ORANG PERTAMA bab 2 : Saya bukan om, kamu!

1549 Words
~♥~'ORANG PERTAMA'~♥~ Aku Hwang Ning menerima lamaran dari Tuan Kim untuk menikah dengan putra nya. Ayah tau, menerima lamaran itu bukan berarti tidak sakit harus mengorbankan semua impian masa dewasa yang selama ini aku inginkan. Beliau pun tau aku tidak ingin membuat semua orang kecewa dengan penolakan ku. Janji suci baru saja kami ucapkan, di sana lah aku tau nama dia yang yang sebenar nya. Kim Jin Seok. Bahu lebar, aku saja tidak akan terlihat jika berlindung di belakang nya. Poni terbelah sedikit ke samping terlihat sangat jelas jidat kebanggangan nya, maybe... tinggi nya mungkin sekitaran 1,79 m. Ini mah jauh banget sama aku yang cuma 1,60. Wait, ada lebih nya ya walaupun cuma 5 cm saja. Untuk wajah walau di umur kepala tiga, bukan hanya lumayan yang patut aku katakan tapi luar biasa dan bersyukur bisa... "Ini rumah pertama yang saya beli karena permintaan ayah agar kita bisa lebih dekat. Kamu tenang saja, banyak kamar di dalam yang bisa kamu tempati kalau tidak ingin sekamar. Lagi pula, saya tidak akan memaksakan kehendak walau sudah menikah." Tanpa melirik sedikitpun Jin Seok berlalu pergi meninggalkan aku dengan koper yang besar di samping. "Jangan jadi patung, ayo masuk. Dan jangan berharap ada pelayan karena semua nya harus di kita kerjakan bersama." Ucapnya dengan notasi yang buatku ingin melempari nya dengan sepatu. "sabar Ning, sabar. Dia suami kamu, jangan sampe kamu nya malah dipecat jadi istri dalam sehari." Benar. Kami sudah menikah dan sekarang berada di depan rumah yang terbilang besar, terlihat mewah namun rumah ini berdiri sendiri di tanah yang lapang sedikit jauh dari jalanan besar. Jin Seok melempar tatapan yang sedikit aku tak mengerti maksud nya apa,"Emm...ke-kenapa ya?" aku pun bertanya dengan sedikit menunduk takut-takut dia mengamuk kan bahaya. Kulirik dari ekor mata Jin Seok berjalan perlahan mendekatiku sedikit menunduk, "Mau sekamar atau sendiri-sendiri," entah itu pertanyaan atau pernyataan karena bagiku dia terlihat sedikit menakutkan. Dengan pasti aku usahakan tersenyum lebar berusaha tidak gugup di depan nya. "Oh itu, hehe... om gak usah khawatir, aku--" "Om?" Aku sedikit tersentak saat Jin Seok menyela ucapan ku dengan alis sedikit terangkat tak percaya dengan ucapan yang keluar begitu saja dari mulut ku. Merasa Jin Seok masih menunggu dan mempertajam pendengaran nya agar mengulangi ucapan ku. Aku pun mengerjap mendongak berharap bisa melihat Jin Seok tapi malah oleng gara-gara jidat nya yang bikin ambyar itu. "Iya. Emang Ning salah ya, umur kamu berapa?" mungkin bagi nya pertanyaan ku ini terdengar meledek, karena bisa ku lihat dia memutar kedua bola mata kesal. "30. lalu?" jawab nya berkacak pinggang terdengar ogah-ogahan memang. Aku pun terkekeh yang malah membuat nya melotot menatapku tajam dan juga tak percaya. "Eih... Ning gak salah dong. Kita aja beda 10 tahun hehe." Terlihat Jin Seok benar-benar menahan kesal nya dan segera melenggang pergi dari hadapanku. Aku mengangguk ingin mendekatinya namun terhenti saat, "terserah kamu mau ngapain, kalau ingin sekamar silahkan tidak pun gak peduli." Ucap nya tanpa berbalik sedikit pun. "Oke om." jawabku lalu menarik kesal koper besar itu. Aku sedikit menyesal membawa koper sebesar ini. Dia saja tak membantuku, cih...dasar batu berjalan. Jin Seok berbalik menatapku tajam, aku yang kesal gara-gara koper s****n itu malah melotot ke arah nya. "Apa! Apa lagi, hah?" Jin Seok hanya menatapku aneh, "Saya bukan om kamu, ngerti." tegas nya meraih koperku dan membawa nya naik. "Kenapa gak bawa lemari nya sekalian." Gumam nya namun masih ku dengar. Aku pun terkekeh mengikuti nya, "Mau sih om, tapi kata mama Yoo Na di sini udah ada lemari, Jadi gak di bawa deh." aku melotot saat mendengar suara bantingan, "Yang ikhlas dong kalo bantuin, ish." Kataku menatap nya tajam namun menciut saat dia berbalik menatapku lebih tajam membuat ku seakan terintimidasi oleh tatapan dingin nya. Jin Seok menghela napas, "Sekali lagi jangan memanggil saya om, mengerti." Dingin nya kembali melenggak meninggalkan ku yang masih berdiri di depan tangga. Melihat punggung nya membuatku kesal, aku pun memeletkan lidah ke arah nya namun segera ku sudahi dan menatap ke segalah arah saat melihat nya sedikit melirik ke arahku. Aku yang masih berdiri bingung harus sekamar atau tidak pun melakukan hal yang sering dilakukan ketika sedang bingung. Menggunakan alat termanjur di kala sedang bingung seperti sekarang, yaitu menghitung kancing baju. Tapi karena baju yang aku pakai saat ini tak memiliki kancingan, terpaksa memakai tangga sebagai cadangan. Otakku memang cerdas bukan, Aku mulai melompat kecil ke arah tangga pertama, "Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Sekamar tidak. Gila... nih tangga gak ada habis nya apa, pantes aja tuh orang marah." Aku menghela nafas melihat anak tangga yang masih tersisah tiga langka lagi, sekali lagi kulihat anak tangga itu dan..."Kek nya ada yang aneh disini, disana masih ada tiga itu arti nya... oh no... bodo amat, kali ini kamu gak aku pake. Bhai." aku berlari naik kembali dan memilih untuk tidak sekamar dengan Jin Seok. ☘️ ☘️ ☘️ Aku menghela napas membaringkan tubuhku yang terasa lelah. Tanganku meraih tas kecil yang selalu ku bawa lalu mengeluarkan ponsel terlihat jelas walpaper ayah dan ibu dengan aku berada di tengah-tengah mereka. Entah apa yang terjadi namun aku merasa sesak melihat foto kami. Tanpa aku suruh pun, air mata mulai bergenang bersiap meluncur keluar. Aku tak berniat menghapus nya dan mulai terisak. Begitu banyak yang kupikirkan malah membuatku semakin sesak dan terisak lebih keras lagi. Salah satu nya perkataan ibu. Kata nya, aku harus memasak untuk om sedangkan ibu saja tak membiarkan ku menyentuh kekuasaan nya. Sedangkan kata ayah, aku harus membantu om untuk bersiap ke kantor dengan menyiapkan segala keperluan nya termasuk memakaikan nya dasi. Aku melakukan semua nya? jangan kan memakai dasi, menyiapkan pakaian saja itu adalah hal yang tidak mungkin karena ayah lah yang selalu melakukan nya padaku. Tangisan ku semakin keras takut-takut om akan melemparku keluar dari rumah saat tau aku tak bisa apa-apa. Dan satu lagi, aku tidak bisa bangun pagi. Habislah dirimu Ning bodoh! Seperti nya aku belum siap memasuki usia dewasa. Tok....tok....tok.... Mendengar ketukan itu, cepat-cepat bangun segera membuka pintu. Aku melihat Jin Seok berdiri di hadapan ku tanpa ekspresi apa pun. "Ada apa?" tanyaku memberanikan diri untuk menatap mata nya namun lagi-lagi tak bisa melihat pesona dari seorang Kim Jin Seok. "Jadi kamu memilih untuk tidak sekamar. Baguslah dan cepat turun makan malam sudah sampai." Jin Seok berbalik meninggalkan ku yang segera mengekori nya. "Hanya untuk malam ini pesan makanan, besok-besok jangan berharap akan ada seperti ini. Kamu harus melakukan nya sendiri." Kata nya lagi dan segera duduk. "Kirain om gak banyak omong. Ternyata bisa panjang juga omongan nya." celetukku namun ia tak peduli dan segera menyantap makan malam yang ia pesan. Aku mengangkat bahu lalu duduk di hadapan nya ikut menyantap makan malam kami. Hanya terdengar dentingan sendok dan sumpit yang menggema di ruang makan. "Om, Ning mau..." "Saya tau kamu gak bisa apa-apa. Saya juga gak butuh bantuan kamu dalam hal apapun, jadi kerjakan saja apa yang kamu inginkan." "Apa termasuk dalam hal yang Ning impikan?" Mendengar perkataanku, Jin Seok sejenak berhenti kemudian kembali menyuap. Jin Seok sedikit melirik yang sedang menunggu jawaban, "Terserah kamu mau ngapain, tapi jangan ganggu privasi masing-masing karena saya tidak suka dengan orang yang sok tau dan sok ikut campur." "Ini berkas yang ayah berikan pada saya, dimana kamu kuliah sudah ada di dalam sana." lanjut nya kemudian membereskan bekas makanan nya tak lupa mencuci nya. Aku yang masih melihat berkas tidak menyadari kepergian nya dari ruang dapur. Ku buka berkas itu terdapat beberapa berkas untuk kuliah dan juga Black Kard. Black Card?! aku melotot melihat black card di tanganku. "Gila, black kard! ini buat apaan woi." Melihat Kim sudah tak ada, aku segera berlari ke lantai dua menuju kamar Jin Seok. Aku mengetuk tak santai daun pintu kamar nya berharap ia tak marah dengan apa yang ku lakukan. Aku yang menunduk terus mengetuk tanpa tau Jin Seok sudah berdiri di hadapanku. "Sedang apa? Apa kamu lupa sama ucapan saya untuk tidak--" "Maaf, tapi ini." Aku meraih tangan nya dan memberi nya kard itu. "Mungkin punya papa Kim jatuh di dalam berkas tadi. Maka nya Ning kembali--" "Itu untuk mu jadi terima dan pakai." Kim kembali menutup pintu kamar meninggalkan aku yang terdiam melotot tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Berniat ingin mengetuk pintu itu kembali, Jin Seok lebih dulu membuka nya. "Saya lagi sibuk jadi jangan mengetuk atau apapun itu. Sebaik nya kamu ke kamar dan istirahat." Decitan pintu ditutup terdengar. Dengan langkah ling-lung aku berjalan ke dapur untuk membersihkan sisa makan malam dan mencuci piring bekas ku sendiri. Hanya cuci piring yang ku bisa karena hanya itu yang ibu percayakan padaku takut-takut dapur nya akan hancur jika aku melangkah masuk. Setelah selesai semua nya, aku pun melangkah meninggalkan dapur dan segera ke kamar. Masih banyak yang harus ku lakukan sekarang termasuk mandi lalu mengatur pakaian yang kubawa di dalam lemari. Setelah semuanya selesai, aku pun berbaring memikirkan hari-hari kedepannya akan seperti apa pernikahan ini. Jin Seok saja hanya mengatakan terserah dan selalu terserah dengan apa yang ku lakukan. "Jadi kayak gini ya rasa nya jadi orang yang udah nikah tapi dijodohin. Entah ini kebebasan atau memang gak peduli sama aku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD