#2 - Ikemen!

1382 Words
Sekolah sudah makin sepi pukul satu siang ini. Biasanya jam segini justru ramai dengan anak-anak yang masih beristirahat makan di kantin. Mungkin bel juga baru bunyi. Tapi, khusus hari pertama ini memang sekolah membiarkan murid-muridnya bebas dan boleh pulang setelah jam sepuluh ke atas. Sharletta dan Andhira masih bersantai duduk-duduk sekaligus berteduh di sebuah gazebo taman sekolah yang tidak begitu luas. Mereka mulai bosan. Lebih tepatnya Letta yang sangat bosan, menaruh kepalanya di atas meja bundar sembari mengamati sahabatnya teleponan dengan cowoknya. Berkali-kali Dhira bilang belum boleh pulang dari sekolah dan meminta teleponnya ditutup. Tapi, sepertinya cowoknya tidak mau dan Dhira terkejut saat mendengar pacarnya itu mengatakan sesuatu. Buru-buru Dhira memarahinya dan menutup telepon. “Kenapa sih?” tanya Letta dengan malas. “Tuh cowok mau ke sini, ya gue marahin, gak nurut banget dibilangin! Gue ancem aja putus, haha ....” Tawanya terdengar sangat puas. “Ih, lu jahat banget sih sama cowok! Inget karma, udah gue bilang berkali-kali lho!” Andhira hanya mengiyakan saja peringatan Sharletta seperti angin lalu. Tiba-tiba Letta menegakkan badan dan bertanya pada Andhira perihal cowok mana yang lebih disukainya dari kelima pacarnya itu. “Hmm, gue sih lebih suka sama yang udah kerja, tapi sayang belum dapet,” ucap Dhira seperti orang yang berpikir dengan serius. Tapi, jawaban tersebut semakin membuat Letta terkejut tak habis pikir. “Ih, itu Om-om dong?!” “Yaa jangan yang tua-tua banget laah! Yang belum nikah!” “Iiih, Dhira, gue gak ngerti sama otak lu!” “Sama, gue juga gak ngerti apa yang lu omongin.” Mereka malah saling tatap dengan pandangan aneh dan lama-lama jadi terkekeh bersama. Sharletta serius menanggapi omongan Dhira barusan, selama apa pun dia bersahabat dengannya, dia tiak pernah mengerti apa yang Dhira pikirkan sampai ingin atau bahkan harus melalui jalan itu. Letta benar-benar khawatir dengan masa depan Dhira. Tak lama kemudian Dhira bangkit dan mengajak Letta untuk pulang. “Emang udah jam dua?” tanya Letta penasaran mengecek jam di tangannya. “Belum, tapi sambil jalan juga sampe lah, gue suruh dia tunggu di lapangan panjat tebing.” Sharletta hanya mengangguk dan mengikutinya. Dia melepas sampul dasi yang dipakainya itu dan menggantungkannya saja di leher. Bajunya sudah dari pagi dikeluarkan dan rok bagian pinggangnya sudah dilipat dua kali sampai di atas lutut satu sentimeter. Sharletta Adhisty adalah gadis periang yang sedikit kekanakan dan tidak suka berpakaian rapi. Sejak kelas dua dia selalu mengeluarkan seragam putih dan melipat rok birunya ketika jam istirahat ataupun jam pulang. Tak jarang dia selalu kena omel Bu Dini, guru BK yang sangat keibuan namun bisa galak juga. Jika itu terjadi, Letta selalu memasukkannya kembali dan tanpa sepengetahuan Bu Dini dia menurunkan roknya. Dia memang bukan anak yang sangat baik dan penurut. Tapi, dia masih menjujung tinggi rasa kesetiaan pada kawan maupun pasangan, makanya dia selalu memperingati Dhira soal hubungannya yang tidak sehat itu. Letta juga tidak pernah pacaran, sebatas menyukai lawan jenis saja sudah membuatnya tidak tenang tiap bertemu. Namun dia adalah anak yang sangat penasaran pada semua hal. Dia suka sensasi ketegangan itu meski dia tidak terlalu mengerti apa yang membuatnya begitu. Apapalagi hobinya yang baca komik percintaan membuatnya berandai-andai memiliki pacar seperti yang ada di komiknya. “Itu orangnya tuh! Kayaknya sih,” seru Dhira menunjuk dari kejauhan.                 Ada beberapa orang yang sedang latihan panjat tebing, tahun lalu mereka mengikutinya karena termasuk ke ekskul sekolah dan sudah tidak bisa lagi di kelas sembilan ini karena akan dituntut fokus dengan kelas tambahan tiga hari dalam seminggu. “Mana? Gak keliatan, jauh gitu.” Letta memicingkan kedua matanya namun tetap tidak bisa melihat yang dimaksud Dhira, hanya samar-samar terlihat pakaian putih dan celana abu-abu. Jarak mereka ke lapangan panjat tebing itu memang masih jauh sekitar dua ratus meter lebih. Banyak pohon di kanan dan kiri sepanjang jalan itu sampai sejauh mata memandang. Mereka pun tetap melanjutkan perjalanannya dengan santai menyusuri pinggir lapangan. Sekolah mereka memang berada di dalam sebuah komplek elit milik perusahaan besar di kotanya yang sangat luas dengan banyak pohon di setiap jalannya membuat tempat ini sangat sejuk dan sepi. Namanya juga komplek elit, isinya pasti bos atau minimal karyawan yang kerja dari pagi sampai sore. Istri mereka pun rata-rata sosialita. Meski memang ada saja yang sederhana, namun hampir tidak pernah keluar rumah. Di sana juga ada stadion sepak bola satu-satunya di kota tersebut. Sesampainya di sana, ada seorang laki-laki berseragam putih abu yang kemejanya terbuka dan memperlihatkan kaus putih bertuliskan abstrak yang menyambut mereka. Sejenak dia mengamati Dhira dan Letta bergantian dengan wajah berseri lalu dia terlihat yakin dan tersenyum pada Dhira. “Dhira yang ini ‘kan?” tanyanya dengan senyum mengembang dan menjulurkan tangannya. “Emang kalian baru pertama ketemu?” tanya Letta. “Iya!” jawab mereka bersamaan. Letta langsung membeku di tempat, otaknya tengah menyuruh dia untuk tidak bereaksi secara tiba-tiba. Andai dia hanya berdua dengan Dhira pasti mulutnya sudah menyembur sahabatnya itu dengan makian. Akhrinya dia hanya bisa tersenyum meski nampak memaksa. Pria itu menyodorkan tangannya juga pada Letta yang langsung disambutnya dengan reflek. “Vendi,” katanya. “Letta, Sharletta. Eh, bentar, nama lu Vendi? Kok, Dhira tadi nyebutnya Pendi ke gue?” tanya gadis mungil itu dengan polos.  “Iya, Alvendi Banyu. Dia mah suka gitu, nama gue diubah-ubah. Tapi, gak apa-apa, udah telanjur sayang jadi suka-suka dia ajalah,” balas Vendi melempar senyum termanisnya pada Dhira.  Sontak Letta melirik sahabatnya itu dan benar saja gadis di sebelahnya memasang wajah jijik. “Basi lu!” makinya. Sharletta hanya bisa meringis dalam hati, mengasihani pria di hadapannya ini. Pria itu tidak tahu bahwa sikap Andhira itu kejam luar biasa, hatinya seperti es dan tidak pernah memedulikan cowok-cowoknya. Mereka hanya dimanfaatkan oleh gadis cantik nan seksi itu. Iya, Andhira itu memiliki tubuh yang sudah berbentuk meski masih lima belas tahun. Sangat berbeda dengan Sharletta yang selalu kecil meski tentu saja memiliki bentuk di bagian dadanya yang tak seberapa. “Kebiasaan deh Dhira jutek banget sama pacar sendiri,” ucap Vendi lalu menoleh ke belakangnya menunjuk ke arah seorang pria yang tengah meluncur turun dari atas papan. “Temen gue sekalian manjat tuh udah dua kali sambil nunggu kalian keluar.” “Oh, lu bawa temen?” tanya Dhira nampak tidak peduli namun tetap bertanya. Vendi mengangguk dan berlari cepat menghampiri temannya yang baru saja menapak aspal itu. “Eh, Dhir! Gue masih ngerasa aneh ngobrol sama anak SMA. Kayak berasa kecil banget gue,” keluh Letta. “Emang lu kecil ‘kan?” Dhira memang selalu bicara apa adanya meski membuat lawan bicaranya sakit hati. Letta memutar kedua mola matanya. Dia tidak bisa menyampaikan perasaannya pada Dhira, gadis itu terlalu cuek. Dia merasa tidak begitu nyaman saat ini, ada ketakutan karena yang dia tahu anak SMA itu lebih dewasa darinya hingga membuatnya tidak pede. Apalagi laki-lakinya terkenal suka tauran, meski biasanya itu anak STM. “Eh, Vendi itu anak STM apa SMA?” tanyanya lagi. “STM, eh tapi dia bilang ada SMA juga di sekolahnya, jadi dua jurusan gitu.”  Letta hanya mengangguk dan ketakutannya semakin bertambah karena dia sedang berhadapan dengan anak STM. “Gak usah takut, ada gue, kok. Tinggal jitak aja palanya, keliatannya dia lemah banget tuh, nurut banget sama gue. Ahhahaha ....” Tapi, Sharletta tidak merasakan hal yang sama, Dhira memang berani mengambil risiko. Letta juga, tapi masih dalam tahap normal, tahap yang masih bisa berhati-hati meski sedang mengambil risiko itu. Sifatnya yang selalu ingin tahu lah yang membuatnya jadi berani pada keadaan tertentu. Gak lama mereka berbincang, Vendi kembali membawa temannya. Letta langsung melihat pria itu yang berjalan santai menggunakan kaus putih polos dengan seragam putihnya yang ditaruh di pundak dan sisi lainnya diigantungi ranselnya. Sebelah tangannya menyapu rambut hitam yang penuh keringat itu ke belakang. Lalu angin sepoi-sepoi bertiup menghamburkannya lagi. Otomastis rambut panjang nan bergelombang milik Letta yang tergerai itu ikut melambai ke depan seolah ingin memeluk tubuh pria di hadapannya. Tubuh yang tinggi, wajah yang tegas dan tanpa ekspresi, serta tubuh yang berbentuk terlihat ketika angin mendorong kausnya hingga memperlihatkan lekukannya sekilas. Ikemen! seru Letta dalam hatinya seolah kecemasannya tadi sirna ditelan bumi. [Note] *Ikemen : Berasal dari kata 'Ikeru' yang artinya maskulin, cool, modis, tampan. Dan 'Menzu' yang artinya men atau pria. Istilah dalam bahasa Jepang yang mengacu pada pria tampan atau memiliki gaya yang keren.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD