Sinar matahari menyeruak masuk melalui tirai jendela. Violeta menutup mata dengan telapak tangan karena merasa silau. Perlahan matanya terbuka, ditatapnya seluruh ruangan yang sangat rapi dan mewah. Keningnya mengernyit, ia tengah berusaha mengingat apa yang telah terjadi.
Secepat kilat ia terduduk. Dipegang kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Bayangan ketika dirinya bertindak erotis di hadapan Bram, kini memenuhi benaknya. Wajah Violeta merona merah karena malu.
‘Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku sampai kayak gitu di hadapan Om piktor itu? Aduh … aku malu banget kalau kayak gini. Mau ditaruh di mana mukaku.’ Violeta merutuk dirinya sendiri di dalam hati. ‘Tapi … siapa yang ganti pakaianku? Ini aku pake kemeja siapa gede banget. Hah, jangan-jangan si Om piktor itu yang ganti pakaianku dan makein kemejanya ini. Waduh, berarti dia udah ngeliat semua body aku, dong!’
“Mama … Mama udah bangun? Yeee … horeee ... Mama udah bangun. Berlin kangeeenn banget sama Mama ….” Suara Berlin membuyarkan lamunan Violeta. Bocah kecil itu berlari ke arahnya, lalu memeluknya dengan erat.
Violeta dibuat syok dan hampir terjengkang, sementara Berlin terus saja memeluk sambil duduk di pangkuannya. Dia sedang bermanja-manja pada Violeta yang dianggap sebagai mamanya.
Bram yang sejak tadi memperhatikan tingkah Berlin, lalu segera mengambil alihnya, sebab keadaan Violeta masih belum begitu membaik. Ditambah lagi dia melihat raut wajah Violeta yang tak nyaman dengan tingkah sang putra, maka dia semakin merasa tak enak hati.
“Sayang, sini, Nak. Mama lagi kurang enak badan, jadi kamu gak boleh gangguin Mama, okey?” Bram menggendong Berlin.
Mata Violeta membola mendengar Bram yang ikut-ikutan memanggilnya dengan sebutan mama. Rasa kekesalannya semakin menjadi, sebab ayah dan anak sama gilanya.
Dia cemberut menahan kesal. Kekesalannya kian bertambah di kala melihat tatapan Bram yang tak luput dari tubuhnya, sehingga matanya ikut melihat tubuhnya sendiri. Sejak tadi Violeta sudah menyadari bahwa pakaian yang sekarang melekat di tubuhnya bukanlah pakaiannya, melainkan kemeja Bram.
'Mana gaunku? Kenapa juga Om piktor itu ngeganti gaunku pake kemeja dia. Pasti dia happy banget deh, karna kenyang ngeliat bodyku secara cuma-cuma!' Mata Violeta menatap Bram dengan penuh penyelidikan. 'Iihh, mukanya Om piktor ini bener-bener nyebelin banget. Dasar piktor! Aku pengen banget nabok mukanya itu, hh!'
“Papa, Berlin kangen Mama. Kenapa Papa pisahan Berlin dari Mama?” Wajah Berlin cemberut. "Mama ... Berlin pengen sama Mama ... tapi Mama ninggalin Berlin ...."
Bram kembali dibuat kebingungan menghadapi tingkah sang putra yang kembali menganggap Violeta sebagai ibunya, sedangkan penawaran kerja sama dengan gadis itu belum menemukan titik terang.
Violeta belum memberikan jawaban karena Bram memberikan tenggat waktu selama lima tahun untuk pernikahan kontrak mereka, sementara jangka waktu lima tahun itu bukanlah waktu yang singkat bagi Violeta, sebab dirinya akan diberikan 50 persen harta Bram jika sudah selesai kerja sama.
“Berlin, Sayang. Sekarang kamu main dulu ya sama Bibi. Papa mau ngomong dulu sama Mama. Berlin mau kan kalau Mama tinggal bareng kita?” Bram berbisik di telinga Berlin.
Lagi dan lagi Bram memanggilnya mama. Meskipun Bram berbisik, tapi telinganya masih bisa mendengar dengan jelas. Ingin rasanya dia mencubit bibir Bram karena sudah sangat lancang itu. Itu sama saja seperti dia mengajarkan pada Berlin dan mendukungnya agar memanggil dirinya mama.
Berbeda halnya dengan Berlin karena wajahnya yang tadi memberengut, kini berubah sumringah. Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan, lalu mencium pipi Violeta. Violeta kaget, matanya melotot sambil menatap kepergian Berlin yang sudah berlari keluar.
Kini, di kamar tamu itu tinggallah Bram dan Violeta saja. Mereka saling diam dan tampak canggung, apalagi Violeta yang merasa malu karena teringat kejadian tadi malam. Walaupun dia sedang kesal pada Bram, tetapi rasa malu lebih mendominasi.
Bram menggaruk-garuk tengkuknya, lalu duduk di sisi ranjang. Ia sesekali menghela napas seraya menatap wajah Violeta yang pucat. “Vio, gimana?”
“Gimana apanya, Om?” Violeta mendongak dan menatap Bram.
“Dengan perjanjian kerja sama kita. Apa kamu siap nikah kontrak sama aku selama lima tahun?”
Violeta terdiam. Dia tampak tengah berpikir keras. Hati Bram semakin was-was melihat ketegangan dan kegelisahan yang terpancar di wajah gadis cantik di depannya.
“Om, aku ini masih muda, umurku baru 23 tahun, dan aku juga masih kuliah. Yeah … walaupun gak lulus-lulus karna kebanyakan bolos, ckk.” Violeta berdecak. “Tapi kan, masa depanku masih panjang, Om. Aku juga udah punya pacar dan suatu saat nanti kami akan menikah. Terus … gimana caranya aku nutupin sandiwara pernikahan kita selama lima tahun?”
Meskipun Jerry sudah memberinya izin untuk menikah kontrak dengan Bram, tetapi Violeta tetap menutupi hal tersebut dari Bram. Karena tak mungkin jika dia akan berkata terus terang jika sang kekasih yang justru mendukungnya melakukan pernikahan kontrak.
Bram terdiam. Ia merasa tertampar mendengar alasan Violeta yang masuk akal. Sesekali ia menggigit-gigit buku jarinya. Kini, pikirannya kembali kembali dibuat pusing. Mata Violeta tak luput dari semua sikap Bram.
“Om, lagi pula waktu lima tahun tuh, terlalu lama kalau Om baru mau ngasih 50 persen hartamu ke aku. Masa iya selama jadi istrimu, aku gak bisa menikmati hartaku.”
“Kalo gak, gini aja deh, Om. Aku setuju nikah kontrak sama Om. Tapi setiap setahun sekali Om harus kasih 10 persen hartamu ke aku, jadi dicicil aja selama 5 tahun, tiap tahunnya 10 persen. Adil kan?”
Bram menatap Violeta dengan tatapan serius. Jika dipikir-pikir, apa yang gadis itu ucapkan memang ada benarnya juga, jadi dirinya sudah susah untuk mengelak. Mau tak mau, kini dia yang harus menyetujui permintaan Violeta.
Sementara Violeta menatap Bram seraya berpikir keras. Dia sangat yakin jika Bram tak mau menyetujui keinginannya. Namun, sungguh tak disangka, karena ternyata pria tampan itu menyetujuinya.
“Oke, Vio. Aku setuju!” Bram berkata dengan tegas. “Jadi, kapan kita akan melangsungkan pernikahan? Kalau aku, maunya secepatnya!”
Kini, Violeta yang dibuat tak bisa berkutik. Matanya terbelalak lebar seraya menatap Bram yang kini sudah berdiri dan sedang menghubungi seseorang.
Violeta menggeleng-gelengkan kepala dan bahkan sesekali memukul kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Bram sejak tadi memperhatikan tingkah sang gadis.
“Kamu nggak lagi bermimpi, Vio. Ini kenyataan, bahwa kamu sebentar lagi nikah sama aku, bakal jadi istriku dan ibu dari putraku! Persiapkan aja dirimu, oke!” Bram mengerlingkan mata.
Violeta semakin kesal dibuatnya. Dia kembali menganggap kalau Bram adalah pria yang genit dan selalu berpikiran kotor. Mimpi apa dirinya hingga harus terjerat dengan pria seperti Bram.
'Iiihhh ... dasar om-om piktor. Udah tua bangka juga, tapi masih aja genit dan doyan sama daun muda. Gak sadar diumur.' Violeta mengumpat di dalam hati. 'Aku yakin banget deh, istrinya gak kuat sama tingkah laku dia yang kayak ABG. Dasar tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.'
Sementara Bram menahan tawa melihat mimik wajah Violeta yang tampak kusut. Dia tahu kalau gadis itu sedang mengumpatnya di dalam hati. Namun, dia malah sengaja menggodanya.
Bram terlihat cengengesan, dan itu semakin membuat Violeta dongkol dan meradang. Sumpah serapah dilontarkan olehnya, tetapi hanya di dalam hati saja. Ingin rasanya dia meninju wajah tampan di hadapannya itu.
"Diihh, dari tadi gak jelas banget. Cengengesan, senyam-senyum udah kayak orgil. Dasar ABG tua, tua-tua keladi, piktor. Hhhhh!" Violeta berkata dengan sarkas.
"Hahaha ... udah puas belum menggerutunya, Nona? Kalo udah, mending sarapan dulu biar mengisi tenaga."
Bram mengajak Violeta untuk sarapan, karena asistennya sudah mempersiapkan acara pernikahannya dengan gadis tersebut. Mereka harus segera mempersiapkan diri.
Akan tetapi, Violeta belum beranjak dari pembaringan, sebab di dalam benaknya masih bertanya-tanya, siapa yang mengganti pakaiannya tadi malam, dan juga karena dia masih merasa dongkol pada Bram.
Kening Bram berkerut, matanya menyipit. Ditatap dengan lekat gadis barbar di hadapannya yang selalu berbicara sarkas dan ketus. Karena dia sudah tak sabar, akhirnya melangkah lebih dulu.
“Om, tunggu!” Violeta memanggil Bram yang sudah melangkah keluar.
Bram menghentikan langkah dan menatap Violeta. Ia bersedekap d**a. “Ada apa, hmm?”
"Aku mau nanya, tapi tolong Om harus jawab dengan jujur, sejujur-jujurnya!"
"Mau tanya apa, hmm?"
“Semalam, siapa yang mengganti pakaian aku?”