bc

Boot, Poem, and a Piece of Cupcake

book_age12+
360
FOLLOW
3.4K
READ
love-triangle
badboy
goodgirl
like
intro-logo
Blurb

Dunia mengurung Angkara Devanagari bersama dua pria yang memiliki pesona sebagai mantan Presiden BEM dan ketua Himpunan Mahasiswa Departemen.

Sayang, dunia tidak membiarkannya memiliki kedua cowok ganteng itu. Sebab yang satunya sudah punya pacar, sedangkan yang satu lagi berengsek.

1% realita, 49.5% imajinasi, dan 49.5% ekspektasi.

chap-preview
Free preview
Prolog
Tik... tik... tik... Aku menghitung setiap detik dengan detak jantung. Memandang ke kanan dan kiri, kuperhatian teman-teman yang berulang kali menguap. Rasanya bukan aku saja yang bosan setengah mampus di kelas ini. Teman-teman yang menghadiri kelas ini pun sudah teler di atas meja, sedangkan dosen yang menerangkan mata kuliah Ekologi Sastra sibuk bercerita ngalor-ngidul. Kujatuhkan dagu di atas meja, menatap lurus pada dosen yang usianya sudah memasuki kepala lima. "Waktu saya masih kecil, saya punya teman. Anggap saja namanya Sari. Dia itu kembang desa. Anaknya cuantiiiiik sekali. Dulu saya pernah suka sama Sari. Saya pernah mengirim surat cinta buat Sari, saya masukkan ke dalam botol, terus digantung di pohon depan rumahnya." Bola mataku terputar. Aku menghela napas panjang berkali-kali. Sementara Pak Sukamto menceritakan kisah masa kecilnya panjang lebar, kawan-kawanku yang bisa dihitung dengan jari sudah tertidur di kelas. Sekitar sepuluh mahasiswa mendaftarkan namanya di kelas ini, tapi setiap pertemuan, aku hanya menemukan tiga sampai lima mahasiswa. Sisanya, seperti biasa, menitip absen pada yang lain. Seandainya Bening tidak menceritakan kekonyolan Pak Sukamto saat mengajarnya di semester kemarin, aku tak akan mau memasuki kelas membosankan ini. Sebenarnya aku sedikit berbelas kasih lantaran tak seorang pun mendengarkan celotehannya yang selalu keluar dari materi. Saat ia menjelaskan tentang dampak kerusakan lingkungan, ia langsung memotong topik dengan bercerita tentang masa lalunya. Seperti sekarang, saat ia memberikan materi tentang kajian Holistik, ia justru membawa kami menyelam kembali ke dalam kenangannya yang menurutku amat sangat tak ada pengaruhnya bagi kelangsungan nilai kami. "Padahal saya ini orangnya sangat penurut..." Ya Gusti selamatkan aku dari sini! Pada akhirnya, aku memilih ikutan tidur di kelas. * Pembaca, ijinkan aku menggunakan kesempatan menulis di bagian prolog dengan memperkenalkan diriku. Namaku— "Angkara Devanagari." "Ya?" "Saya belum menerima tugas Kajian Budaya Urban kamu. Tolong segera dikirim ke email saya." "Baik, Bu." Nah, kau sudah mengetahui namaku dari dosen wali yang baru saja berpapasan denganku di koridor fakultas. Teman-temanku di sini cukup memanggilku Anggi atau Kara. Namun tak sedikit yang memplesetkan namaku menjadi Angkringan. Dan aku benci itu. Di kampus ini aku tak punya banyak teman dekat. Maksudku, sahabat. Aku tidak pernah mempercayai konsep sahabat. Aku berteman dengan siapa saja, yang penting tidak merugikan dan tidak hanya datang saat butuh. Aku belajar di departemen Sastra Indonesia, departemen yang menurut orang tidak menjanjikan masa depan cemerlang. Haha. Dari banyaknya ilmu kesastraan, aku menambatkan hati di ranah Sastra Indonesia. Mengapa bukan Sastra Inggris, Jepang, Prancis, Belanda, Rusia, dan lainnya yang lebih keren? Jawabannya sangat sederhana. Aku hanya fasih berbahasa Indonesia. Meskipun dikatakan tak memiliki masa depan cemerlang, di fakultas inilah gudangnya tempatku menambah wawasan. Di sinilah aku sadar bahwa dunia tidak sesempit lubang hidung ibu kosku. Aku bertemu dengan berbagai macam manusia. Termasuk cowok ganteng penghuni departemen Sastra Inggris yang sudah menarik hatiku sejak kali pertama kuinjakkan kaki di fakultas Humaniora. Si presbem fakultas yang dikenal sangat ramah, terutama pada dedek-dedek gemes yang menyapanya. Untuk itu, kau harus ikut berkenalan dengannya. Namanya Ananta Senapati. Jika ada yang mengatakan bahwa namaku sangat indah, dialah orangnya. Satu-satunya penghuni kampus ini yang memuji namaku saat ospek tahun lalu. "Ngg..." Ananta menarik nametag yang tergantung di tubuhku. "Angkara Devanagari. Nama yang bagus." Dan ia menambahkannya dengan senyum simpul yang sukses membuat persendianku lemas. "Lain kali jangan terlambat ya, Dek." "Iya, Kak." "Silakan gabung ke kelompok kamu." Gigiku terbenam pada permukaan bibir bawah menahan diri untuk tidak tersenyum sumringah. Baru beberapa langkah, ia memanggilku lagi. "Devana." Aku menoleh sekadar memastikan bahwa yang dipanggilnya tadi adalah aku. Berbalik badan, aku menunjuk diri dengan tampang t***l. "Pita kamu tertinggal." Pita merah yang diberikan kakak panitia hari pertama ospek fakultas diulurkan padaku. Aku melangkah mendekat dan menerimanya. "Panggil saya Anggi saja, Kak." "Saya lebih suka panggil kamu Devana. Emang nggak boleh?" Jangankan Devana, panggil aku 'sayang' pun aku mau. Aku mengangguk mengubur bisikan t***l itu. Kusunggingkan senyum merekah. "Boleh." "Kamu punya riwayat penyakit apa kok dikasih pita merah?" Dahinya mengernyit penasaran. "Oh... nggak apa, Kak. Cuma penyakit biasa." Aku punya sindrom Stockholm level kronis, Kak. Mencintai walau tersakiti. "Penyakit biasa mah nggak bakal dikasih pita merah, Dek." "Asma biasa kok hehe." "Kalau begitu, minta keringanan kakak-kakak senior biar kamu nggak terlalu dikerasi, ya." Aku menggeleng. Enak saja. Justru kesempatan seperti ini akan kugunakan dengan sangat baik untuk menunjukkan kepalan tinjuku. "Ah, nanti dibilang manja. Lagipula aku nggak bakal melewatkan momen-momen ospek kayak gini loh. Kan sekali seumur hidup." Ia tersenyum. "Ya udah. Segera balik ke kelompok sebelum dibentak senior. Jaga kesehatan, ya." Ya Allah... aku baper. "Sekali lagi, makasih ya, Kak!" Tangan kulambaikan ke arahnya. Kukira ia tak begitu peduli dengan lambaian tanganku, tapi nyatanya ia membalas dengan lambaian pula. Sejak saat itulah aku menobatkan diri menjadi salah satu penggemar fanatiknya di fakultas ini. Sama seperti dedek-dedek gemes yang mengantre minta tanda tangannya di hari ospek sekaligus mencanangkan modus meminta nomor ponsel dan akun sosmed. Nah surga bagiku adalah saat kami satu kelas di mata kuliah Bahasa Inggris semester ini—di fakultas ini, hanya kelas Bahasa Inggris yang dicampur dengan departemen lain. Aku menemukan Ananta yang paling mencolok dengan kegantengan yang tak wajar di antara jubelan cowok klimis dan tak modis. Aku curiga ia hasil persilangan manusia dengan dewa, seperti yang k****a di kitab Mahabarata atau Ramayana. Sumpah, gantengnya itu loh, benar-benar tidak wajar. Pantas saja dedek-dedek gemes kampus ini tergila-gila dengannya, bahkan sering stalking akun sosmednya dan berakhir dengan kekecewaan karena ia jarang memposting fotonya. Aku bersyukur ia tidak suka narsis di depan kamera. Aku tak rela kegantengannya dinikmati seenaknya oleh perempuan-perempuan yang menggilainya. "Dev, hey, kita sekelas ternyata," katanya saat mata kuliah ditutup oleh tutor yang berasal dari Australia. "Loh, bukannya Kakak udah mendekati semester akhir? Kok ikut kelas ini?" "Oh... aku belum ambil." "Kenapa emang?" "Waktu itu dikirim student exchange ke Belanda." OMG. Seandainya aku hidup di film kartun, mungkin saat ini kedua mataku berbinar menampakkan gambar hati. Kami berjalan bersama keluar dari kelas. Bonus, beberapa cewek yang mendapati kami berjalan berdua memelototkan mata dan berbisik-bisik dengan kawannya. Dasar degem. Eh, aku bukan termasuk degem loh. Aku tak pernah mengemis-ngemis meminta nomor Ananta. Sampai sekarang bahkan kami tidak pernah bertukar nomor, kecuali hanya saling follow di jejaring sosial. "Keren dong bisa ke Belanda. Dari dulu aku juga pengen loh bisa dikirim ke luar negeri buat student exchange." "Dicoba aja. Nothing's impossible, Dev." Sebelah mataku mengkerut tak setuju. "Ada yang nggak mungkin kok, Kak." Misalnya memilikimu. "Misalnya mindahin monas ke Madagaskar." Ananta tertawa mendengar lelucon konyolku. "Dalam bermimpi, nggak ada yang mustahil. Asal ingat satu hal, mimpikan sesuatu yang realistis." Jantungku jumpalitan. Pesonanya sanggup menembus batas maksimal. Ini sudah di luar batas kewajaran. Aku tak ingin mengalami sindrom Stockholm untuk ke sekian kali. Apalagi jika ia memiliki pasangan dan memamerkan kemesraan di depanku. Rasanya sakit. Tapi menagihkan. Kenapa aku terdengar seperti bintang p***o? "Abis ini ada kelas apa?" tanyanya lagi. "Kosong sampai sore. Nanti jam tiga ada kelas." "Oh... aku duluan ya. Mau bantuin anak-anak di ruang BEM." Kirain ngajakin makan siang hahahahaha. Ekspektasi memang menyakitkan. Kami berpisah di hall lantai tiga. Aku hanya mengamati kepergiannya dari kejauhan. Kuraba jantungku yang masih berdebar. Sosoknya yang tinggi tegap lenyap ditelan kelokan. "Jangan ngalangin jalan orang, Babi." Bahuku ditepis seseorang secara kasar sampai membuatku mendesis. "Berengsek. Emang ini kampus mbahmu apa?!" Aku mengusap bahu berkali-kali. Alih-alih minta maaf, cowok berengsek yang baru saja menerjang bahuku berjalan gusar dengan ransel tergantung di salah satu bahu. Di prolog ini pula akan kuperkenalkan siapa musuh bebuyutanku di kampus. Namanya Sabasnash Baladewa. Senior kurang ajar yang tak pernah jera mencari gara-gara denganku. Kejadiannya cukup singkat sampai kupastikan bahwa aku meletakkan namanya di barisan teratas orang yang harus dimusnahkan dari kehidupanku. Namun tak akan kutulis penyebab kami saling angkat s*****a. Aku akan memberitahumu di bab berikutnya. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERSESAT RINDU

read
333.4K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Mas DokterKu

read
238.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

Fake Marriage

read
8.5K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook