Vespa

3143 Words
Sampai sekarang aku heran. Bagian mana yang menarik dari bocah songong yang berlindung di balik statusnya sebagai ketua HMD itu. Ia selalu tebar pesona di hadapan junior. Seperti sekarang, saat departemen sibuk mengadakan pemilihan ketua HMD baru dan melakukan perhitungan suara. Ia meladeni junior-juniornya mengobrol secara intens. Gi, ngobrol doang mah bukan berarti tebar pesona, malaikat di atas pundakku meledek. Pokoknya sama aja. Apa pun yang dilakukan dia terhitung sebagai kesalahan di mataku. Termasuk kejadian malam keakraban tahun lalu. Dia kan nggak perlu kasih napas buatan, elah. Aku jadi ngerasa bibirku nggak perawan lagi. Bagaimana nasib calon suamiku nanti?! Aku mengomel dalam hati. Ya ampun, Gi. Itu kan darurat. Daripada kamu mati di sana? Lagi-lagi si malaikat mendesah. Aku membencinya sejak ospek fakultas karena ia yang sering menjatuhkan hukuman padaku. Sejak itu pula aku berasumsi ia menandai namaku sehingga membuat senior-senior mencincangku habis-habisan di ground malam keakraban. "Jangan lupa nanti malam rapat malam keakraban loh!" Tepukan di pundak sontak mengalihkan perhatianku dari kesibukan pemilihan ketua HMD baru. Aku mendapati komting angkatanku, Prapto, saat menoleh ke belakang. Ia berjalan seorang diri menuju ruang dosen. Seandainya dosen wali angkatanku tidak memberi ancaman dengan mengurangi nilai para mahasiswa, sudah pasti aku enggan mengikuti kepanitiaan malam keakraban untuk angkatan bawah. Teman-temanku awalnya sepakat mogok mengikuti kepanitiaan malam keakraban lantaran tak pernah sependapat dengan komting kami yang sewenang-wenang. Sialnya, Prapto justru mengadukan aksi mogok bersama kami pada para dosen wali yang berakibat fatal. Dari sanalah kami terpaksa mengikuti kepanitiaan bersama senior-senior lain. Bonus, memusuhi Prapto. "Dasar komting nggak tahu diri! Siapa yang milih dia jadi komting pas malam keakraban angkatan kita dulu, hah?! Tahu gitu dulu milih kamu, Gi." Lastri mendadak muncul dan merangkulku sok akrab. Di samping kiri, Adeeva mengekori langkah kami keluar fakultas. "Aku nggak ikut-ikutan milih dia loh waktu itu," kataku. "Kan kamu juga ikutan, Sul," sahut Adeeva yang spontan membuat Lastri memanjangkan leher melongok ke arahnya. "Sal sul sal sul. Jangan kebiasaan manggil Sul deh, Div. Geli gue. Macem manggil bisul aja lo." "Nama kamu kan Sulastri. Emang salah manggil kamu Sul?" "Aduh ... berisik kalian berdua." Aku mengacak-acak rambut gemas. "Nggak usah ngomong gue-elo deh, Las. Aku juga geli. Nggak pantes kamu ngomong gue-elo di Surabaya. Medok Mojokertomu nggak bisa nipu." "Bodo amat dah." "Kalian kenapa ngikutin aku sih?" Aku mendesah. Lastri menjauhkan tangannya dariku. "Kita kan sama-sama mau ke perpustakaan buat ngerjain tugas Bu Desi." Kuketuk dahi frustrasi. Padahal aku tak berminat berjalan bertiga begini. Selain tidak mau dianggap memiliki geng trio, juga sedikit risih diapit dua orang. Walaupun dari semua teman seangkatan hanya Adeeva dan Lastri yang lebih sering berkelompok denganku di setiap mata kuliah, aku tidak suka berteman terlalu akrab dengan orang lain. Bersama-sama, kami memasuki perpustakaan pusat yang