“Nur? Lo seriusan mau masuk ke dalam?” Genta bertanya. Sesaat usai memastikan langkah sang sahabat mendekat ke arah pintu sebuah kamar.
“Iya. Udah, ah! Lo jangan ngintilin gue mulu. Mendingan lo cari Reksa. Udah tiga jam dia nggak nongol-nongol,” Danur menyahut.
“Tapi, Nur. Gue takut,” Genta bergidik ngeri. Melirik ke sana ke mari.
Bagaimana tidak, pemandangan di dalam hunian berukuran besar itu memang tampak menyeramkan. Menggambarkan sebuah bangunan tua, yang sudah berpuluhan tahun tak terjamah. Bahkan, tumbuhan lumut tak henti memenuhi sebagian besar dinding rumah.
“Ya udah. Kalau begitu, lo yang pastiin suara berisik di dalam kamar ini. Biar gue yang cari Reksa,” Danur berujar. Mengurungkan niat semula.
Issh!
Genta berdesis. Berkata, “Baiklah, baiklah. Biar gue aja yang cari Reksa.”
Sesaat usai Genta beralih dari posisi semula. Danur bergegas menggerakkan jemari tangan kanan untuk menggapai sebuah pegangan pintu.
Ceklek!
Ganggang pintu baru saja bersuara. Menampakkan sela sedikit terbuka.
Danur sengaja mendorong daun pintu tersebut secara perlahan.
Kri—
Kriet,
Daun pintu terbuka pelan. Menimbulkan bunyi khas pada bidang datar yang telah lama tak digunakan.
Hingga,
“ASTAGA!” Danur memekikkan suara. Menatap dua sosok yang tak pernah ia duga.
Jadi, yang gue lihat di balik jendela berwarna hitam itu, adalah sosok mereka?