1. Kabar Buruk Di Penghujung Tahun

2402 Words
Cuaca di penghujung musim dingin yang mencapai -1 drajat tidak menyurutkan semangat seorang gadis untuk berkemas. Tubuh kurusnya bergerak kesana kemari untuk memasukan barang-barangnya kedalam kardus. “Nara, can’t you postpone your departure to Indonesia?” Tanya Isabel, gadis berambut pirang yang sejak tadi mengikuti setiap gerak si empu rumah. “No, I can’t” ucap Naraya kalem tidak memperdulikan Isabel yang sudah manyun karena untuk kesekian kalinya tidak bisa membujuknya untuk menunda keberangkatannya. “Came on, can’t you stay until spring? There will be a graduate party at William’s house in early march.” Bujuk Isabel tidak menyerah. “I’m sorry Isabel, I can’t “ ucap Naraya sambil menggeleng. “This is may return after 7 years I never back home, I’m very waiting for this moment, I’ll stay back home late January later.” Ucap Naraya tidak bisa dibantah. “Oh my dear Nara, I will miss you if you back your country.” “I will miss you too Isabel, thanks for being my friend for 7 years I stay at this country” Dua sahabat dekat itu berpelukan erat, selama ini sejak pertama kali Naraya menginjakan kakinya di Australia, Isabel selalu ada disampingnya. Isabel menjadi satu-satunya teman untuk Naraya di tempat yang awalnya asing untuknya, ditambah lagi auntie Adara yang tidak mau mengajaknya tinggal bersama dengan alasan takut kekasih brondongnya tertarik pada Naraya dan meninggalkannya. Adara juga tidak terlalu suka padanya karena Adara berpikir jika ayah Narayalah yang menyebabkan kakak cantiknya harus meninggal diusia muda. Naraya yang saat itu masih berusia 15 tahun tinggal sendirian di rumah keluarga almarhum ibunya, dan Adara hanya sesekali mengunjunginya jika kekasih brondongnya yang berprofesi sebagai model ada pekerjaan di luar kota. Tinggal sendirian di tempat asing membuat Naraya kesepian karena sebelumnya saat dia tinggal dengan sang ayah, tak pernah sekaliipun ayahnya meninggalkan sendirian. Dia tidak pernah merasa kesepian meskipun tidak pernah mengenal sosok ibu sejak kecil, karena ayahnya selalu ada untuknya. Ditambah lagi pekerjaan ayahnya sebagai seorang pelukis yang tidak terikat jam kerja di perusahaan manapun membuat ayah dan anak itu tidak pernah terpisahkan. Entah apa alasan ayahnya mengizinkan Adara membawanya, belakangan setelah dia tinggal berbulan-bulan di Australia dia mendapat kabar jika ayahnya menikah lagi. Dia sempat marah dan benci pada ayahnya, dia berpikir ayahnya membuangnya karena ingin memiliki keluarga baru. Lama hubungan mereka renggang sampai sang ayah datang mengunjunginya dan memberinya penjelasan. “Ayah tidak membuangmu sayang, ayah mengirimu kesini agar kamu mengenal ibumu lebih dekat karena tempat inilah dimana ibumu tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan menawan.” Itulah yang dikatakan ayahnya waktu itu. Naraya mencoba menerima penjelasan ayahnya, meskipun pada akhirnya hubungan dia dan sang ayah tidak bisa sedekat dulu sebelum ayahnya menikah. Apalagi setelah tante Vanny, istri baru ayahnya melahirkan anak pertama mereka, makin jauhlah jarak antara dia dengan sang ayah. Jarak yang memisahkannya dengan sang ayah dan juga jarak yang terbentang karena ayahnya memiliki kehidupan lain selain dirinya membuat Naraya merasa sangat kesepian. Di saat dia merasa sendirian itulah Isabel datang menawarkan pertemanan padanya. Rumah Isabel yang berada satu kompleks dengan rumah tempat dia tinggal membuat mereka sering menghabisakn waktu bersama. Apalagi saat masuk kuliah Isabel memilih tinggal bersamanya dan membuat mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan. “Promise me, you will return to this country as soon as possible.” Pinta Isabel. “I promise someday I’ll come back here to meet you but I can’t promise back anytime soon because I want to star my career in Indonsia.” Isabel kembali memeluk Naraya, sejujurnya dia tidak ingin berpisah dengan sahabatnya ini, tapi sebagai sahabat dia ingin yang terbaik untuk Naraya. Isabel tahu Naraya sangat merindukan tanah kelahirannya, dan Isabel berharap Naraya akan lebih bahagia disana. Bukan berarti selama ini Naraya hidup tidak bahagia disini, tapi Isabel ingin hidup Naraya yang terus menjalani alur yang sama setiap harinya bisa lebih berwarna. Dia juga berharap sahabatnya ini bisa bertemu dengan seorang pria yang membuatnya jatuh cinta. Selama ini, meskipun Naraya tinggal di negeri ini yang menganut paham lebih bebas daripada Negara-negara di Asia tapi Naraya tetaplah wanita timur yang say no to s*x before marriage, padahal Naraya memiliki wajah barat yang dia warisi dari ibunya yang merupakan keturunan Prancis-Australia. Selama 7 tahun Iasabel mengenal Naraya tidak pernah sekalipun Naraya terlihat tertarik pada seorang pria dalam artian tidak sekalipun Naraya menjalin hubungan dengan pria. Meskipun seperti wanita normal kebanyakan Naraya juga tertarik pada pria tampan, dan pernah memuji lawan jenisnya, tapi hanya sebatas itu saja. Diusianya yang ke 22, Isabel tidak ingat berapa kali dia berpacaran tapi Naraya tidak ada satupun pria yang meraih gelar kehormatan sebagai pacarnya. Bukan berarti Naraya kuper atau sejenis kutu buku yang tak laku. Tapi Naraya terlalu berpikiran kolot dan menilai pria berdasarkan wujud ayahnya. Naraya gadis yang cantik dengan bentuk wajah oval, mata biru laut, kulit putih mulus dengan pori-pori yang kecil. Hanya rambut Naraya saja yang sedikit bermasalah, rambut merahnya itu berteskstur ikal dan mengembang sehingga jika dia mengurai rambutnya sedikit mengganggu penglihatan karena Naraya akan terlihat seperti pemeran tokoh Brave. Tapi jika Naraya mengikatnya atau mencepol rambutnya dia sangatlah sempurna apalagi dia berleher jenjang bak model. Secara fisik Naraya punya 9 dari 10,  Isabel berharap saat kembali ke negerinya Naraya menyadari kecantikannya dan bisa memiliki seeorang di sisinya dengan segera.   **********   Naraya dan Isabel memilih untuk menghangatkan tubuh mereka di depan perapian ditemani secangkir coklat panas dan cookies coklat. Sebenarnya masih banyak waktu sebelum Naraya pulang ke Indonesia, tapi Naraya sudah mulai mengemasi barangnya sejak sekarang karena dia berniat berkunjung ke New Zeland dulu sebelum dia pulang. Selain itu,  beginilah proses beres-beres ala Naraya dan Isabel, lebih banyak mengobrol dan istirahatnya dibandingkan beres-beresnya. Ditambah lagi, cuaca yang sangat dingin membuat siapapun lebih nyaman bergelung didalam selimut atau menongkrong di depan perapian. Suara ketukan pintu mengintrupsi kegiatan dua gadis cantik yang sedang berbagi cerita di depan perapian, dengan malas Isabel beranjak untuk membuka pintu. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat muda, karena perawatan luar biasa yang dijalaninya berlari tergopoh-gopoh memasuki rumah sambil berteriak memanggil Naraya. “What going on Auntie?” Tanya Naraya heran. “Your father was died.” Ucap Adara sambil terengah-engah. “What? Are you kidding me?” Tanya Naraya tidak percaya, “I’m not joking, your stepmother calls me if your dad was killed by accident and she wants you to come home to pay your last respect to your father.”ucap Adara bersimpati. Naraya menggelengkan kepala tidak percaya mendengar ucapan Adara, dia berlari kedalam rumah mencari ponselnya. Dia menghubungi nomor sang ayah tapi tidak tersambung, dia tidak menyerah dan terus menghubunginya berulang kali meskipun hanya operator yang menjawab panggilannya. Air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya, separuh hatinya menyangkal berita yang disampaikan bibinya, tapi melihat kenyataan nomor sang ayah tidak bisa dihubungi mau tidak mau hatinya merasa gusar. Naraya merasa tubuhnya mendadak lemas setelah untuk kesekian kalinya nomor yang dia hubungi tak juga tersambung. “Nara? Are you okay?” Tanya Isabel menghampiri Naraya. “Tell me, it’s just a dream, my father still alive right?” Tanya Naraya memohon di sela-sela tangisnya, “I’m sorry to hear that sweetheart.” Ucap Isabel sambil merengkuh tubuh Naraya kepelukannya. “Your aunt gave me this plane ticket, she said the plane take off tomorrow at 7 am. She apologizes for not being able to take you because she will vacation to Brazil with her boyfriend.” Ucap Isabel sambil menyearahkan tiket pesawat yang dititipkan Adara padanya. “I know this is very hard for you, go home and make sure your father situation. Whatever happens you must be strong, I belive you can go through all of this.” Ucap Isabel bersimpati. Naraya mengangguk mendengar ucapan Isabel, dia sangat berterima kasih karena kehadiran Isabel sekarang ini, setidaknya ada seseorang yang memeluknya di kala dia terjatuh seperti sekarang ini.   **********   Setelah drama ketinggalan pesawat karena dia menangisi kematian sang ayah semalaman, dilanjut dengan tangisan sekuel dua yang dia jalani selamam perjalanan di pesawat sampailah Naraya di bandara soekarno-hatta, salah satu bandara kebanggan negerinya Indonesia. Aktifitas di bandara terbilang sangat ramai mungkin karena sekarang akhir tahun dan liburan panjang banyak keluarga yang memutuskan untuk berlibur dengan anak-anak mereka. Naraya berjalan cepat keluar bandara agar dia bisa sampai ke rumah sang ayah dengan cepat. saat dia akan membuka pintu taxi yang sudah berbaris di pintu keluar bandara tangannya bersentuhan dengan orang asing yang juga hendak membuka pintu taxi tersebut. “I’m sorry Miss, this our Taxi…” ucap seorang pria dengan dandanan casual juga kaca mata hitam yang membingkai matanya. Naraya tidak memperdulikan protesan pria asing itu, dengan tubuh kecilnya Naraya menggeser tubuh pria yang tingginya hampir sama dengannya itu, tak lupa dia menghadiahi injakan di kaki pria itu karena pria itu ngeyel tidak mau melepaskan tangannya pada pintu Taxi. “Jalan pak…” pinta Naraya pada si supir taxi saat dia berhasil masuk ke dalam taxi tanpa memperdulikan teriakan kesakitan orang yang baru saja dia berikan hadiah. Bahkan u*****n-u*****n yang keluar dari pria asing itu hanya dianggap angin lalu olehnya. Lama tidak pulang ke Indonesia, ditambah dengan pengetahuannya yang terbatas tentang jalanan Jakarta, membuat Naraya harus rela pusing dibawa meter kesana kemari oleh si supir taxi. Beruntung setelah 1 jam akhirnya si sopir taxi mengantarkannya ketempat tujuan meskipun dengan harga argo yang luar biasa mahal. Naraya ingin mengumpat keras karena tindakan tidak bertanggung jawab sang sopir. Tapi segala umpatannya tertelan kembali saat melihat bendera kuning yang terpasang di rumah masa kecilnya. Keberadaan bendera itu menandakan jika ada orang yang meninggal dunia di rumah itu, Naraya turun dari taxi yang membawanya dengan langkah gontai. Dia tidak memperdulikan barang bawaannnya karena fokusnya sudah teralih pada rumah masa kecilnya yang sudah berubah warna catnya. Dari kejauhan Naraya sudah bisa melihat beberapa orang berpakaian hitam dan putih berkeliaran dirumah itu. Suara bacaan surat yasin juga samar-samar terdengar dari tempatnya berdiri sekarang. Naraya terus berjalan mendekat kearah rumah itu, beberapa pelayat menatap aneh kearahnya, mungkin mereka bingung karena ada bule yang nyasar ke tempat ini. Apalagi pakaian Naraya yang sedikit tidak biasa untuk melayat membuat jiwa penasaran para pelayat yang kebanyakan di d******i ibu-ibu itu semakin tertantang. Bisik-bisik dari para ibu-ibu itupun bernunculan, tapi semua bisikan itu tidak berpengaruh pada Naraya yang sudah menatap pada satu titik. Pada kain putih yang menutupi jenazah yang dikelilingi banyak orang di ruang tamu rumah itu. Semua mata menatap kearah Naraya ketika tanpa permisi Naraya berjalan dan langsung duduk dihadapan jenazah. Seorang wanita berusia pertengahan 30an yang merupakan istri dari Bramantio Dirgantara alias ayah kandung Naraya menggeser tubuhnya untuk memberi akses pada Naraya melihat jenazah sang ayah. Dia juga menggenggam tangan putra putrinya agar memberi jarak dengan Naraya. Naraya duduk bersimpuh disamping jenazah sang ayah, air mata kembali membasahi pipinya antara percaya atau tidak percaya Naraya menatap kosong jenazah yang terbujur kaku dihadapannya. Dia sudah menanggalkan kaca mata hitamnya dan menampakan matanya yang sangat tidak enak dilihat karena terlalu banyak menangis. Dengan gemetar Naraya mengangkat kain penutup ayahnya untuk melihat wajah sang ayah untuk terakhir kalinya. “Jangan dibuka, keadaan jenazah mas Bram tidak terlalu baik.” Cegah Vanny ibu tiri Naraya sendu. “Aku ingin melihat ayahku untuk terakhir kalinya.” Ucap Naraya berbisik. Naraya tidak mengindahkan larangan dari Vanny dan membuka penutup jenazah sang ayah untuk melihat langsung kondisi jenazah ayahnya. Tangis Naraya pecah ketika melihat jenazah ayahnya gosong dengan luka-luka yang masih basah di sekitaran pipinya. Jenazah itu sudah dikapani bahakan hidungnya juga sudah dicocoki kapas, dengan bergetar Naraya menyentuh jenazah sang ayah dan dia langsung mengerenyit heran. Naraya membuka kembali kapan yang membungkus mayat, membuat para pelayat yang menyaksikannya ribut menyeruh seseorang menjauhkan Naraya dari sisi jenazah. Naraya tetap tidak menyerah meskipun ibu tirinya menangis histeris melihat tingkah Naraya. Naraya memeriksa tangan sang ayah dan langsung mundur ketika melihat jari tangan sang ayah yang hanya berjumlah lima. Naraya ingat betul jika jari tangan kanan ayahnya berjumlah enam karena ayahnya memiliki jari lain disisi jempolnya. Tidak memperdulikan keributan yang telah dia sebabkan Naraya mundur menjauhi jenazah dan membiarkan para pengurus jenazah membereskan kelakuannya. “Mayat itu bukan ayahku…” ucap Naraya mengagetkan semua pelayat yang berbagi ruangan dengannya. Naraya bersikeras mengatakan jika jenazah itu bukan ayahnya meskipun Vanny memohon agar Naraya tenang. Segala tindakan Naraya tidak lepas dari pantauan pria paruh baya yang beringsut mendekatinya. Ketika Naraya terus berontak dalam pelukan Vanny, pria paruh baya itu semakin mendekat kearahnya dan memukul pundak Naraya hingga Naraya kehilangan kesadarannya. Vanny menatap pria paruh baya yang tidak di kenali itu penuh Tanya. “Maaf atas kelakuan keponakan saya, dia pasti sangat terpukul karena kehilangan ayahnya” ucap Pria itu sopan. “Maaf bapak ini siapanya Naraya?” Tanya Vanny. “Saya Faridan, omnya Naraya, biar saya membawa pulang Naraya bersama saya agar dia bisa sedikit tenang.” Pinta Faridan. Vanny menatap pria paruh baya berwajah oriental itu dengan seksama, dia tidak mengenal Faridan, selama dia menikah dengan Bram memang tak banyak kerabat Bram yang dia kenali. Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, sebenarnya dia agak ragu menyerahkan Naraya pada orang asing itu. Meskipun dia hanya bertemu dengan Naraya  2 kali sejak dia menikah dengan Bram tapi Naraya tetaplah putrinya Bram, ketika Bram tidak ada tentu saja dia juga ikut bertanggung jawab atas hidup Naraya.   Vanny beralih memandang putra putrinya yang berusia 6 dan 3 tahun, kedua anaknya masih sangat kecil ditambah mengurusi pemakaman suaminya pastilah sangat menguras energinya. Vanny memutuskan mengizinkan Faridan untuk membawa Naraya karena di juga tidak mampu mengurusi Naraya yang mungkin sangat terpukul atas kematian ayahnya. Apalagi melihat tindakan ekstrim Naraya karena belum sanggup menerima kepergian ayahnya, akan lebih baik jika Naraya diurus oleh Faridan. Lagipula mereka berdua tidak dekat dan rasanya pasti tidak nyaman jika berbagi tempat tinggal bersama. Setelah mendapat persetujuan dari Vanny, Faridan segera mengangkat tubuh Naraya kepangkuannya. Meskipun Faridan sudah memasuki kepala 6 tapi berkat hobby berolahraganya, Faridan masih sanggup mengangkat beban berat dan tidak terlihat kesulitan sama sekali mengangkat Naraya ke gendongannya. Faridan membawa Naraya ke mobilnya beserta barang-barang bawaan Naraya. Dia memperhatikan sekeliling rumah itu dan memastikan tidak ada seorangpun yang memperhatikan kearahnya. Dia memberi isyarat pada supirnya untuk meninggalkan rumah duka itu. “Siapkan kamar, aku akan membawanya pulang ke rumah, dia menyadari situasinya dengan cepat. Pastikan keadaan rumah aman, aku akan pulang sekarang.” ucap Faridan pada seseorang yang ada di sebrang telepon.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD