita sang kakak. Ia bahkan menganga dan menggelengkan kepala tidak percaya setelah Melvin selesai dengan ceritanya. "Kamu udah tau soal ini selama beberapa hari dan baru ngasih tau aku sekarang?" tembak Abby setelah Melvin diam karena ia sudah menjelaskan semuanya. "Aku tau kamu bakal se-shock ini, karena itu aku baru bisa bilang sekarang. Dan aku juga butuh waktu untuk mencerna ini semua." Abby menggelengkan kepala tidak habis pikir. "That's crazy," ujarnya, "For God's sake, Melv, how can you suspect him?" Ini lah salah satu alasan mengapa Melvin tidak bisa langsung memberitahu Abby dan harus mempersiapkan diri terlebih dahulu. Oh, bahkan ia rasanya tidak akan sanggup untuk menyampaikan ini pada ibunya karena tahu, reaksinya pasti akan jauh lebih buruk dari reaksi Abby sekarang. Bahkan, ketika Melvin menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka kemarin pun, mereka nyaris tidak percaya dan shock berat. It's hard for them to accept this. Selama ini mereka terlalu naif dengan berpikir bahwa tidak ada hal sejahat itu di dunia ini, dan berpikir jika hal semacam itu hanya terjadi di sebuah film saja. "Kamu pikir aku mau nuduh Savero?" Tanya Melvin retoris. Ia pun menggelengkan kepala. "Enggak, Abby, sama sekali enggak. Tapi aku liat rekaman CCTV yang ditunjukin Poppy, dan memang Savero beberapa kali ketemu sama Brian Wangsa secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan aku, kamu, bahkan Papi sekali pun." "Itu nggak membuktikan apa-apa." "Memang. Tapi untuk sekarang, dengan terlihatnya afiliasi Savero dan Brian Wangsa selaku pimpinan Noir, itu bisa jadi sedikit bukti yang mengarah ke sana. Karena itu, Savero sekarang diawasi oleh Kahraman." Abby tertawa sinis. "Oh come on, aku nggak percaya sama sekali kalau Savero pelakunya. Ini Savero, Melv, nggak mungkin dia bisa ngelakuin hal sekeji itu ke keluarga kita. Aku masih lebih bisa percaya kalau kamu bilang kemungkinan pelakunya adalah Larissa atau Darel sekalian. It could be them, but not Savero. Mustahil kalau Savero." "Abby--" "Stop it. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi karena itu terlalu gila untuk dipercaya." Abby memotong apa yang hendak dikatakan oleh Melvin. Ia terlihat begitu marah ketika melanjutkan ucapannya, "Dan kalau kamu memang mau mengawasi Savero, kasih tau Kahraman untuk ikut mengawasi sepupu kita yang lain. Larissa, Darel, Tristan, bahkan Adsel! Kalau bisa, sekeluarga besar Wiratmaja juga!" Marahnya Abby ini membuat Melvin pening. Selama beberapa saat ia hanya bisa diam dan memijat pelipisnya, tidak tahu harus membalas apa karena situasinya yang sekarang jadi f****d up. Melvin memang sudah bisa menebak kalau Abby tidak akan bisa menerima tentang Savero yang dijadikan sebagai suspect. Tapi, ia tidak menyangka bahwa Abby akan semarah ini. "I'll trust him forever." Abby kembali berujar dengan serius. "Dan kalau ternyata memang Savero pelakunya?" Tegas Abby membalas, "Itu nggak akan pernah terjadi." Melvin tahu, Abby mengatakan itu memang karena ia percaya apa yang dikatakannya. Dan bukan hanya sebatas karena ia ingin meyakinkan dirinya sendiri. Abby betul-betul percaya bahwa Savero sama sekali tidak bisa dicurigai sebagai pelaku dari semua yang sudah terjadi. Melvin hendak mengatakan sesuatu lagi pada Abby, namun terdistraksi oleh ponselnya di saku jas yang bergetar karena ada telepon masuk. Melvin pun memilih mengambil ponselnya terlebih dahulu dan memutuskan untuk menerima telepon itu sebelum melanjutkan percakapannya dan sang adik. Ternyata, yang menelepon adalah Tristan, sepupunya. Melvin tidak beranjak kemana-mana dan tetap di sana ketika mengangkat telepon itu. "Halo, Tristan? Kenapa?" Abby menoleh begitu Melvin menyebutkan nama Tristan. Ia pun diam dan memerhatikan raut wajah Melvin yang berubah begitu mendengar apa yang dibicarakan oleh Tristan di seberang sana. Wajah Melvin yang memucat dan tegang pun tidak bisa untuk tidak membuat Abby khawatir. "Oke. Gue ke sana sekarang. I'll help you to find him, lo tenang aja." Usai teleponnya berakhir, Melvin langsung bangkit dari duduknya. Abby otomatis melakukan hal yang sama. "Kenapa?" Tanya Abby khawatir. Satu jawaban Melvin, "Darel hilang dan nggak bisa dihubungin dari semalam." Abby terdiam dan tidak menahan ketika Melvin akhirnya pergi dengan terburu-buru. Setelah serangan bertubi-tubi yang didapat oleh keluarga mereka, Abby tahu jika hal seperti ini sudah tidak bisa dianggap remeh lagi. Hilangnya Darel, bisa jadi merupakan kabar buruk. It could be another attack. Dan jika memang iya, maka sang dalang sudah tidak lagi menargetkan keluarga Melvin saja, tapi juga keluarga besar Wiratmaja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD