Hari Sial Bella

1199 Words
Bella mengecek ponselnya sekali lagi. Biasanya, kekasihnya akan menghubungi dan meminta mereka untuk pulang sama-sama. Namun kali ini ponselnya sunyi. Tak ada berita dari kekasihnya itu. Ah, tentu saja, itu karena mereka sudah putus, bukan? Kekasihnya lebih memilih rekan sekantor yang memiliki derajat sosial lebih baik darinya yang hanya seorang kasir dengan pendidikan SMA. Entah untuk yang ke berapa kalinya Bella mendesah. Dia sudah terbiasa pulang sendiri menaiki bus kota. Namun kali ini terasa berat. Dia akan pulang ke kosan dan memandangi sudut-sudut kosan dengan hampa. Biasanya, meski kekasihnya tidak bisa mengantarnya pulang, dia akan menemani Bella sepanjang perjalanan dengan suaranya di speaker ponsel. Lalu berlanjut di kosan dan terus berlanjut hingga baterai ponsel melemah atau salah satu dari mereka kelelahan dan akhirnya ketiduran. Hari ini teman satu kamarnya bekerja shift malam dan Bella akan benar-benar sendirian. Untuk yang kesekian kalinya, Bella mendesah sebelum menyandarkan kepalanya pada dinding kaca bus yang dia tumpangi. Masih tiga puluh menit lagi sebelum bus tiba di halte dekat kosan-nya. Bella menyumbat kedua telinganya dengan earphone dan mulai memutar lagu-lagu dari playlist ponselnya. Dia mencoba menghilangkan kesedihan karena kejadian pagi ini dengan lagu-lagu menghentak yang mungkin bisa membuat suasana hatinya berubah. Sayangnya hanya lagu-lagu melankolis yang cocok untuk hati yang sedang retak. Bella pun mengubah daftar di playlist-nya dan memutar lagu-lagu romantis menyayat hati. Ingatannya memutar kembali kejadian tadi pagi, ketika dia ke kantor Anton untuk mencari kepastian dari lelaki itu. Beberapa hari ini Anton tidak bisa dihubungi setelah menuliskan kata putus melalui pesan WA. Tidak ada pertanda sebelumnya atau pun pertengkaran di antar mereka. Semuanya baik-baik saja dan kata putus itu seperti palu godam yang di hantamkan ke kepala Bella. Apa kesalahannya dan apa yang terjadi sebenarnya? Setahu Bella, dia dan Anton adalah sepasang kekasih yang saling tergila-gila satu sama lain dan sedang mencecap yang namanya surga dunia. Semua terasa indah bagi mereka berdua. Indah, sebelum kata putus itu diucapkan. “Anton? Belum datang, tuh. Kamu siapa? Kok bisa naik ke atas segampang ini?” Seorang wanita berkelas menyambut kedatangan Bella di kantor Anton. Dia tidak perlu menjelaskan pada wanita itu kalau resepsionis di gedung ini adalah teman baiknya dan dia bisa naik ke atas karena resepsionis itu tahu tentang hubungannya dengan Anton. “Saya Bella. Saya ....” “Oh, kasir minimarket di seberang jalan?” Belum selesai Bella berbicara, wanita itu sudah memotong. Dia tahu tentang Bella, tentang profesinya. Apa setenar ini hubungannya dengan Anton di kantor ini? Bella mengangguk. Dia memang kasir, kenapa harus ditutupi? “Anton kira-kira datang jam berapa, ya?” tanyanya. “Hmm, kamu ini betulan kasir di minimarket itu, ya? Bener-bener nggak punya etika, deh. Datang ke kantor orang, tanya-tanya, dan memanggil nama seenaknya seolah kalian punya hubungan spesial saja. Anton itu kepala bagian di kantor ini. Setidaknya wanita seperti kamu itu menghormati dia dengan memanggilnya ‘Pak’.” Dalam hati Bella membenarkan perkataan wanita di hadapannya. Dia memang punya hubungan spesial dengan Anton. Dulu. “Saya dulu ....” “Kenalkan ..., saya Susan. Saya kekasihnya Anton,” ujarnya sambil tersenyum. Wanita itu mengulurkan tangan tapi lalu ditariknya cepat setelah tangan Bella menyentuhnya. Seolah dia tidak ingin terkena kuman dari tangan Bella yang dianggap kotor. Mendengar perkataan wanita bernama Susan ini, hati Bella langsung remuk. Dia kini tahu penyebab Anton meninggalkannya. Ternyata sudah ada wanita lain di sisi Anton dan dia lebih pantas dari pada Bella. Rasanya tidak perlu lagi Bella berlama-lama berada di kantor ini. Dengan perasaan yang sakit dan perih, Bella langsung meninggalkan Susan tanpa pamit. Dia berdiri menunggu lift yang akan membawanya turun dengan air mata yang tidak bisa berhenti turun. Ketika lift membuka, Bella tidak peduli apakah lift itu bergerak naik atau bergerak turun. Dia baru menyadari jika dia tidak sendirian di dalam lift ketika seorang lelaki mendekatinya dengan tatapan aneh. Ah, Bella tidak bisa menerka apa yang ada dalam pikiran lelaki itu ketika mereka bertemu. Jelas sekali tidak ada tatapan napsu dalam matanya. Lebih kepada rasa penasaran dan kebingungan akan sesuatu. Tapi apa? Dia hanya kasir minimarket yang tidak punya kelebihan apa-apa. Pasti lelaki itu mendekatinya bukan karena ketertarikan fisik. Tapi apa? Bella tidak bisa menemukan jawabannya. Lalu wanita kaya yang datang ke minimarket tempatnya bekerja. Dia juga aneh sekali. Rasanya mereka baru pertama kali bertemu dan wanita kaya itu bilang jika dia menyukai Bella? Bella memijit keningnya untuk mencerna semua kejadian hari ini. Dia bertemu selingkuhan mantannya, bertemu lelaki tampan yang memandangnya kebingungan dan bertemu wanita kaya yang mengatakan menyukainya. Ibukota terlalu besar bagi pikiran Bella yang sederhana. Mungkin dia tidak cocok dengan kehidupan di sini. Mungkin dia harus mengiyakan permintaan ibunya pulang ke desa dan menggarap sawah ladang mereka yang tak seberapa. Ah, tapi kalau dia pulang ..., dia tidak akan bisa punya uang banyak untuk menyekolahkan adik-adiknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMA. Bella tidak boleh menyerah. Patah hati cukup hari ini saja. Besok dia harus kembali ceria dan bersemangat lagi mengumpulkan uang. Demi adik-adik. Demi keluarganya. Bella menghela napas panjang dan bersiap turun di halte dekat kosannya. Dia berdiri dan merangsek menuju pintu keluar bus. Bersama beberapa orang yang punya tujuan sama, mereka menghambur keluar begitu pintu bus membuka. Sayangnya Bella kehilangan keseimbangan sehingga dia jatuh tersungkur di depan halte. Hidung Bella tergores dan kedua lututnya berdarah karena hari itu dia mengenakan rok. Rasanya perih. Dalam hari Bella mengumpat, sungguh lengkap kesialannya hari ini. “Anda tidak apa-apa, Mbak?” Seorang lelaki berkacamata hitam mengulurkan tangan dan membantunya berdiri sebelum orang-orang di sekitar Bella menyadari dia terjatuh. Lelaki itu memapah Bella dan mendudukkannya di kursi halte. “Rumahnya masih jauh? Ini kakinya pasti sakit kalau dipakai jalan.” “Nggak papa. Rumah saya sudah dekat, kok. Masih bisa jalan sampai rumah.” “Saya papah, ya. Atau saya gendong saja?” Lelaki itu bersiap mengangkat tubuh mungil Bella. “E. Eh! Jangan! Apa-apaan, sih? Saya nggak papa, kok! Nggak usah repot gitu, deh.” Tanpa sadar Bella menepis uluran tangan lelaki yang menolongnya dan segera bangkit dari duduknya. Dia mencoba berjalan. Ternyata benar, kedua lututnya gemetaran ketika dicoba melangkah. Namun dia harus terlihat baik-baik saja atau lelaki kurang ajar itu akan berusaha menggendongnya. Aneh, memangnya dia siapa sampai mau menggendong Bella segala? Benar-benar hari yang aneh untuk Bella. “Mbak yakin nggak papa?” tanya lelaki yang mengenakan kacamata hitam meski hari sudah kehilangan cahaya matahari. Satu lagi orang aneh yang Bella temui hari ini. “Saya bantu, ya? Saya antar sampai rumah.” Beberapa orang di halte mulai memperhatikan mereka. Namun Bella menyadari, wanita yang ada di halte bukan memandang iba pada Bella tapi memandang iri karena Bella ditolong oelh seorang lelaki tampan dengan setelan jas mahal. Sudah pasti dia bukan sekadar sales atau pekerja kantoran ecek-ecek. “Saya nggak papa. Lari pun saya sanggup. Terima kasih sudah nolongin saya.” Bella membungkuk sedikit ala-ala drakor lalu balik badan dan bergegas meninggalkan lelaki aneh itu. Dalam hati Bella merasa pernah melihat lelaki itu, tapi lupa di mana. Mungkin jika kacamatanya dibuka dia bisa mengenalinya. Ah, apa pedulinya kenal atau tidak dengan lelaki itu? Kini dia harus berjalan dengan menahan nyeri sampai tikungan depan dan menghilang dari pandangan lelaki aneh itu. Tuhan ... cukupkan sampai di sini saja penderitaan hari ini .... (*)  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD