Matanya sendiri tidak bisa berkedip melihat laki-laki itu. Baginya waktu terasa berjalan sangat lambat. Wajahnya tersenyum melihat pria tampan di hadapannya itu, namun bibirnya tidak mau bergerak. Ya, jangan sampai bergerak jadi sebuah senyuman, perintahnya pada otaknya sendiri.
“Kenalin nih, Arion! Arion Agara,” seru Vendi pada Dhira dan Letta. “Ri, ini Dhira cewek gue, yang itu letta katanya.”
Dengan malas namun berusaha sopan, pria jangkung itu menjulurkan tangan pada Dhira dan Letta tanpa bicara sepatah kata pun. Sharletta merasa tangannya begitu mungil ketika menyambut tangan pria itu.
Lalu Vendi membawa Dhira ke sebuah tempat duduk di bawah pohon besar yang agak jauh dari temapt mereka berdiri. Letta terus mengamapi mereka pergi dan memperingati Dhira untuk tidak jauh-jauh. Gadis mungil itu sangat khawatir pada sahabatnya.
Tiba-tiba terdengar suara rumput yang bergesek. Begitu Letta berbalik lagi, dia melihat Arion tidur di sana dengan beralas lengan yang ditaruhnya di kepala. Memang tempat itu sangat sejuk dan terhalang pohon rindang besar di belakangnya. Tanahnya juga tidak rata, sedikit berbukit-bukit. Tapi, Letta hanya berdiri di sana tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengamati ke seluruh penjuru, para pelatih panjat tebing dan beberapa anggota sedang beres-beres untuk pulang karena sudah tidak ada yang latihan. Biasanya nanti kalau anak-anak Green Steel sudah sekolah seperti biasa pasti akan ramai lagi dan latihan dibuka sampai pukul enam.
Tidak banyak orang lagi selain mereka dan hanya ada Vendi juga Dhira di belakang sana. Kemudian Dhira memanggilnya untuk bergabung. Letta mau saja, tapi seseorang menghentikannya dengan bicara menyindir, “Kalo gue jadi lu, gue gak akan ke sana,” katanya.
Langkah Letta terhenti dan menoleh ke sumber suara yang berasal dari pria yang sedang asyik tiduran itu. Suara yang sedikitt ngebass terdengar sangat jantan di telinganya. Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan setelah pertemuan mereka tadi.
“Kenapa?” tanya Letta dengan mata yang terus menyusuri tubuh pria itu dari ujung kepala sampai kaki.
Otaknya mulai bermain memikirkan tokoh pria di komik yang dia sukai, tubuhnya benar-benar indah di mata Letta. Mukanya yang cerah dengan mata tertutup terlihat semakin bercahaya, tubuhnya juga tinggi dengan d**a dan perutnya yang nampak rata, kakinya yang jenjang dilipat sebelah sebagai tumpuan kaki lainnya. Seperti Naruse-kun.
Pria itu membuka matanya dan melirik gadis mungil di atasnya, seketika Letta kembali tersadar dan menatap ke arah lain. “Lu pasti gak mau liat mereka mesra-mesraan, lu bakal keliatan kayak orang b**o kalo begitu.”
Gadis itu langsung paham dan berteriak pada Dhira untuk menolak ajakannya. Dia rasa Arion benar, sahabatnya itu nampak baik-baik saja dan malah tersenyum senang.
Karena bingung harus bagaimana, Letta memilih duduk di sebelah Arion dengan jarak yang sedikit jauh. Kakinya diluruskan dan kedua tangannya ke belakang menyangga tubuhnya untuk bersandar dan mengamati orang-orang yang masih membereskan peralatan panjat tebing itu.
Cukup lama mereka hening dengan mata Letta yang sesekali melirik pria yang bernama Arion itu, lama-lama Letta merasa sudah terlalu jauh berfantasi dan teringat Dhira. Dia langsung menoleh namun mereka sudah tidak ada di sana. Sontak gadis itu bangkit dan mencari-cari mereka. Arion ikut terbangun karena gerakan tiba-tiba yang ditimbulkan gadis itu.
“Kenapa?” tanyanya dengan santai.
“Mereka gak ada, mereka ke mana?” Letta mulai panik dan bergegas pergi ke tempat yang tadi Dhira duduki.
Arion bangkit dan memutar tubuhnya mencari temannya itu yang memang tidak ada di sana. Lalu Letta kembali lagi dan berbelok ke kanan mencari di balik pohon besar di belakang mereka. Melihat Letta semakin menjauh, Arion bergegas mengambil ransel dan memasukkan seragamnya ke dalam lalu mengejar gadis yang sedang panik itu.
Namun langkahnya terhenti ketika dia hampir menabrak tubuh Letta di balik pohon besar itu. Dia menagamati arah mata Letta. Rupanya tak jauh di depan sana ada pos terbengkalai yang berada sekitar lima meter dari belakang papan panjat tebing. Dari bagian dinding yang berlubang seperti bekas ventilasi, terlihat Vendi yang sedang menutupi wajah Dhira dengan kepalanya. Adegan itu nampak seperti pasangan yang tengah berciuman di mata Letta.
Seketika tubuhnya dibalik dan disudutkan pada pohon besar di belakangnya. Letta dibuat terkejut berkali lipat. Mulutnya benar-benar menganga. Arion menaruh kedua lengannya di kanan dan kiri kepala Letta.
Ka ... kabedon?! teriak Letta dalam hatinya. Jantungnya berdebar dengan cepat.
Ketika gadis itu ingin mengalihkan perhatiannya, Arion justru semakin mempererat genggamannya di kepala Letta, menahannya untuk tidak menoleh.
“Jangan diliat!” perintah Arion. “Kayaknya lu baru pertama kali liat orang ciuman, ya?” tanyanya.
“Gue ....” Tiba-tiba Letta jadi cemas karena dia memang tidak pernah melihat kejadian itu secara langsung, hanya di gambar saja.
“Gue gak tau kalo Dhira bisa begitu,” ucap Letta dengan suara rendah. “Kenapa dia bisa semudah itu kasih ciuman pertamanya?”
Tunggu, memang mereka beneran lagi ciuman? Gue, kan, belum jelas liatnya tadi. Sekilas, Letta jadi ragu dengan penglihatannya barusan.
Pria di depannya itu tersenyum meski Letta tidak melihatnya. Tatapan matanya hanya lurus ke d**a Arion yang membuatnya menelan ludah berkali-kali.
“Emang lu udah berapa kali lakuin itu?” tanyanya.
Letta mendongak. “Apaan? Ciuman? Gak pernah, ya! Gak akan pernah sampe gue ... hmm ... mungkin sampe gue ngerasa ketemu seseorang yang tepat!” bisiknya setengah berteriak.
Sedetik kemudian Arion mengangkat wajah Letta lebih tinggi.
“Mau ngerasain juga gak?” tanyanya dengan bibir tersenyum menunjukkan salah satu sisi gigi taringnya seolah kalimat Letta barusan hanya angin lalu baginya.
Sharletta tertegun mendengar kalimat itu. Otaknya langsung konslet dan malah membuatnya memperhatikan wajah tampan Arion yang mulus, garis wajahnya begitu kuat hingga membuatnya terlihat seperti laki-laki dewasa daripada Vendi yang bermuka mungil dan memiliki senyum manis. Gadis itu terkejut melihat telinga kiri Arion yang ditindik, ada anting-anting di sana yang dari awal tidak dia perhatikan. Anak SMA memang bebas ya, pikirnya.
Kemudian Letta kembali pada pertanyaan Arion tadi, matanya fokus menatap manik hitam keabuan pria di hadapannya itu. Lagi-lagi Letta terpesona dengan bulu matanya yang cukup lentik. Mata yang indah. Ciuman sama dia, ya? Matanya perlahan turun ke bibir Arion yang tampak lembut. Pasti bikin deg-degan ciuman sama cowok cakep, rasanya kayak apa? Terus kalo ciuman, guenya harus gimana? Apa gue harus diem aja kayak di komik-komik? Batinnya terus berandai-andai tak terkendali.
Tanpa dia sadar Arion pun terus menatap wajah mungil nan manisnya Letta yang keheranan dengan bibir mungil merona dan bola mata yang bulat. Pria itu menurunkan senyumnya dan mendekatkan wajahnya lebih cepat. Seketika alam bawah sadar gadis itu memaksa membelokkan wajahnya hingga Arion malah mengecup pipinya.
Ke ... kenapa gue ngehindar? Sumpah, jantung gue rasanya mau copot! pekik Letta dalam hatinya.
Mereka berdua sama-sama terkejut dan Letta langsung mendorong tubuh di depannya menjauh. Rasa takut mulai mengerayangi seluruh tubuhnya hingga membuat gemetar. Tadi itu bener-bener nakutin! katanya lagi dalam hati.
Sebenarnya Letta tidak pernah mendorong tubuh itu, tapi Arionlah yang sengaja mundur karena sama-sama terkejut. Letta baru tersadar kalau dia menyentuh d**a Arion, buru-buru dia tarik kembali kedua tangannya itu dan berbalik berlari menghampiri Dhira.
“Dhira! Gue pulang, kalo lu gak mau pulang, gue pulang sendiri!” bentaknya yang langsung mennggalkan mereka tanpa menunggu jawaban Dhira.
Seketika Dhira panik dan pamit pada Vendi lalu terburu-buru mengejar sahabatnya itu.
Di ujung jalan, mereka berhenti tepat ketika ingin menaiki anak tangga halte busway. Di situlah Letta terduduk lemas. Jantungnya masih berdebar dengan rasa takut yang menyembul.
“Lu kenapa? Maag lu kambuh? Gue panggil Vendi, deh biar anter lu pulang,” ucap Dhira.
“Jangan! Gue gak apa-apa, kok, cuma lemes aja.”
Kemudian Letta teringat akan aksi kawannya itu yang membuat dia syok. Matanya memicing pada Dhira dan mulai menginterogasinya.
“Lu ciuman sama Vendi?!” Pertanyaan yang membentak itu lebih terdengar seperti tuduhan yang keluar dari mulut Letta.
Plis, jawab enggak!
“Ha? Kok, lu tau?” tanya Dhira cengengesan.
Gadis berambut panjang itu tercengang. “Emang Vendi cowok yang terbaik sampe lu kasih dia ciuman pertama itu?”
“Lha, itu bukan yang pertama, kok. Tahun lalu yang pertama tuh, tapi lupa sama siapa namanya yang jelas kita udah putus.”
Letta semakin terkejut lagi. “Segampang itu lu kasih? Dhir, gue gak paham sama jalan pikiran lu, kenapa lu gak mencerminkan anak SMP berumur lima belas tahun?”
Wajah Dhira langsung datar dan berkata, “Lu udah taulah alesannya, gue gak peduli sama hal begituan, yang penting gue seneng dan bisa manfaatin mereka. Toh, itu cuma ciuman, gak tidur bareng.”
“Dhira!” Letta bangkit dan memarahi sahabatnya karena berkata demikian. “Meski gak ada yang peduli sama lu sekalipun keluarga lu sendiri, seenggaknya elu yang harus hargain diri lu sendiri! Gue khawatir sama masa depan lu! Kenapa lu semudah itu kasih semuanya sama banyak cowok? Lu gak cuma nyakitin mereka, tapi nyakitin diri lu sendiri!”
Sharletta kembali terduduk dan menyeka air matanya dengan kasar yang hampir saja keluar.
Dhira tidak bisa bicara karena dia ikut merasakan kekhawatiran Letta. Gadis itu tidak pernah menangis, tapi melihat sahabatnya begitu mempedulikannya, pertahanan itu pun runtuh seketika. Andhira meneteskan air mata dan duduk lemas di sebelah Letta.
“Cuma lu yang peduli sama gue, Let. Gue harusnya gak boleh nangis, tapi cuma lu yang bikin gue nangis begini. Gue tau yang gue lakuin ini salah, tapi gue butuh hiburan dan perhatian yang gak gue dapet dari keluarga gue sendiri.” Dhira menyandarkan kedua sikunya ke tangga di belakangnya dan membiarkan ari mata kembali masuk dengan menenggakkan wajah. “Lu gak usah khawatirin gue, asal lu gak ikutan jadi kayak gue. Ini tubuh gue, hidup gue, semua risiko udah gue persiapin,” katanya sembari menyeka air mata yang tak kunjung berhenti.
Keheningan pun menyelimuti mereka.
[NOTE]
Kabedon : Diambil dari bahasa Jepang. Adalah sebutan untuk seseorang yang menempelkan salah satu atau kedua tangan ke dnding untuk menyudutkan orang yang disukainya supaya tidak kabur, pose ini biasanya terjadi pada adegan romantis yang muncul dari adegan dalam manga/komik.