"Gimana, enak kan kelasnya?" Bening terkekeh melihat raut mukaku saat aku ngeloyor melewati teman-teman indekos "Mami Surti" yang asyik menonton acara infotainment.
Di bawah tangga, aku berhenti untuk menjawab pertanyaan seniorku itu.
"Enak apaan. Temen-temen pada tidur tuh," gerutuku.
"Loh ya bagus. Kan artinya kamu punya waktu buat tidur siang."
Tawa yang lain menggelegak. Bola mataku terputar kesal. "Jadi nyesel, kan. Tapi udah telanjur. Coba aja kalau ada senior ganteng yang ambil kelas itu. Pasti rajin ngikut kelas Pak Sukamto, deh."
"Senior ganteng? Maksudnya si Sabas?" Sebagai teman seangkatan Sabas, Bening mulai menggodaku. Kedua alisnya naik-turun beberapa kali.
Aku mengernyit. "Iyuuuh. Enggaklah! Amit-amit deh bisa sekelas sama orang kayak dia." Aku bergidik.
"Eh, pamali. Nanti jadi suka loh kayak di sinetron-sinetron. Benci jadi cinta," Kak Inggit menyambung di balik mangkuk makannya.
Lagi-lagi tawa menyembur di antara teman-teman indekos. Hampir semua penghuni di indekos "Mami Surti" tahu sejarah kelam hidupku selama kuliah di kota ini. Sebab mereka juga yang menjadi saksi bisu perjuanganku sejak masih mahasiswa baru. Setiap akhir pekan, penghuni indekos ini memang mengadakan acara berkumpul di depan televisi untuk menceritakan rahasia-rahasia yang mereka sembunyikan. Di sinilah kami dilatih untuk jujur dan menjaga rahasia antarteman indekos. Sebagai penghuni paling bungsu, aku tak banyak bercerita, kecuali perasaanku pada Ananta dan perseteruanku dengan Sabas.
"Udah, ah. Panas nih kuping denger namanya." Aku menepuk-nepuk telinga. Tanganku melambai berpamitan.
Pintu kubanting perlahan. Aku melempar ransel ke kasur, lantas melompat untuk berbaring seraya memandang langit-langit pucat. Malam nanti, aku punya jadwal rapat dengan redaksi majalah fakultas untuk pertama kali. Menunggu malam jatuh, kugunakan waktu luang dengan bersantai. Aku membuka akun i********: dan menerima banyak notifikasi masuk, baik dari orang-orang yang menyukai unggahan fotoku maupun yang meninggalkan komentar. Mataku menyoroti barisan nama akun itu. Lalu, berhenti pada satu nama.
AnantaSenapati commented: cantik
"YA ALLAH AKU DIKOMEN CANTIK SAMA GEBETAN!" Spontan aku terperanjat dan berteriak histeris. Jantungku rasanya seperti meloncat.
Di luar kamar, Bening melongokkan kepala penasaran. Aku baru sadar ia sudah berdiri mengernyitkan dahi melihatku melompat-lompat di ranjang. "Kenapa sih, Dek? Kirain ada apaan."
"Mas Ananta ngomentarin fotoku di i********:!" Aku melompat turun dan menunjukkan komentar tersebut.
"Buset dah gini aja udah lebay. Lagian yang dipuji cantik foto mawarnya, bukan foto kamu."
Bibirku mengerucut ke depan. Meskipun yang dikomentari adalah mawar yang kupotret, tetap saja rasanya berdebar. Kak Bening menyentil poniku, lalu melangkah menjauh. Ya ... kalau dipikir-pikir agak miris. Yang dipuji kan bunga mawar, bukan fotoku sendiri. Kasihan.
*
Rapat redaksi pertama yang kuhadiri terlihat padat peserta. Biasanya kalau awal-awal seperti ini memang banyak yang hadir. Semangat anggota yang baru diterima menjadi bagian dari redaksi majalah fakultas masih berkobar bagaikan api unggun. Termasuk aku. Nanti kalau sudah mendekati semester akhir, pasti yang datang rapat hanya tiga orang. Begitulah yang dikatakan pimpinan redaksi majalah FOKUS, Nabila.
"Nah, tugas adek-adek yang baru bergabung nggak berat kok. Karena masih belajar, kalian setorin berita seputar fakultas tiap minggu ya. Jumlahnya terserah. Kalau bisa yang banyak, biar kalian dapat poin juga. Poin terbanyak nanti yang bisa naik jabatan. Artikel kalian nanti akan kita tempel di mading fakultas setiap minggu. Kalau buat majalah, kita bisa rapatkan lagi."
Aku mengangguk-angguk sembari mencatat hasil rapat yang diadakan di student center fakultas.
"Jadi—"
"Hoooo tiada terkira, rindu segala gala galanyaaa. Hooo tiada terkira, rindu segalaaa galaa galaaa gala galanyaaa."
Nabila menggeram kesal mendengar nyanyian keras dari ruang sebelah. Ia melempar spidol whiteboard. Tangannya bertolak pinggang. Ia menggedor pintu keras-keras.
"Woy, kalian kalau ramai jangan di sini! Di luar sana! Ada orang rapat!"
"Apa salah dan dosaku, sayang. Cinta suciku kau buang-buang. Lihat jurus yang kan kuberikan. Jaran goyang, jaran goyang." Di luar, tampak beberapa mahasiswa menggotong gitar, berjoget, dan terbahak menertawai kami.
Kehilangan kesabaran, Nabila menutup pintu keras, disambut dengan tawa nyaring cowok-cowok berkaus senada—hitam polos. Perhatian Nabila ditujukan lagi pada anggota majalah fakultas.
"Denger ya, adik-adik yang baru gabung. Kalian tahu ruangan sebelah itu ruang apa? Bener. Basecamp anak-anak teater. Dulu sebelum fakultas ini pisah dari FISIP, BSO mereka sama BSO kita udah berdiri. Dan sejak dulu juga, pantang buat kita deket-deket sama anggota teater sana. Paham?"
"Paham, Kak...," teman-temanku menjawab serentak.
Dahiku mengernyit heran. "Emang kenapa, Kak?"
"Pokoknya haram! Awas kalau kalian ada yang melanggar pantangan ini."
Lah, sungguh tidak masuk akal. Meski demikian, aku belum berminat mengajukan banyak pertanyaan yang bisa menjawab rasa penasaranku. Apalagi wajah Nabila yang memerah menahan kesal.
Hal ini malah mengingatkanku pada tradisi konyol sewaktu aku SMA. Dulu aku pernah bergabung di ambalan sekolah. Seniorku pun menjelaskan hal serupa, bahwa kami dilarang berdekatan dengan anak-anak pecinta alam. Sebab dulu pendiri pecinta alam dan ambalan sekolah adalah sepasang sahabat yang tiba-tiba berganti menjadi musuh, bahkan sampai saat mereka diminta kepala sekolah menjadi pembina selama bertahun-tahun. Akibatnya, anak-anak yang mengikuti ambalan dilarang mengikuti ekskul pecinta alam dan sebaliknya. Siapa pun yang melanggar akan dicap pengkhianat. Kurang t***l apa, coba?
Dan akhirnya aku sependapat dengan Nabila begitu kulihat wajah songong Sabas, melewati basecamp majalah fakultas, lalu masuk bergabung dengan kawan-kawannya.
"Loh, itu bukannya ketua HMD kamu, ya?" Viola yang berasal dari departemen Sejarah berbisik di sampingku.
Bahuku mengedik.
"Wah ... sayang banget dong. Aku ngefans nih sama dia. Masa iya nggak boleh deketin dia? Mending mah aku keluar dari BSO ini."
Sontak, aku menoleh ke arahnya, memberikan tatapan lekat. Ia memamerkan seringai lebar dan buru-buru mengubah arah pandangan menuju Nabila yang melanjutkan rapat.
Jarum jam menunjuk angka delapan. Kami segera membereskan barang-barang yang berserakan dan meninggalkan student center. Teman-temanku melambaikan tangan, berpamitan pergi, sedangkan tinggal aku di tempat ini bersama Nabila yang mengunci basecamp. Gigiku terbenam pada permukaan bibir.
"Ngg ... Kak Nabila. Itu ... mereka emang suka nongkrong sampai larut, ya?" Aku menunjuk segerombolan orang yang duduk-duduk di bawah pohon mangga tepat di samping student center—bersebelahan dengan basecamp teater. Sebagian dari mereka memetik gitar, ada yang bercengkerama membahas pementasan seraya merokok dan menenggak kaleng bir.
"Ah udah biasa. SC ini sering dibuat tidur mereka. Ya ... bagi kita sih mengganggu banget. Nanti kalau ada apa-apa gimana?"
Aku sih peduli setan soal itu. Yang bersembunyi di balik pikiran jahatku adalah membalas si Sabas. Baru kutahu bahwa ia juga anggota BSO teater. Dari tempatku berdiri, aku menemukannya sedang menggambar sesuatu bersama teman-temannya—samar-samar kudengar ia membicarakan artistik sebuah panggung. Senyum miring bermain licik di bibir.
"Kenapa senyum-senyum?" Nabila menyenggol bahuku.
"Nggak apa, Kak. Dalam waktu dekat, aku akan setorin artikel pertamaku buat mading."
"Semangat bener. Tentang apa?"
"Ada, deh."
Nabila mencebikkan bibir. "Ya udah. Aku duluan, ya. Dijemput pacarku di depan."
Kuanggukkan kepala. Nabila melambai padaku, berjalan menyusuri koridor gelap keluar dari student center. Tinggal aku yang berdiri sendirian di tengah remang-remang sembari mengecek ponsel sebentar.
"Mau ke mana, Dek? Sini sama Mas."
Menoleh ke sumber suara, kulihat anak-anak teater melemparkan pandangan ke arahku, tak terkecuali Sabas. Dari raut wajahnya aku bisa menebak apa yang ada di pikirannya.
"Duh rek, senyum dikit dong biar makin cantik."
"Lah itu mah juniornya Sabas," terdengar suara seorang perempuan.
Aku masih mengabaikan mereka seraya menyibukkan diri dengan ponsel, mengirim pesan di grup w******p yang dihuni teman-teman indekos. Kuminta salah seorang dari mereka menjemput.
"Iya tuh. Yang paling ndableg pas malam keakraban. Suka bikin gara-gara, sering ngebantah, bahkan sampai berantem sama alumni yang jadi timdis, kan?"
Kedua alisku menyatu. Kupandang mereka dan mencoba mengenali wajah-wajah di sana. Oh ... kini aku mengenali beberapa dari mereka. Sebagian dari mereka memang senior di departemenku. Sebagian lagi tak kukenal—mungkin senior dari departemen lain, senior yang lebih tua, atau alumni. Bibir kukulum sebal.
"Oalah. Dedek gemes yang pingsan itu? Terus digrepe-grepe si Sabas, ya?"
"HAHAHA."
"Heh, heh. Muatamu, Cuk. Siapa yang grepe?"
"Lah waktu itu kan kamu yang gendong dia sampai di tenda medis."
"Itu kan udah tugasku sebagai ketua HMD yang bertanggung jawab sama junior." Sabas berdecak kesal, lantas memandangku. "Eh, bocah. Ngapain masih berdiri di sana, sih? Sana pergi. Sengaja pengen digodain, ya?"
Aku mengembuskan napas pendek. Kurang ajar. Lihat aja nanti. Kalian nggak akan bisa ketawa lepas seperti sekarang di sini. Menyimpan dendam kesumat, aku melangkah gusar mengabaikan tawa menggelegak dan tatapan Sabas yang tak kunjung dialihkan.
*
Karena angkutan tidak beroperasi selarut ini, maka kuputuskan untuk jalan kaki. Lagi pula jarak antara kampus dan indekos tak begitu jauh. Paling-paling membutuhkan waktu setengah jam. Itu mah jauh banget, Gi, kata malaikat di atas pundakku sambil mengetukkan tongkat ke kepalaku.
Aku berhenti sebentar di depan gerbang kampus, menoleh ke kanan kiri, lalu mendengus pendek. Kalau naik taksi, tak kujamin keesokan harinya bisa makan enak. Uang bulanan belum dikirim orang tua. Aku tak berani menghamburkan uang.
"Devana!"
Mendengar panggilan yang hanya digunakan oleh Ananta, praktis aku menoleh ke belakang. Senyum merekah di bibirku melihat Ananta yang melongokkan kepala dari balik jendela mobilnya.
"Hai, Kak."
"Pulang sendirian? Aku tebengin."
OMG. Agar tak terdengar murahan, aku sedikit jual mahal.
"Nggak usah deh, Kak. Aku jalan kaki aja."
"Bener, Dev? Di status sss kamu bilang butuh pangeran dan kuda tunggangannya buat nganterin."
Perutku mendadak bergolak menyakitkan. Ya ampun, Mas ... kamu baca statusku di f*******:? Kutelan ludah dengan susah payah. Padahal aku memang memberikan kode padanya—setelah tahu bahwa ia sedang dalam jaringan. Aku mengusap tengkuk yang berkeringat. Haha. Berengsek. Harusnya aku senang gebetanku peka.
"Ah, Mas Ananta. Aku kan iseng nulis status...."
Senyum muncul menambah kegantengannya. Lututku bisa-bisa lumer seperti cokelat kalau terus-menerus disenyumi seperti itu.
"Masuk. Ayo. Daripada jalan sendirian kayak orang ilang?"
Asyik! Seharusnya hal seperti ini terjadi sejak lama. Coba aku mengirim kode setiap hari kalau gebetan sepeka ini. Aku berjalan mendekati mobilnya. Hampir saja kubuka pintu depan bersebelahan dengan kemudi, seandainya kaca jendela mobil yang tadinya tertutup kini dibuka oleh seseorang.
Seorang perempuan.
"Oh ya, Dev. Nggak apa kan satu mobil sama Kirana?"
Hancur sudah hati ini, Mas. Aku memaksakan senyum dan mengangguk. Kubuka pintu tengah dan duduk di sana. Dari rearview, kulihat pandangan Kirana yang tak lepas dariku. Aku menyelipkan rambut ke belakang, merasa rikuh.
"Kebetulan banget ya ada rapat BEM mau bahas kegiatan dies natalis fakultas. Jadi kita bisa pulang bareng," kata Ananta seraya mengemudikan mobil pergi. "Rana nggak ada kendaraan pulang. Aku tebengin sekalian."
"Oh." Aku tersenyum kecut. Memang banyak kabar yang beredar bahwa Ananta sedang dekat dengan perempuan. Tapi tak ada seorang pun yang tahu perempuan mana yang sedang ia dekati. Malah aku berpikir perempuan yang dimaksud orang-orang adalah aku. Hehe.
Meski sudah tak menjabat sebagai presbem, Ananta masih memedulikan organisasi itu. Kadang di tengah kesibukannya mengurus proposal skripsi, ia menyempatkan diri membantu anggota BEM mempersiapkan berbagai kegiatan. Jangan-jangan ia bertahan di BEM demi Kirana yang notabene masih menjadi anggota aktif.
Sejujurnya, aku tidak menyukai Kirana. Anggota BEM yang paling songong—walaupun Sabas menempati urutan pertama sebagai orang tersongong di kehidupanku—yang sukanya membentak-bentak junior kendati tak memiliki masalah. Saat ospek, ia yang sering membentakku. Mentang-mentang menjadi tim disiplin, ia bisa bertindak semena-mena pada semua juniornya yang polos. Walaupun terlihat polos, jiwaku ini mengobarkan semangat pemberontakan. Tak terima dibentak, aku membantah di hadapan teman-teman baruku yang ekspresinya seperti kentang....
"Kamu tahu kesalahan kamu itu apa? Pita di rambut kamu salah! Harusnya warna biru dan kuning sesuai warna bendera fakultas kita!" begitu yang ia teriakkan di depanku waktu itu.
"Kan saya udah jelasin kalau pitanya saya ganti merah, Kak. Biar nggak kebanyakan pita. Yang praktis gitu loh."
"Kamu kok berani bantah senior? Pita merah ini dipasang di lengan kanan! Bukan di rambut! Paham nggak, sih?!"
"Saya kan juga udah jelasin kalau saya nggak mau pakai banyak pita. Hemat uang, tahu. Jadi, sekalian aja pita tanda medisnya saya taruh di rambut. Suka banget sih ngeribetin orang!"
Dan jatuhlah hukuman dari anggota timdis lain karena keberanianku membantah Kirana. Aku diminta melakukan sit up sepuluh kali. Untung saja Ananta datang dan memintaku berhenti. Ia membantuku berdiri.
"Kok kalian nyuruh dia sit up, sih? Kalian tahu kan dia pegang pita merah? Artinya dia nggak bisa kena hukuman fisik."
Keadaan waktu itu sangat ricuh dan penuh drama. Mahasiswa baru yang lain hanya melongo melihat pertengkaran Ananta yang membelaku setengah mati dengan anggota timdis yang membela Kirana dengan alasan kedisiplinan. Sebagai penyulut api, aku hanya mengamati di pinggir seraya menggigit buku-buku jari. Pertikaian di antara mereka berhenti setelah Sabas yang kutahu menjabat sebagai ketua tim disiplin datang melerai.
"Woy! Jangan kayak anak kecil dong. Udah. Masalah gini aja digede-gedein." Sabas mengacungkan jari ke arahku. "Kamu balik ke barisan sana. Bikin ricuh aja."
Aku menggigit bibir, kembali ke barisan, sementara Ananta menyeret lengan Sabas dan berbisik dengan wajah sangat serius. Mereka tak lagi melanjutkan kericuhan begitu Ananta pergi bersama tim inti, sedangkan tim disiplin masih mempertahankan wajah garang mereka.
"Kenapa pada diem? Nggak ada yang mau belain teman kalian tadi?" Kirana berteriak lantang.
Di barisanku, aku malah mengamati tali sepatuku yang lepas. Aku menyingkir dari barisan, duduk, lantas mengikat tali sepatu yang lepas.
"Angkara Devanagari!" namaku diteriakkan lagi, kali ini oleh anggota timdis yang lain. Seorang gadis berambut pendek yang diberi sentuhan ombre pirang. "Ngapain kamu duduk di sana?"
"Ngikat tali sepatu, Kak." Kuangkat kaki menunjuk tali yang terlepas.
"Bas. Urus sana. Capek ngurus dia." Kirana mengusap wajah frustrasi.
Sabasnash menggerakkan jemari memintaku maju ke depan. Aku menyatukan kedua alis.
"Tadi diminta balik ke barisan. Sekarang kok disuruh maju lagi?"
"Maju!" bentaknya.
Bibirku mengerucut ke depan. Sampai di dekatnya, aku menggumam, "Asshole."
"Apa kamu bilang?"
"Apaan?" Kepalaku menengadah.
"Barusan kamu bilang apa?"
"Salah denger kali."
"Kamu ini masih mahasiswa baru, ya. Jangan kurang ajar." Ditariknya nametag-ku. Ia tertawa pendek. Dari sorot matanya, bisa kusimpulkan bahwa namaku ditandai dalam kepalanya. "Kenapa kamu pakai sepatu bot?"
Bahuku terkedik. "Emang kenapa?"
"Kalau ditanya itu dijawab, Dek! Bukan malah tanya balik!" Cewek ombre pirang tadi membentakku. Untung saja jantungku buatan Tuhan. Coba kalau tidak. Sudah jebol mungkin.
"Kan nggak ada larangan pakai sepatu bot. Lagi pula di peraturan jelas-jelas kok tulisannya: memakai sepatu hitam." Kutunjuk sepatuku. "Ini kan sepatu hitam."
"Nih anak ngeselin banget, ya." Kirana memberantakkan rambut panjang bergelombangnya. Tangannya terangkat memberi gestur ingin mencakarku. Ia menghela napas panjang, "Astaga ... sabar, Rana. Sabar."
"Bas, Ran! Udah!" Dari kejauhan, Ananta yang melipat tangan di depan d**a berseru. "Waktu pressing udah kelar!" Ia mengetuk jam tangan berkali-kali.
Maka, namaku ditandai timdis sebagai mahasiswa baru pembangkang yang wajib diberi pelajaran. Di hari itulah aku mendedikasikan diri sebagai hater Kirana. Juga Sabas yang songong meskipun ganteng. Dan sejak bertikai dengan Ananta yang membelaku dari berbagai macam hukuman, Sabas memutuskan keluar dari BEM.
"Udah sampai, Dev. Ini kan indekos kamu?"
Suara Ananta menyingkirkan pikiranku yang sejak tadi melalang buana tak tahu rimba. Aku melonjak dari jok, menoleh ke samping, dan mengangguk. "Iya, Kak." Kutarik ransel dan menyandangnya.
"Abis ini jadi makan?" suara perlahan Ananta tertangkap telinga.
Guys, jangan geer. Pertanyaan itu dilempar Ananta pada Kirana. Bukan padaku. Rasanya ada denyutan nyeri di d**a pertanda patah hati. Aku mulai membenarkan asumsiku bahwa Kirana yang sedang didekati Ananta.
"Makasih ya, Kak." Aku membuka pintu mobil. "Maaf ngerepotin."
"Nggak apa, Dev. Daripada ngelihat kamu jalan sendiri dan dijahatin orang, mending aku anterin pulang."
Ya Gusti. Tolong kirim pacar sepengertian ini.
Ananta melambaikan tangan ke arahku. Mobil Honda Jazz hitamnya dikemudikan pergi meninggalkan kompleks perumahan tempat indekosku. Aku membuang napas panjang. Tanganku menyusup ke dalam kantong jaket mencari kunci. Sialnya, tak ada kunci di sana.
"Loh. Kok nggak ada?!" Aku memeriksa kantong celana dan ke dalam ransel, namun rentengan kunci yang terdiri dari kunci gerbang, pintu utama, dan pintu kamar tak ada di mana pun. Kutepuk dahi berkali-kali. "Waduh. Masa iya jatuh di SC, sih? Atau di mobil Ananta, ya?"
Hendak kuhubungi nomor Ananta, sampai akhirnya selenting ingatan menampar kepala. Kepalaku menengadah ke atas bersipandang dengan awan gelap berselimut gemerlap bintang. Aku baru ingat kunci indekos tadi kumain-mainkan di basecamp BSO majalah. Kemungkinan besar benda itu tertinggal di sana. Aku mengumpat kesal mengutuk kebodohan. Aku mencoba menelepon teman-teman di dalam, tapi tak seorang pun yang menjawab.
Aku: mbaaak haluuu. Aku kekunci di luar nih. Help me plis.
Tak ada yang membaca pesan di grup indekos. Betapa s**l nasibku. Apa boleh buat. Terpaksa, aku memanjat pagar rumah yang tak terlampau tinggi. Sebelum tepergok satpam kompleks dan dikira maling, segera aku melompat ke dalam dan mendarat dengan baik. Baru kali ini aku memanjat pagar seperti maling. Semoga tak ada siapa pun yang memotret ulahku dan menyebarkannya di kampus. Apalagi jika Ananta tahu. Bisa rusak reputasiku sebagai mahasiswa yang paling kalem di FIB.
Keadaan rumah indekos memang sudah sepi dan gelap. Tumben mereka nggak meramaikan rumah ini dengan tayangan India. Ketika kucek satu per satu kamar mereka—dari jendela—tak ada seorang pun yang terjaga. Lantaran tak bisa masuk ke dalam kamar, maka kuputuskan untuk tidur di sofa depan televisi.
*
Gara-gara semalam tak dapat masuk kamar, terpaksa aku meminjam pakaian penghuni indekos lain untuk pergi ke kampus. Untung saja hari ini aku tidak memiliki kelas pagi sehingga tak perlu berlari seperti tikus dikejar kucing saat memasuki gedung fakultas. Sebelum menghadiri kelas jam sebelas nanti, aku memeriksa basecamp sekadar mencari kunci indekos. Student center tampak masih sepi—karena aku datang cukup pagi. Aku menyusuri koridor menuju basecamp. Melewati toilet, aku berpapasan dengan seseorang yang tiba-tiba menghalangi jalanku.
"Aduh ... pagi-pagi udah disamperin bidadari."
Aku menghapal wajah cowok di depanku. Kalau tidak salah, namanya Praska. Ia teman Sabas, senior departemenku, dan panitia malam keakraban di bidang perairan yang selalu menggoda Sabas dengan membawa-bawa namaku tiap kali melihatku lewat atau melewatiku sambil membawa timba berisi air sungai.
"Apaan, sih. Minggir."
"Galak amat. Mau ngapain? Nyariin Sabas, ya? Lagi nggak ada di SC."
"Siapa yang nyari Sabas." Bola mataku berputar.
"Duh, Dek." Daguku dicolek. Aku menepis tangannya. "Hati-hati kepincut loh."
Amit-amit jabang bayi. Seandainya hanya aku dan Sabas yang hidup di dunia ini dan diminta berkembang biak, aku memilih jadi alien saja.
"Najis." Kudorong pundak Praska, mempercepat langkah memasuki basecamp dan mencari kunciku.
Sialnya, tak ada kunci basecamp. Sudah kucari sepenjuru arah, tak ada tanda-tanda aku meninggalkan kunci di ruangan ini. Aku mengetuk dahi berkali-kali kembali mengingat di mana terakhir kuletakkan kunci s****n yang membuatku terpaksa memanjat pagar dan tidur di depan televisi. Aku meninggalkan pesan di whiteboard agar dibaca anggota BSO majalah lainnya yang mungkin menemukan kunciku.
*
Kunci itu masih belum kutemukan. Teman-teman BSO majalah pun tak tahu-menahu soal kunci indekos. Kecuali Viola yang hapal di mana kuletakkan kunci tersebut.
"Kan udah kamu kantongi," begitu katanya sewaktu berpapasan di hall lantai tiga.
Maka untuk kedua kali, aku menggeledah student center, mencari ke sepenjuru koridor, dan bertanya pada petugas kebersihan. Tak ada seorang pun yang menemukan kunci indekos. Aku mulai frustrasi.
Di bawah pohon mangga, aku berdiri seraya bertolak pinggang. Kuamati lalu-lalang mahasiswa yang melewati student center untuk membeli makan di pujasera. Pikiranku kosong. Sekali lagi, aku mencoba menyelami ingatanku yang payah dan menggali secuil informasi. Tiba-tiba dari atas, aku merasakan sesuatu menimpa kepalaku.
"Eh!" Tak jauh di depan, kulihat sebuah mangga kecil yang menggelinding setelah menimpa kepala. Menengadah ke atas, aku justru menemukan Sabas tengah duduk-duduk di salah satu cabang. "Cari mati ya?!"
"Lagi nyari sesuatu?" Di tangan kanannya, kulihat sebuah benda gemerincing dan berkilau ditempa sinar mentari. Aku mengangakan mulut. Itu kan kunciku!
"Oh ... kamu pencurinya! Balikin!"
"Mintanya yang sopan dong. Senior kamu nih. Hormat dikit, kek." Ia melompat turun dengan gesit. "Lain kali jangan kantongin kunci di saku jaket. Jatuh di jalan tahu rasa." Dilemparnya kunci tersebut ke arahku. Aku menangkapnya secara spontan. Untung tidak kena muka!
Sabas menyeringai dan berlalu pergi.
Kuamati kunci indekos yang sekarang sudah di tangan. Betapa bodoh dan cerobohnya aku sampai menjatuhkan kunci di sini. Untung saja tidak di jalan raya. Sembari mengamati kunci tersebut, ingatanku berlari memutari waktu. Kunci ini justru membawaku teringat masa-masa ospek jurusan atau yang lebih sering disebut malam keakraban. Masa-masa paling mengesalkan bagiku karena di sini kesalahan sedikit saja akan dicatat di papan kesalahan di belakang punggung. Saat kuminta teman sekelompokku menghitung kesalahan yang ditulis senior, mereka menjawab limabelas kesalahan tertera di sana....
"Kak! Angkara nggak bawa sarung tangan nih, Kak! Enaknya diapain, ya?!" suara cempereng Sofia, senior perempuan yang dikenal paling jutek, terdengar menggelegak di bawah pepohonan karet saat kami dibariskan untuk pemeriksaan barang bawaan.
"Nggak bawa sarung tangan?" Baruno, ketua timdis malam keakraban, mendekatiku. Ia dikenal sebagai alumni yang sangat s***s, jahat, dan tak menoleri kesalahan Siapa pun. "Kenapa nggak bawa sarung tangan?"
Kepalaku terangkat membalas pandangan Baruno yang bertolak pinggang. "Lupa."
"Lupa?" Ia tertawa pendek, lantas mencoret belakang punggungku yang terpasang papan kesalahan. "Lain kali kupingnya yang ditinggal, ya."
Di barisan belakang, Adeeva menggigit bibir samar. Aku memberi kode padanya agar diam dan tak ikut campur. Ranselku kembali digeledah.
"Nggak bawa kerpus juga ya?" Sofia berdecak. "Apa sih dek yang ada di pikiran kamu? Catat, Kak!"
Lagi-lagi papan kesalahanku dicoreti. Alumni lainnya datang menghampiri. Aku seperti terdakwa yang sedang disidang di meja hijau. Mereka mengerumun jadi satu, memutariku.
"Kita lihat di antara yang lain, kamu yang paling bandel," seorang alumni perempuan merendahkan nadanya yang datar. "Kenapa? Kok diem? Bukannya kamu yang suka ngebantah senior pas ospek fakultas, ya?"
"Oh ... ini Angkara Devanagari yang suka ngebantah senior? Kok sekarang cupu? Kenapa, Dek? Nggak berani gara-gara nggak ada Ananta, ya?"
Aku masih terdiam. Kubiarkan mereka memaki-maki dan meneriakiku di tengah hutan karet di hadapan peserta malam keakraban. Bukan, bukan nyaliku ciut. Bukan karena Ananta tak ada di sini. Aku sih peduli setan mau dibela atau tidak. Toh aku bisa membela diriku sendiri. Masalahnya, aku sedang tak berminat membantah karena memang kesalahanku tak membawa perlengkapan. Lebih tepatnya, menyerahkan perlengkapanku pada Adeeva. Ia tak membawa sarung tangan dan kerpus. Karena kasihan, maka kuberikan punyaku.
"Kok cupu gini, sih? Mana nih jiwa pemberontaknya?" Sofia tertawa mengejek.
"Jawab woy! Ditanya tuh jawab!" Baruno meninggikan nadanya sampai membuatku berjengit kaget. Baru kali ini aku dibentak lebih keras daripada masa-masa ospek fakultas.
"Mau jawab apa emangnya?" tanyaku.
"Lah malah balik nanya. Nggak denger, Dek? Tadi ditanya kakak-kakak, kenapa nggak bawa sarung tangan dan kerpus?! Kalau begini, siapa yang bakal nolongin kamu waktu malam? Di sini dingin loh." Alumni lain berdecak.
"Ayo, di antara kalian ada nggak yang mau bantuin temennya?" Cowok berambut gondrong mengangkat tangan. "Mana nih, kok nggak ada yang mau bantuin temennya sih? Temenmu nggak bawa sarung tangan sama kerpus. Nggak punya perasaan ya kalian. Nggak ada yang mau sumbang Angkara?"
"Saya bisa tahan dingin."
"Wew, hebat banget," Baruno mencemooh. "Angkatan apaan, nih? Masa temen sendiri nggak ada yang ngorbanin barang bawaannya buat dia?" Baruno tertawa sarkastis.
Salah seorang temanku berdiri dan mengangsurkan sarung tangannya. Lantas, diikuti teman lain yang ikut-ikutan mengangsurkan barang bawaan mereka. Aduh ... rasanya aku ingin menangis terharu. Sayangnya kalau menangis terharu, ekspresiku tak akan bisa keren. Aku tak boleh menangis dulu. Kusimpan saja air mataku dan tetap mempertahankan ekspresi keren.
"Nggak usah. Saya bisa tahan dingin kok. Teman-teman pakai saja ya."
Dan karena aksi sok heroikku itu, aku harus menanggung akibat. Di tengah malam saat panitia membangunkan kami untuk melakukan jelajah malam, aku satu-satunya mahasiswa yang tidak membawa sarung tangan serta kerpus. Awalnya telapak tanganku tidak kedinginan. Telinga juga bisa kusiasati dengan mengurai rambutku yang panjang sampai menutupi telinga. Berulang kali kususupkan telapak tangan pada saku jaket. Sampai di tengah jalan, aku benar-benar kedinginan. Di pos tiga, aku sesak napas.
"Eh, Anggi kenapa tuh."
"Gi. Kamu nggak apa?"
Aku menyentuh d**a, berusaha mengatur napas. Pertanyaan teman-teman sekelompokku tak dapat kujawab. Dadaku terasa sesak.
"Anggi sakit, Kak!" Satya, si ketua kelompok, berseru kencang.
Sontak, panitia di pos tiga panik bukan kepalang. Mereka berteriak memanggil medis untuk menghampiriku.
"Jangan dikerubungi. Menjauh!" Tim medis berusaha menenangkan aku yang kesulitan bernapas. "Kamu punya asma? Nggak bawa inhaler?"
Aku menggeleng.
Tim medis yang menanganiku mencoba menghubungi rekannya dengan membawakan oksigen. Sedangkan pernapasanku sudah sangat sesak. Aku tak dapat menghirup udara apa pun. Aku meremas telapak tangan, mensugesti diri berkali-kali. Namun, semua sugesti yang kutanamkan gagal. Aku makin sesak.
"Kenapa dia?" Samar-samar di antara kesadaran yang mulai menurun, aku mendengar suara seseorang.
"Sesak napas, Bas."
"Kalian nggak bawa inhaler atau oksigen?"
"Di tenda medis. Kita nggak bisa bawa alat banyak kalau lagi jaga jelajah begini. Bawa ke tenda medis aja."
"Duuuh. Lain kali bawa peralatan yang lengkap! Kalau udah begini gimana, hah?! Minggir!"
Mataku berkunang-kunang. Aku tak bisa bernapas lagi. Aku jatuh detik berikutnya dan berpikir bahwa hidupku sudah tamat malam itu.
Sampai keesokan harinya, aku terbangun di sebuah tenda darurat dengan selimut menutupi tubuh. Sarung tangan terpasang di kedua tanganku. Leherku dibelitkan syal yang lebih tebal. Di sebelah, kulihat Adeeva yang memandangiku dengan raut wajah cemas. Ia menggenggam telapak tanganku.
"Anggi ... kamu udah bangun. Maafin aku, Gi. Gara-gara aku, kamu hampir aja mati." Matanya berlinangan.
"Nggak usah lebay deh, Div," bisikku parau. "Nih, aku masih hidup."
"Kalau nggak dikasih pertolongan pertama sama Kak Sabas mungkin kamu nggak akan bangun, Gi."
Spontan, aku menoleh ke arahnya. "Hah?"
Adeeva mengangguk. "Dia yang kasih napas buatan pas kamu pingsan dan nggak napas."
"HAH?!" Aku praktis terjengkang duduk.
*****
Student Center (SC) = tempat berkumpul semua organisasi. Ada dua jenis SC, di fakultas dan di universitas (umum).
BSO = Badan Semi Otonom. Semacam ekstrakurikuler di lingkup fakultas. Sedangkan di lingkup universitas (umum) disebut Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
HMD = Himpunan Mahasiswa Departemen. Organisasi intra kampus yang mengatur kegiatan departemen/jurusan.