tidak pernah lengang pengunjung. Setelah mengambil satu kunci loker yang kami gunakan bersama-sama, kami segera melewati palang masuk dan naik ke lantai tiga untuk mencari buku sebagai sumber referensi tugas kelompok. Kalau tidak ada tugas kelompok seperti ini, aku pasti tak akan mau jalan bertiga dengan mereka. "Kita nyebar buat cari bukunya, ya. Eh, Adeeva yang jagain laptop aja, deh," ujar Lastri sebelum enyah dari hadapan kami ditelan rak-rak buku. Menuruti perintah Lastri, Adeeva duduk di salah satu bangku, membuka laptop menunggu kami. Aku tidak benar-benar mencari buku referensi, melainkan mencari buku lain yang sekiranya asyik dibaca di indekos. Karena menyukai dunia psikologi, aku menghampiri rak di sudut timur. Jemariku menyibak buku-buku, mencari judul yang menarik. Di celah-celah buku, aku menemukan mata seseorang. Menyadari tatapanku, ia menyibak buku di depannya. "Devana." Astaga ... pantas saja mataku tak berpaut darinya. Sinyal-sinyal Cupid ternyata mengantar kami bertemu di perpustakaan ini. Senyum muncul di bibirku bagaikan bulan sabit. "Hai, Mas. Lagi cari buku apa?" "Lagi iseng-iseng aja nyari bacaan bagus." Aku mengambil secara asal salah satu buku dan memutari rak menghampirinya. "Oh ... mau aku bantuin cari, nggak?" "Kamu udah dapat?" "Udah. Nih." Aku menunjukkan buku yang kupungut asal-asalan: Understanding Human Sexuality by professor Shibley Hyde. Sadar buku apa yang kupegang, segera kusembunyikan buku itu di belakang punggung dengan wajah syok. Iblis di atas pundakku cekikikan bersama si malaikat yang mengetukkan tongkatnya ke kepalaku. Ananta tertawa kecil dan menggeleng-geleng. "Kamu punya rekomendasi buku yang bagus?" Mengembalikan buku yang kupegang ke rak asal-asalan, aku bergerak ke samping mengikuti langkah Ananta. Menengadah, aku melihat beberapa baris judul yang menyita perhatian. Aku berjinjit berusaha menggapai salah satu buku. "Itu kayaknya bagus," kataku, masih berusaha menggapai. "Biar aku aja." Tanpa menghilangkan senyum malaikat sialannya, Ananta meraih buku yang kumaksud. Ia mengangguk-angguk membaca judul buku itu. "Hm ... boleh juga. Kebetulan lagi kepo sama teori kepribadian nih." "Kalau udah baca nanti sharing sama aku ya." "Beres." Dari arah barat, Kirana berjalan mendekat. Radar negatifku berfungsi seperti bunyi alarm darurat di kepala. Kedua alisku praktis menyatu melihat wajah sok cantiknya. Dia emang cantik, Gi. Nggak usah mungkir, si malaikat mencoba menyadarkanku. "Aku nggak nemu bukunya. Kita cari di perpustakaan daerah aja." Mata Kirana berpindah menuju ke arahku. "Eh, Anggi." Menyebutkan namaku, sebelah alisnya terangkat mencemooh. "Kalau begitu, kami balik dulu ya, Dev." Ananta mengangkat tangan berpamitan padaku. Ia dan Kirana berjalan berdua seperti sepasang sejoli yang dimabuk cinta meninggalkan tempat ini. Bibirku mengerucut ke depan. "Woy! Dicariin malah mager di sini. Ayo ngerjain." Lastri menyenggol bahuku. Kami kembali ke tempat duduk. Adeeva sudah melarikan jemarinya yang lentik ke keyboard. Sejak pertemuanku dengan Ananta baru saja, pikiran warasku terbawa angin. Tak henti-hentinya aku tersenyum sendiri seperti orang gila. "Ngapain sih kamu senyum-senyum nggak jelas?" Lastri menyadari kesintinganku. "Tadi aku abis ketemu Mas Ananta. Ganteng banget, sumpah." Praktis, kubungkam mulutku menggunakan telapak tangan. Aduh, bodoh! Selain anak-anak indekos, tak ada yang tahu aku tergila-gila setengah mampus pada Ananta. Kini, baik Adeeva maupun Lastri sudah tahu rahasia hatiku yang terdalam pada senior ganteng itu. Aku mengetuk dahi berkali-kali, sementara Adeeva menahan tawanya. "Dih, naksir mantan presbem hukumnya haram, Gi," tutur Lastri. "Banyak yang ngantre jadi pacarnya." "Tapi nggak ada yang berhasil ngambil hatinya tuh. Dia juga baik sama aku," kataku menyombongkan diri. "Ya elah ... Mas Ananta mah emang baik ke semua orang. Nggak usah baper deh lo." Aku sangat tidak terima dibilang baper. Meskipun, sebenarnya iya. Tapi hubunganku dengan Ananta bisa dibilang lebih baik daripada penggemar-penggemarnya yang lain. Selain sering menolongku dari hukuman saat ospek, ia juga mengikuti akun media sosial, menyukai foto di i********:, dan mengantarku pulang. "Jangan gitu, Sul. Kan Mas Ananta dulu suka belain Anggi di depan senior. Banyak yang envy sama dia loh." Adeeva memberikan senyuman jahil. Aku mengacungkan jempol. "Cuma gitu aja baper. Kubur mimpi lo dalam-dalam deh. Dia dan Kak Rana lagi deket tuh." "Kan deket nggak berarti jadian," aku masih ngotot. "Ya sama kayak lo. Deket nggak berarti dia suka." Sialan! Bibirku mengerucut tidak senang. Melihat ekspresi kesalku, Lastri terbahak-bahak. Tak butuh waktu lama bagi penjaga perpustakaan melemparkan sebuah tipe-x ke kepalanya sampai membuat ia mengaduh. Penjaga perpustakaan yang dikenal sangat galak dan tangkas memelototkan mata di mejanya. "Kalau berisik keluar sana!" bentaknya. Mulut kami terbungkam sepanjang mengerjakan tugas. * Tempat pertemuan sudah ramai oleh calon panitia malam keakraban. Bersama Adeeva dan Lastri, kami duduk di barisan paling belakang. Elisa selaku ketua umum malam keakraban membuka rapat pertama dengan suara lantang. "Teman-teman mohon perhatiannya. Kan tadi siang kita udah melaksanakan pemilihan ketua HMD baru dan udah menghitung polling suara. Kita beri sambutan dulu nih buat ketua HMD yang baru yang mana kegiatan malam keakraban tahun ini adalah projek besar pertama dia." Suara tepuk tangan terdengar riuh. Seorang senior laki-laki yang tak begitu kukenal maju ke depan memperkenalkan diri dan memberi sambutan. Aku tidak terlalu memedulikan sambutannya yang membosankan. Masa bodoh siapa yang menjadi ketua HMD tahun ini. Setidaknya, Sabas sudah turun jabatan dan tidak lagi menggunakan statusnya untuk menyombongkan diri. "Sabas ikutan malam keakraban nggak sih?" Tidak jauh di sebelah, aku mendengar bisik-bisik teman-teman seangkatanku yang tidak begitu kukenal. "Pasti ikutan deh. Kalau nggak ikut mah aku nggak bakal ikut panitia. Bodo amat kalau nilai dikurangin." Bola mataku berputar. Ingin sekali kutegur mereka agar tidak berisik dan membuat forum di dalam forum. Mulutku yang terbuka hendak menegur praktis terbungkam saat beberapa gerombolan senior bergabung ke dalam forum. Teman-teman seangkatanku yang tadi berisik semakin berisik dengan jeritan tertahan. "Eh ya ampuuun. Baru aja diomongin orangnya muncul." "Subhanallah. Aku deg-deg-an =." "Gemes banget, ya Allah. Kenapa ada cowok seganteng itu, sih? Sebel aku nggak bisa milikin dia." Lain halnya dengan mereka, reaksiku berbeda. Sudut bibirku terangkat melihat segerombolan senior yang sama songongnya seperti Sabas. Di samping, Adeeva menyenggol bahuku, tahu bahwa aku dan ia terlibat pertikaian sengit yang tak akan bisa dihindarkan tiap bertemu. "Ngapain si k*****t ikutan kumpul, sih? Bikin darah tinggi aja ngelihatnya," dengusku sebal. "Jangan gitu deh, Gi. Kan dia dulu pernah nyelamatin hidup kamu." "Idih! Nggak usah bahas-bahas itu lagi deh, Div! Geli!" Adeeva tertawa cekikikan. "Heran deh, kenapa kamu benci banget sih sama dia?" Sabas sudah berlaku sewenang-wenang saat ospek fakultas dan membuatku sengsara. Rasanya, tak ada kesempatan bagiku lolos dari terkamannya. Selama tiga hari penuh! Aku mulai mengingat lagi kejadian ospek.... "Ngapain kamu cengar-cengir sendiri?" Di hadapanku, Sabas berdiri melipat tangan. Aku yang duduk di samping teman sekelompok sontak menengadah, mengalihkan pandangan ke arahnya. Teman sekelompokku menunduk tak berani membalas tatapan mengintimidasi salah satu timdis. "Cuma senyum kok, Kak. Emang nggak boleh?" tanyaku pada saat itu. Tentunya dengan nada polos. "Seneng ya ngelihat teman-teman lainnya dihukum?" Aku menggeleng. Padahal aku nyaris meledakkan tawa melihat teman-teman dari kelompok lain yang dihukum di depan dengan menyanyikan lagu dangdut sambil berjoget. "Maju." Sabas mengedikkan kepala memberi kode padaku. Aku menunjuk diri sendiri. "Iyalah kamu. Maju." "Aku kan nggak melakukan kesalahan, Kak." "Kamu menertawai teman kamu yang kena hukuman. Solidaritas macam apa tuh? Ayo maju. Ikut nyanyi sama yang lain." Astaga. Kalau saja tak kuingat sedang di mana aku saat ini, sudah kutendang ia. Ini tak adil! Tertawa kan reaksi yang lumrah. Asumsiku berkata ia sengaja menandai namaku sejak ospek hari pertama, ketika bantahanku pada timdis yang diakibatkan warna pita tak sesuai bendera fakultas menambah kegentingan di jam pressing. Daripada menimbulkan keributan, aku maju ke depan dan bergabung bersama teman-teman yang terkena hukuman. Hari kedua ospek fakultas aku benar-benar menjadi bahan tertawaan sefakultas. Berengsek memang. Hari ketiga adalah hari pengukuhan. Hari ini pula menjadi puncak pressing. Secuil kesalahan yang dilakukan mahasiswa baru akan dicatat dan dijadikan bahan inisiasi. Sebagai mantan anggota OSIS dan Dewan Ambalan yang pernah melakukan diklat, aku sudah hapal skenario macam itu. Di sini, aku menjadi bulan-bulanan senior karena kesalahanku sangat banyak. "Siapa yang menulis surat ini?" Kirana menenteng secarik surat yang menjadi tugas terakhir mahasiswa baru. Tak ada yang berani membuka suara. Tentu saja tak ada yang berani mengakui tulisannya sendiri karena aku yakin surat-surat yang ditulis mereka bisa menghabisi diri mereka sendiri. "Mentang-mentang nggak usah nyantumin nama, kalian bisa ngehina panitia ospek?" si ombre berteriak memamerkan secarik kertas. "Siapa yang nulis surat ini juga? Buat Kak Belinda, rambutnya kayak sapu ijuk dicelupin cat. Kurang ajar banget yang nulis." Aku menyemburkan tawa. "Siapa itu yang ketawa?!" teriakan seorang senior laki-laki menyentakku. Sial. Buru-buru kuubah raut wajahku dan menyembunyikan wajah di balik badan besar ketua kelompok. "Siapa yang suruh kamu ketawa?" lanjutnya. "Kamu lagi, kamu lagi. Nggak bosen bikin masalah tiga hari ini, hah?" Sabas menepuk pundakku. "Cari surat kamu dan baca keras-keras di depan teman-temanmu." Aku memberengutkan wajah diminta maju ke depan, mencari-cari surat di dalam kantong besar. Kukorek-korek tumpukan amplop di dalam sana. Dalam hati aku berharap surat itu tidak ketemu. "Cari sampai ketemu, cepetan," Sabas menuntutku bergerak cepat. "Nggak ketemu." Sabas menyambar kantong surat itu untuk dikeluarkan semua isinya. Ia mengacak-acak tumpukan kertas di depanku agar dapat kutemukan amplop berisi suratku. "Buat siapa surat kamu?" tanyanya. Mampus sudah. Aku tak mungkin mengatakan di depan semua orang bahwa aku menulis surat untuk Ananta. Apalagi isi surat itu adalah surat cinta yang kubuat dari lubuk hati paling dalam. Dari kejauhan, aku melihat Ananta mengawasi jalannya inisiasi. Senyumnya memberikan suntikan semangat untukku. Aku memutar otak agar bisa lolos dari tindakan memalukan ini. Mau ditaruh di mana wajahku jika seluruh warga fakultas ini tahu aku naksir Ananta? "Kalau ditanya orang jawab!" bentaknya. "Buat kakak-kakak panitia." Aku mengambil asal-asalan surat yang ditujukan untuk seluruh panitia. "Baca." Semoga saja isinya tidak lebih mengerikan daripada surat cintaku pada Ananta. Aku membuka amplop, menarik secarik kertas dan membukanya. Barisan kata bertuliskan cakar ayam khas laki-laki terpampang di hadapanku. "Untuk kakak-kakak panitia ospek, terutama anggota timdis yang galak." Aku berhenti sebentar. Mampus. Isinya ternyata lebih parah daripada suratku. Aku menelan ludah tidak berani melanjutkan. "Kenapa nggak dilanjut? Buruan." Sabas mulai tak sabar. "Untuk Kirana yang cakep tapi lebih galak daripada Mama. Lain kali nggak usah teriak, Mbak. Suaranya cempereng." Mendengar namanya disebut, Kirana membulatkan mata. Tampak tak terima. "Untuk Belinda yang rambutnya kayak ketumpahan cat tembok. Gayamu nggak banget deh, Bel. Nggak usah sok-sokan ngikutin Kylie Jenner kalau jatuhnya malah mirip biduan pantura." Si ombre mengernyitkan dahi dan mengangakan mulut. "Untuk Dika yang cungkring, banyak-banyakin makan, Mas. Nanti kalau ada angin topan Mas bisa kehempas dan ilang...." Ini surat apaan, sih? Perasaanku makin tak enak. "Untuk Rahajeng yang bodinya segede gaban. Itu paha apa pentungan raksasa?" Aku menoleh sekadar memeriksa ekspresi para anggota timdis. s**l. Aku akan dihabisi setelah ini. "Untuk Ben yang dandanannya macam preman. Nggak usah pasang tampang sok sangar." Perutku bergolak menyakitkan. "Untuk Sabasnash. Nggak usah belagu dan sombong jadi orang. Kalau jalan dagunya nggak usah tegak. Sekali-kali nyapa orang, jangan songong, deh." Bola mataku bergerak ke arah Sabas yang mulai menampakkan raut wajah murka, sama seperti anggota timdis lainnya. Kalau tahu begini, aku lebih baik membaca surat cintaku untuk Ananta. "Angkara Devanagari," Sabas mengeja nama panjangku dengan nada datar. "Benar kamu yang nulis itu?" Seluruh timdis mengerumun mengelilingiku. Lututku seperti jeli. Aku tak bisa menelan ludah seolah ada duri di kerongkongan. Aku tak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilempar padaku. Sebab memang bukan aku yang menulis. Aku hanya mencari jalan aman yang ternyata menjerumuskanku pada lubang parit. Rasanya ingin kubenturkan dahi pada dinding. Ingatan tersebut buyar saat bahuku disenggol Adeeva yang menyorongkan kertas absen padaku. Namaku diletakkan di kotak seksi acara. Tunggu, acara? Siapa yang merekomendasikan namaku agar dimasukkan ke dalam seksi acara? Aku menandatangani kertas absen dan menggesernya ke samping. Rapat berjalan cukup lama hingga larut malam. Kali ini Adeeva memberikan tumpangan motor sehingga aku tak perlu menunggu jemputan anak-anak indekos yang barangkali sudah molor atau mencari taksi. Kutunggu ia mengambil motor di parkiran. Di sebelah, Lastri mengutak-atik ponselnya. "Eh, lo ikutan gue dugem, nggak? Dapat gratisan masuk klub nih dari temen gue," ajaknya. "Nggak, deh." "Yailaaah. Sekali-kali refreshing biar nggak sumpek. Kalau lo pengen gabung kapan-kapan, WA gue, ya." Aku mengedikkan bahu. Lastri melambaikan tangan berpamitan saat pacarnya datang menjemput dengan motor. Aku balik melambaikan tangan, melihatnya menghilang di kegelapan. Kutengok jam tangan, melihat jarum pendeknya yang menunjuk angka sepuluh. Adeeva muncul dengan motor matic. "Yuk." Aku naik ke motor. Ia melajukan motor menyusuri jalanan kampus yang sudah gelap. Baru beberapa meter, motor Adeeva berhenti mendadak. Kudengar desahan frustrasinya. "Loh, bensinku abis." "Yah ... terus gimana nih?" Turun dari motor, aku celingukan, tidak menemukan siapa pun yang bisa dimintai bantuan. "Gimana, ya? Pom bensin jauh banget. Nggak mungkin kita dorong sejauh itu. Ini masih di kampus, lagi." "Eh ... ada dedek-dedek cantik." Perhatian kami spontan beralih menuju ke belakang, di mana terdapat dua motor mendekati kami. Praska dengan vespa butut maju lebih ke depan. Dari kegelapan, motor yang lebih besar muncul, membuat cairan di lambungku sontak naik ke kerongkongan. "Bas, ada dedek gemesmu, nih." "Bacot." Aku melengos. "Kenapa, Dek?" tanya Praska pada Adeeva yang menggaruk kepala. "Motorku kehabisan bensin, Kak. Kita nggak bisa pulang, nih." Adeeva memasang tampang memelas. "Oh ... ya udah, kita antar pulang, ya. Motormu nanti biar dibawa temen-temenku sampai tempatmu. Gimana?" "Boleh." "Yo wis, Bas. Kamu antar Anggi, deh." "Ogah, ah!" aku berseru cepat. "Nggak, nggak. Mending yang lebih cakep." Sabas menunjuk Adeeva yang menaikkan kedua alis terkejut. "Ayo." Sialan.Ya ... memang benar, sih. Kalau tidak cantik, Adeeva tidak akan menang kontes busana di acara festival budaya tahun lalu. Tapi, tetap saja yang dikatakan Sabas sangat kurang ajar. "Nggak apa nih, Mas? Jadi ngerepotin." "Nggak apa, dong. Biar tahu tempat tinggal kamu. Kalau kapan-kapan main kan enak, nggak usah nyari-nyari lagi." Sudut bibirku naik. Adeeva memandangku, wajahnya kelihatan senang saat menaiki motor sport Sabas. Mereka berlalu lebih dulu meninggalkan aku bersama Praska dan vespa bututnya. "Tahu gini aku cari taksi aja," sungutku. Praska menuntun motor Adeeva sampai di gazebo. Ia menitip pesan pada teman-temannya untuk menjaga motor itu sampai diambil kembali dan diantar ke rumah Adeeva. Barulah ia kembali lagi mendekatiku. "Kok cemberut gitu, sih? Nyesel nggak bisa ditebengin Sabas?" "Bisa diem, nggak? Bacot." Suara tawa cekikikan Praska sangat mengganggu. Aku naik ke vespanya tanpa membuang ekspresi memberengut. Ia menjalankan vespa bututnya sangat pelan dan menimbulkan suara yang cukup berisik. Saking pelannya, dibutuhkan bermenit-menit agar sampai di gerbang pintu keluar. Aku mendesah panjang. "Kok lama, sih?" "Namanya juga vespa lama, Gi. Sabar. Yang penting sampai. Tadi disuruh bareng sama Sabas nggak mau? Motornya lebih bagus dan cepet loh. Mungkin sekarang udah sampai di rumah temenmu." "Lebay, deh." Aku meniup poni ke atas. "Indekosku di kompleks Karang Menur. Jangan lama-lama, aku udah ngantuk nih." "Sabar, elah." Vespa Praska yang berisik masih sepelan siput dan mengganggu pejalan kaki yang kami lewati. Aku menghela napas panjang, menanti keajaiban membawa vespa ini bisa secepat jet tanpa tragedi diangkut satpol PP saking mengganggunya. Melewati toko kue, pikiranku melalang buana. Aku melihat kue pernikahan berukuran tinggi yang dipampang di etalase windows display. Tiba-tiba, aku merasa kosong. Sayup-sayup, terdengar keriuhan di telinga, yang dibuntuti dengan sepenggal bayangan yang muncul dari peraduan. Sekitar delapan tahun lalu, ketika toko kue yang dikembangkan Mama masih berjaya, aku melihat diriku yang berusia sebelas tahun sibuk menjilati krim tart. Sedang, Mama terlihat mondar-mandir mengatur koki-kokinya yang mengerjakan sebuah tart pernikahan. "Hiasan yang itu jangan taruh di sini. Menghancurkan estetika." Mama mengatur ulang hiasan yang dipasang salah. "Marseille! Nih anak ke mana, sih?" "Iya, Ma." Kakak perempuanku, Marseille, berlari kecil menghampiri Mama. Rambutnya dikotori krim putih. "Kamu ikut ke mobil pengantar kue, ya." Perhatian Mama berganti menuju ke arahku. "Astaga, Kara! Itu kue buat pesta pernikahan, jangan dimakan!" "Enak sih, Ma." "Tetap saja tidak boleh!" Mama menarik tanganku menjauhi meja berisi tart yang ukurannya lebih kecil, lalu menuntunku ke belakang untuk membersihkan sisa-sisa krim yang menempel di badanku. Ia membungkuk agar dapat melihat ke dalam sepasang mataku. "Tart dibuat untuk sebuah perayaan yang membahagiakan. Estetikanya juga tinggi. Kalau kamu berantakin kayak tadi, estetika tart tidak akan sama seperti semula. Lihat, gara-gara kamu, Mama harus bikin ulang. Pelanggan bisa marah kalau begini." Ia menyingkirkan rambut di sekitar wajah. Ditatapnya aku lagi. "Jangan diulangi lagi. Paham?" Seiring bergulirnya waktu, aku mulai memahami maksud dari kalimat itu. Mama selalu memegang filosofi setiap kue yang dibuatnya. Seperti halnya tart pernikahan. Aku telah merusak salah satu tart perayaan kebahagiaan seseorang. Sekarang, karma sedang berbalik menyerangku. Menyerang kebahagiaan keluargaku. ***** Komting = penghubung mahasiswa dengan dosen (kayak ketua kelas)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD