#1 - It Started Today

1353 Words
Semua murid SMP Green Steel berkumpul di lapangan upacara setiap Senin pagi. Namun, kali ini berbeda, terjadi tiap tahun sekali. Mereka berkumpul untuk mendengar pidato kepala sekolah dan ketua OSIS yang siap pensiun dan meneruskan posisinya pada murid lain bulan depan. Pagi ini mereka berada di tingkat baru, kelas baru, dan murid baru. Biasanya setelah upacara selesai, para guru tidak akan mengajar untuk membuat murid-murid membiasakan diri lagi di sekolah setelah liburan kenaikan tingkat. Juga untuk membuat mereka terbiasa dengan teman-teman barunya karena kelas akan kembali diacak. Seperti Sharletta dan Andhira yang kini berusaha masuk dalam kerumunan murid yang juga ingin melihat nama mereka di papan pengumuman. Di sana ada beberapa kertas yang ditempel berisi daftar murid perkelas. Mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Madingnya memang agak tinggi dan memanjang di depan ruang guru yang dipisahkan dengan taman kecil di belakangnya. Lorong berlantai marun yang biasanya sepi kini ramai sekali. Lorong itu menghadap ke luar yang kadang area depannya dijadikan temapt parkir kendaraan para guru. Jauh ke depannya lagi ada pos satpam dan jalan yang sedikit menanjak menuju pagar sekolah. Sharletta akhirnya bisa berdiri di depan setelah ditarik masuk oleh Andira yang tubuhnya sedikit lebih tinggi dan montok. Mading itu memang agak tinggi bagi Letta karena tubuhnya yang pendek. Bagi semua orang, papan ini sangat pas untuk dilihat. Kedua gadis itu langsung mencari nama mereka di bagian daftar anak kelas tiga yang di tempel paling kanan. Andhira menemukan namanya di deretan atas dari kertas ketiga. Dia masuk kelas 9C, Sharletta pun terus menyisir list tersebut sampai menemukan huruf ‘S’ dan matanya berhenti di sana. “Aaaaa! Ada nama gue! Akhirnya kita bisa sekelas, Dhir!” teriak Letta disambut bahagia oleh sahabatnya itu. “Dua tahun sekolah di sini akhirnya kita baru bisa sekelas sekarang ya?” ucap Dhira tertawa miris. “Iya, gak apa-apalah, itu berarti kita baru jodoh sekelasnya sekarang.” “Tapi, katanya sistem kelasnya masih diacak bukan berdasarkan nilai kita.” “Oh, iya sih soalnya tadi gue liat di daftar kelas A gak ada si kembar Mita dan Gita yang geniusnya sebelas duabelas, padahal kelas satu gue sekelas sama Mita di kelas B sedangkan Gita di kelas A.” Mereka bicara sambil keluar lagi dari kerumunan tersebut dan membiarkan yang lain bergantian melihat daftar itu. “Iya, kemungkinan mereka di kelas D atau E. Gue gak cek lagi sih,” kata Dhira menoleh lagi ke papan itu. “Yaudah, jadi gak ada yang tau kita pinter atau bodoh, ahahaha ...” “Yang jelas kita gak pinter lah, soalnya gak sekelas sama anak-anak pinter itu! Gimana sih?” sindir Dhira. Letta langsung lemas dan kecewa mendapati kenyataan pahit itu, tapi setidaknya mereka juga tidak sekelas dengan anak-anak yang notabenenya nakal dan suka ribut di kelas. Jadi, mereka merasa aman berada di tengah-tengah. Mereka bergegas ke lorong area kelas tiga yang agak gelap untuk menuju kantin yang berada di seberang lorong sana. Kelas tiga berada di paling depan bangunan yang menyambung dengan lorong marun tersebut. Tepatnya berada di kiri dari pintu gerbang. Dulu Letta tidak berani melewati area ini karena nampak suram dan hawanya berat. Namun, Dhira biasa saja karena dulu masih ada kakak laki-lakinya yang sekolah di sini. Pernah suatu hari dia datang ke kelas kakaknya dan meminta uang karena ibunya lupa memberikannya. Namun, salah satu kelompok perempuan di kelas itu salah paham dan melabrak Dhira diam-diam. Setelah mereka tahu bahwa itu kakak laki-lakinya, para wanita bar-bar itu pun melepasnya dan pergi bergitu saja setelah memakinya. Letta tidak pernah tahu kejadian itu karena pada saat itu kelas mereka berbeda, jadi jadwal istirahatnya pun bisa berbeda. Dhira adalah gadis yang pemberani, cuek, dan dewasa sebelum waktunya. Sedangkan Letta kebalikannya, dia adalah gadis yang polos, periang, dan kekanakan. Dia paling suka membaca komik buatan negeri Sakura terutama romance-nya. Otaknya selalu dipenuhi bayang-bayang tokoh pria yang ada di komik itu muncul di kehidupannya. Baginya kehidupan di komik itu jauh lebih menyenangkan dan menegangkan. Meski dia termasuk anak yang kekanakan, tapi dia ingin merasakan ketegangan dalam hidupnya yang datar. Tapi, kata siapa hidupnya benar-benar datar? Sharletta tidak pernah sadar bahwa kehidupannya bak kisah romansa di dalam komik jauh sebelum dia membuat permohonan gila itu. Sejak sekolah dasar banyak anak laki-laki yang mengejarnya bahkan memperebutkannya. Sikap mereka kurang lebih sama dengan sikap para pria di komik yang dia baca. Lalu, saat masuk SMP ini pun dia pernah menyukai kakak kelas yang entah bagaimana caranya hingga pria itu mengajaknya bicara. Pria itu bukan sembarang senior di sekolahnya, dia adalah salah satu anggota populer yang suka berolahraga. Letta memang tidak pernah menganggap laki-laki di sekitarnya, tapi dia menyukai senior itu karena sikapnya yang dingin seperti di komik, pandai bermain basket pula. Banyak murid perempuan ingin dekat namun dari sekian banyak adik kelas yang mengejar mereka, hanya Sharletta yang diperlakukan baik dan disapa ketika bertemu. Anehnya tidak ada murid laki-laki seangkatannya yang mendekat kecuali satu atau dua temannya yang dulu pernah satu kelas saat masa orientasi siswa. Banyak yang ingin mengenal Letta lebih jauh, tapi saking polosnya, gadis itu menerima semua pendekatan mereka. Baginya banyak teman lebih baik, apalagi dia jarang sekali bisa berteman dengan senior. Bahkan seantero sekolah tahu siapa Sharletta karena latar belakangnya yang mudah bergaul dan didekati banyak kakak kelas. Gadis itu tidak pernah menyadari bahwa hidupnya sudah seperti di komik sampai detik ini. Hingga suatu hari dia bercerita pada Andhira mengenai kisahnya itu, awalnya dia haya bercerita karena merasa aneh kenapa masih SD sudah ada yang menyukainya. Dia sendiri merasa tidak cantik-cantik amat apalagi dengan sikapnya yang seperti itu membuat dirinya tidak pede untuk mendekati seorang pria lebih dari teman, lagi pula belum da yang membuatnya berdebar seperti membaca adegan romantis di komik. Lalu berkat ucapan Dhira, Letta jadi mengulang semua memorinya dengan cepat dan mulai menyesalinya. Ini kali kedua Letta bercerita dan kali kedua pula Dhira mengingatkan Letta kisah hidupnya yang penuh drama. “Aaaah! Kalo gue inget-inget lagi semua cerita gue emang mirip sama di komik. Kenapa gue sia-siain?! Itu ‘kan romantis banget, bikin deg-degan!” pekik Letta saat berada di kantin menunggu pesanan baksonya datang. “Sekarang udah terlambat, semua senior udah pergi! s**l!” “Lagian elu jadi cewek gak peka banget sih?!” sindir Dhira. “Yee, elu aja yang kelewat dewasa sebelum waktunya, kita masih SMP, dua bulan lagi baru lima belas, wajar dong gue gak paham sama begituan. Gue cuma suka-suka aja sama cowok, terus ngebayangin mereka bisa kayak di komik-komik, tapi gak ada yang bener-bener menggugah gue. Hehe ....” “Ngayal aja terus! Eh, umur itu gak mencerminkan kepribadian dan otak kita, itu cuma angka.”    Pesanan bakso pun datang tepat waktu, menahan Letta untuk tidak menyembur Dhira dengan keluhannya lebih jauh lagi. Gadis mungil itu teralihkan oleh harum kuah bakso yang membuat air liurnya mengalir. Tanpa basa basi lagi dia melahapnya sembari menaburinya dengan pilus kecil sebanyak mungkin. “Oya, nanti temenin gue ya? Ketemu cowok gue pulang sekolah!” perintah Dhira. “Cowok lu yang mana?” tanya Letta sembari mengunyah baksonya. “Yang anak SMA, si Pendi,” jawabnya singkat. Sharletta bertanya begitu bukan karena candaan semata melainkan bertanya kenyataannya. Andhira Nanessa adalah seorang gadis empat belas tahun sepuluh bulan yang sudah berganti-ganti pacar sebanyak sepuluh kali sejak masuk SMP. Tahun ini pun pacarnya masih ada lima sekaligus. Tipe playgirl di usia yang terlalu muda. “Gue gak kebanyang deh nanti udah gedenya lu gimana, Dhir. Hati-hati sama karma,” ucap Letta menyeruput es tehnya. “Biarin aja, gue gak peduli.” Letta hanya menggeleng, selalu begitu tiap kali sahabatnya diperingati untuk tidak terus bermain api. “Asal lu jangan kayak gue aja. Udah bagus lu selalu lurus ke depan, cuma kurang pengalaman sama kepekaan,” lanjut Dhira mulai mengucir rambut lurus sebahunya. “Gue gak butuh pengalaman, gue belum butuh cowok,” jawab Letta cuek. “Ah, liat aja nanti kalo cowok impian lu dateng! Pokoknya nanti temenin jam duaan.” “Lama banget? Jam sepuluhan aja anak-anak udah pada balik kali?” “Biar sepi, gue gak mau anak-anak SMP ini liat, ribet urusannya.” Lagi-lagi Letta menggeleng dan mendengus pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD